Oleh: Isyfina Ziyantifani
Perkenalkan, namaku Kinara Oktavia. Panggil saja Ara. Umurku 15 tahun. Aku yatim piatu. Kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan ketika aku duduk di kelas 6 SD. Setelah lulus SMP, aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke salah satu pondok pesantren di Pasuruan, Jawa Timur. Sekarang aku duduk di kelas 10 Madrasah Aliyah. Ayahku adalah seorang konglomerat, beliau memiliki perusahaan otomotif yang sudah merambah ke jagad internasional. Karena aku adalah anak tunggal, maka seluruh warisannya pun jatuh ke tanganku. Tapi menurut hukum yang berlaku harta itu harus tetap berada di tangan dan di bawah kendali waliku,yaitu kakek dan nenek sampai aku menginjak umur 17 tahun. Kakek adalah seorang Perwira, perawakannya pun masih terlihat gagah meskipun usianya sudah tak lagi muda. Mereka berdua merawatku dengan penuh kasih sayang.
Bulan-bulan pertama di pondok pesantren tidak seindah yang diceritakan dalam sinetron dan film-film. Aku sering menangis disana karena rindu akan kasih sayang nenek, kakek, juga kedua orangtuaku. Untungnya teman-teman baruku di pesantren baik dan mudah bergaul sehingga rasa itu pun perlahan pudar. Mereka selalu menghibur dan menasihatiku. “Jika kamu rindu orangtuamu lebih baik doakan mereka, Ra. Jangan hanya menangis, toh dengan menangis orangtuamu pun tidak akan bertambah mulia kan,” Ujar Lita, salah satu sahabat baruku.
Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan. Ramadhan kali ini adalah Ramadhan keempat aku tidak bersama dengan kedua orangtuaku dan Ramadhan pertama aku tidak bersama Kakek dan Nenek. Terkadang aku sedih melihat teman-temanku dan wajah cerianya ketika menerima telepon dari orangtua mereka. Sungguh beruntung mereka yang masih memiliki orangtua.
Ternyata waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa malam ini kami akan melaksanakan sholat tarawih pertama karena Kementerian Agama menetapkan jika besok sudah memasuki bulan Ramadhan. Selepas sholat jama’ah maghrib di masjid, aku dan teman-teman tidak langsung kembali ke kamar. Mengaji Al-Qur’an sesudah sholat sudah menjadi tradisi di sini. Kami semua –kecuali yang udzur syar’i– mengaji di masjid hingga adzan Isya’ berkumandang. Sesudah sholat isya’ kami pun sholat tarawih berjama’ah.
Walau hari ini adalah hari pertama puasa, bukan berarti sekolah akan diliburkan. Aku tetap masuk sekolah seperti biasanya. Salah satu pelajaran hari ini adalah Akidah Akhlaq yang disampaikan oleh Ustadzah Hilma.
“Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikumsalam, Ustadzah”.
“Bismillahirrohmaanirrohim, mari kita mulai pelajaran hari ini,” Ujar guru yang bersuara lembut itu.
“Buka kitab kalian halaman 68,” Lanjutnya.
Tanpa banyak bicara, semua murid langsung melakukan apa yang diperintahkan oleh Ustadzah Hilma.
“Wajib bagi kita untuk menghormati orangtua. Sekeras apapun wataknya, segalak apapun orangtua pada kita, kita sebagai anak tetap harus patuh dan hormat pada orangtua selama yang diperintahkan itu tidak melenceng dari syari’at,” Terang Ustadzah Hilma.
“Ustadzah, bagaimana jika orangtua kita sudah meninggal? Bagaimana cara kita menunjukkan bakti kita pada orangtua?” Tanyaku setelah mengangkat tangan sebelumnya.
“Mudah saja, kita bisa mengirimkan doa dan sedekah yang ditujukan pada ayah atau ibu kita yang sudah meninggal,” Jawab Ustadzah Hilma.
“Apakah bisa sampai, Ustadzah?”
“Tentu saja bisa, Ara. Apalagi kita sudah memasuki Bulan Ramadhan yang penuh barokah ini. Amal apapun yang kita kerjakan di Bulan Ramadhan akan dilipatgandakan. Bukan hanya sekali atau dua kali. Allah itu Maha Pemurah, amalan kita akan terhitung berkali-kali lipat. Tapi ada syaratnya, kita harus ikhlas. Berapapun banyaknya yang kita sedekahkan, tidak akan di terima jika kita tidak ikhlas. Ada yang ingin ditanyakan lagi?” Tanya Ustadzah Hilma.
“Satu lagi, Ustadzah. Bila saya mengirim pahala dari amal saya untuk orangtua saya, apakah pahala untuk saya akan hangus?”
“Anakku, apa kamu kira Allah itu pelit? Allah itu Maha Kaya. Bukan begitu hitungannya, Nak. Jika kamu mengirim pahala amalmu untuk orangtuamu, kamu justru akan mendapat dua pahala, yaitu pahala dari amal yang kamu kerjakan dan pahala sebagai anak sholihah yang hormat pada orangtua,” Terang Ustadzah Hilma dengan penuh kesabaran.
“Oh begitu ya. Terimakasih Ustadzah. Saya paham sekarang”.
Ustadzah Hilma hanya menjawab dengan anggukan kepala dan senyum lebar diwajahnya.
“Jadi begitu ya.. hmm. Baiklah, mulai hari ini aku akan rutin bersedekah. Ya memang walau tidak banyak, setidaknya itu yang aku mampu,” Tekadku dalam hati.
