Hari Sebelum Lebaran

Oleh: Anpas tohir maulana

Kanopi alam sang penangkal panasnya siang dan panyejuk disaat malam, kini telah menghilang diterpa ombak keganasan manusia yang tak tahu aturan. Suasana di Kampung Citeko, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Kini menjadi usang . Yang dahulu tampak hijau membentang, hilang menjadi sebuah area pembangunan pabrik yang konon akan dijadikan tempat penginapan atau hotel dijaman sekarang. Pembangunan itu sudah berlangsung dua mingggu, meskipun sekarang sudah menginjak bulan Ramadhan , tepatnya tanggal 13 Ramadhan 1439 H proyek ini masih terus berlangsung. Tidak sedikit dari para kuli bangunan ini yang rela membatalkan puasanya demi sesuap nasi yang mereka cari. Namun tidak bagi pak arifin, meskipun umurnya sudah menginjak kepala lima, beliau tetap kuat melaksanakan tanggung jawabnya dan tidak meninggalkan kewajibannya.

Arifin Ilham itulah nama yang tercantum di secarik kertas yang lusuh, di kamar yang hampir hancur, dan rumah yang hampir runtuh. Pak Arif, kuli bangunan berusia 53 tahun memiliki dua orang putri dari satu orang isteri yang kini telah kembali kepada illahi. Semenjak sang isteri meninggal dua tahun silam, pak Arif mengurus anak-anaknya seorang diri. Dengan segala kemampuan ia perjuangakan masa depan anak-anaknya, tapi apalah daya seorang tua yang sudah ronta yang sudah tak mampu untuk bekerja, meninta, bahkan meminta-minta,karena umur sudah tak lagi muda. Kedua anaknya putus sekolah karena tidak bisa melunasi semua biaya administrasipembangunan. Padahal salah satu dari mereka adalah anak yang berprestasi, meskipun yang satunya lagi memang bandel dan sering melanggar aturan sekolah.Tapi pati kini sudah mati dan asa sudah terkurung peti, pak Arif kini hanya bisa berpasrah pada illahi.

Menggantungkan kehidupan pada pekerjaan kuli bangunan, adalah satu-satunya pilihan bagi pak Arif. Karena setelah mencari pekerjaan kesana-kemari tak kunjung berhasil, mungkin memang pekerjaan kuli bangunan inilah rejeki pak Arif. Pak Arif memang sangat tegar, gigih, dan pekerja keras. Semuanya ia lakukan asal-anak-anaknya bisa merasakan sesuap nasi disetiap matahari terbit dipagi hari. Hingga suatu hari Lyla anak pertamanya memberikan permitaan yang tak mungkin ia penuhi dengan hanya menjadi seorang kuli bangunan.

“pak, Lyla malu sama temen-temen, masa temen lyla semuanya sudah punya hp sedangkan lyla enggak”. Lyla mendengus tak berhati, tak peduli dengan keringat yang masih menetes dikening dan pipi bapaknya.

“Nak, bapak tahu apa yang kamu inginkan, tapi kamu harus mengerti! apa yang kita butuhkan itu jauh lebih penting dibanding keinginan kita”.  Sang bapak menjawab dengan lembut dan penuh nasihat, berharap sang anak mengerti dan mengurungkan keinginannya untuk membeli handphone.

Preng….. Lyla membanting gelas yang sedari tadi ia pegang sebelum akhirnya perkataan tajam keluar dari mulutnya. “Dasar bapak tak berguna, udah gak bisa menyekolahkan anak, gak bisa ngasih makan enak, minta sesuatu yang kecil aja gak bisa”. Tatanan kalimat yang sangat runcing, menusuk dada, menembus sampai ke ulu hati, membuat pak Arif meneteskan air asin dari bola mata yang sudah tak terlihat bulat itu.

Mata yang setiap hari ia buka untuk memastikan anaknya masih ada didunia, tangan yang setiap hari mengangkat beban kehidupannya, dan kaki yang setiap hari menapak pada tanah demi sesuap nasi untuk anak-anaknya, tak dihargai, tak diakui oleh lyla. Namun pak Arif menyikapi perkataan lyla dengan tenang dan sabar.

“Lyla benci bapak”, Lyla meninggalkan sang ayah yang masih terpaku ditempatnya. Pak Arif mengubah posisi berdiri menjadi berjongkok, tak dirasanya darah yang mengalir tipis di kakinya akibat pecahan gelas yang dibanting Lyla tadi. Masih dengan air mata yang menetes, pak Arif memanjatkan do’a pada sang ilahi, agar diberikan kekuatan dan ketabahan untuk kehidupan dikemudian hari.