Pulang dari sekolah aku tidak langsung kembali ke kamar. Aku pergi ke masjid untuk menunaikan sholat ashar. Di masjid ada kotak amal. Aku menghampiri dan mengisi kotak amal tersebut dengan selembar uang lima puluh ribu yang telah kupersiapkan sebelumnya dalam dompet biruku. “Bismillah, pahala dari amal ini kutujukan untuk orangtuaku. Ya Allah terimalah amalku dan amal kedua orangtuaku. Ampuni dosa-dosa orangtuaku dan sayangi mereka seperti mereka menyayangiku waktu kecil, Ya Rabb,” Niatku dalam hati.
Begitulah yang kulakukan setiap pulang sekolah. Tidak setiap hari aku memasukkan uang lima puluh ribu, kadang dua puluh ribu, sepuluh ribu, seratus ribu, tidak jarang juga lima ribu, yang penting ikhlas kata Ustadzah Hilma. Sampai suatu ketika dompetku hilang entah kemana. Disana ada uang kurang lebih lima juta, kartu identitas, serta tiga kartu ATM-ku. Aku bingung, sedih, dan tentunya marah. Apa yang harus kulakukan? Dengan apa aku harus mengirim pahala pada orangtuaku, Ya Rabb? Akhirnya aku putuskan untuk konsultasi pada Ustadzah Hilma. Saat jam istirahat aku putuskan untuk menemui beliau di kantor guru.
“Assalamualaikum, Ustadzah” Sapaku.
“Waalaikumsalam. Ada apa, Ara?” Tanya beliau.
“Begini, saya ingin konsultasi. Boleh?”
“Tentu saja boleh, Sayang”.
“Saya ingin mengirim pahala dari amal saya untuk orangtua saya, tapi uang yang rencananya saya sedekahkan hilang. Apa yang harus saya lakukan, Ustadzah?” Tanyaku ingin menangis.
“Apa sedekah kamu kira hanya bisa dilakukan dengan uang? Sedekah itu bisa dilakukan dengan perbuatan dan perkataan yang baik. Kamu senyum kepada orang lain pun sudah terhitung sedekah,Nak. Kalau boleh tahu, sejak kapan kamu ditinggal orangtuamu?”
“Sudah empat tahun ini, Ustadzah. Mereka meninggal karena kecelakaan saat saya kelas 6 SD,” Ujarku.
“Tetap jadi anak sholihah ya, Nak. Kamu boleh anggap Ustadzah Hilma sebagai ibumu. Mulai sekarang panggilnya Ummi ya”.
“Benar?”
“Tentu saja”.
“Terimakasih Ustadzah.. Terimakasih Ummi,” Jawabku dengan bahagia sambil memeluk ibu baruku.
“Bismillah. Ya Rabb, setiap saya melakukan amal baik, pahalanya saya tujukan untuk orangtua saya. Semoga Engkau berkenan menerimanya,” Niatku sekarang berubah.
Sepulang sekolah aku melihat Mbak Nia –pengurus pondok— sedang mencabuti rumput-rumput liar di area pesantren. Aku menghampirinya.
“Assalamu’alaikum, Mbak. Ada yang bisa Ara bantu nggak nih?”
“Waalaikumsalam. Alhamdulillah ada kamu, Mbak Nia capek banget, Ra. Seharian beresin pondok. Minta tolong dong anterin rumput-rumput di karung putih itu ke kandang sapi. Buat makan malam sapinya,” Ujar Mbak Lia.
“Wow, sapinya gaul banget ya. Pakai acara makan malam segala,” Jawabku dengan ekspresi pura-pura tertegun.
“Kamu berani kan ke kandang sapi?”
“Berani lah, Mbak. Mbak kira aku anak SD,” Jawabku dengan memasang wajah sebal.
“Mbak, aku berangkat sekarang ya. Assalamualaikum,” Ujarku sambil menggendong karung penuh rumput itu.
“Bismillah, amal ini untuk Ayah dan Bunda” kira-kira begitulah niatku.
“Waalaikumsalam, hati-hati.” Jawab Mbak Nia.
Kandang sapi tersebut milik pesantren. Bukan hanya sapi, pesantren juga memiliki peternakan ayam dan kambing. Ada orang yang dipekerjakan khusus untuk merawat peternakan-peternakan tersebut. Pak Amin contohnya, beliau diamanahi untuk merawat peternakan sapi. Tidak susah untuk menemukan Pak Amin karena semua warga pesantren –termasuk aku– mengenal beliau.
“Assalamualaikum. Pak, saya bawain makanan nih”.
“Waalaikumsalam. Wah ngerepotin nih. Makasih ya”.
“Pak, saya ikut ngasih makan sapi ya,” Aku memohon.
“Ayo”.
Akhirnya kami memberi makan sapi-sapi disana. Tidak lupa berniat “Ya Rabb, amal ini untuk Ayah dan Bunda”.
Malam harinya, aku bermimpi bertemu orangtuaku. Mereka memakai pakaian serba putih. Wajah mereka bercahaya. Mereka berterimakasih kepadaku.
“Kinara. Terimakasih, Nak. Amal yang kamu kirim untuk kami sudah kami terima. Tetap jadi anak sholihah ya, Nak”.
Aku terbangun. Aku merasa pipiku basah. Ada air yang jatuh dari mataku. Aku menangis. “Ayah, Bunda, sama-sama. Aku merindukan kalian. Tunggu Ara di surga ya,” Kataku sambil sesekali sesenggukan.
Subhanallah, belum pernah sekalipun aku bermimpi bertemu dengan orangtuaku dan mengucapkan terimakasih selama aku mendermakan uang di masjid. Tapi justru amal remeh kepada sapi-sapi itu yang menjadi sebab ridho Allah kepadaku dan orangtuaku. Tidak henti-hentinya aku mengucap syukur kepada Allah yang telah berkenan menerima amalku dan mempertemukanku dengan orangtuaku. Walau hanya dalam mimpi, hal itu mampu menjadi pengobat rindu untukku.