Keesokan harinya, tanggal 14 Ramadhan masih seperti 13 hari sebelumnya, pak Arif dan kedua anaknya melaksanakan sahur bersama. Pak Arif harus bangun sangat pagi untuk memasak hidangan sahur anak-anaknya. “Alhamdulillah selesai juga” Pak Arif menghembuskan napas perlahan, memuji kepada Allah yang masih memberikan rejeki kepadanya. “Semoga mereka makan dengan lahap” batin pak Arif. Tak lama kemudian kyla sudah muncul dihadapan pak Arif, “Mana kakakmu nak?”. “Udah bangun kok pak”. Kyla menunjuk Lyla yang baru saja muncul dari balik pintu kamar. Rumah mereka memang bisa dibililang tidak layak huni, rumah kecil beratapkan asbes rapuh, berdinding bilik bambu yang dianyam, dengan dua kamar tanpa ranjang, hanya kasur dan alas dari plastik yang menyanggah mereka ketika tidur, Sungguh kasihan nasib mereka.

“Makanlah nak, meski sedikit dan sederhana makanan ini InsyAllah akan menguatkanmu sehari penuh. Jaga puasa kalian, meski hidup kita susah tapi kita haruis ingat ini ujian dari Allah jika kita sabar, kita tinggal menunggu pertolongan-Nya.”

Kyla mengangguk sebari tersenyum memberikan persetujuan atas apa yang bapaknya ucapkan. Sedangkan Lyla masih memasang wajah yang sama seperti malam tadi, cemberut, mendelikan mata, lantas pergi setelah makanan dipiringnya memang sudah tandas. “Astagfirullah” batin pak Arif sebari mengelus dada. “Yang sabar pak, kakak mungkin masih ngantuk”. Kyla mengelus pundak bapaknya. “ Kyla sayang banget sama bapak” tambah kyla sebari memeluk pundak bapaknya dari belakang. Dengan senyum getir tersungging di bibirnya, pak Arif merangkul anak bungsunya itu dan menciumi kepalanya “Ayah juga sangat menyayangi kalian”. Kata itu terus terucap dan air mata pun berhasil membanjiri suasana pagi itu.

Siangnya pak Arif sudah kembali bekerja di pembangunan. Pikirannya kalang kabut memikirkan Lyla yang kekeh dengan keinginannyan. Dalam hatinya terbersit ingin sekali memenuhi kemauan anaknya itu, tapi mimpi tak terajut oleh dunia dan mimpi tak menggantung pendek seperti dahan dahlia. Setelah itu pak Arif memutuskan untuk mencari pekerjaan tambahan dan rejeki pun tak kemana, pak Arif mendapatkan pekerjaan dengan cepat. Walaupun pekerjaannya cukup berat, tapi pak Arif tak peduli, yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya mendapatkan uang untuk membahagian anak-anaknya.

Ketika pak Arif masih bekerja, di rumah, kyla sedang mencuci baju tetangga karena itulah pekerjaan kyla setiap harinya. Membantu keuangan keluarga agar membantu meringankan pekerjaan ayahnya. Kyla berumur15 tahun seharusnya dia sudah masuk jenjang SMA jika melanjutkan. Ketika SMP nya pun, Kyla termasuk siswa berprestasi dan selama 3 tahun berturut-turut dia menyading gelar peringkat pararel 1 disekolahnya, mengalahkan 834 siswa lainnya. Tapi sayang keadaan keluarga yang begitu terpuruk masalah ekonomi, ia harus rela putus sekolah. Bukan tidak mau sekolah tapi Kyla sangat ingin membantu ayahnya bekerja walau dengan hanya mencuci pakaian tetangga. Sedangkan kakaknya Lyla sedang bermain bersama teman-temannya yang baru pulang sekolah. Setiap harinya ia hanya tidur dan menunggu teman-temannya yang pulang dari sekolah. Meskipun sudah beberapa kali diejek mereka, karena miskin dan tidak bersekolah, tapi Lyla masih kekeh ingin bermain dengan mereka. Entah dimana kedewasaan Lyla, meski umurnya 2 tahun lebih tua dari Kyla tapi dia tidak punya jiwa seorang kakak, bahkan untuk jajanpun ia minta pada adiknya sendiri. Sungguh berbeda watak, memang didunia ini tidak ada yang sempurna begitupun dengan pak Arif yang mempunyai dua anak berbeda. Yang satu sayang kepadanya dan yang satu lagi tidak peduli sama sekali pada dirinya, bahkan tidak menganggap dirinya sebagai seorang bapak. Dunia penuh uji coba, siapa yang sabar dan tabahdialah yang akan memetik buahnya.

Setelah 2 minggu bekerja di tempat pengangkutan batu, pak Arif berhasil mengumpulkan uang untuk membelikan Kyla dan Lyla handphone meskipun Kyla tidak meminta. Namun barang mahal itu tak langsung diberikannya kepada Kyla dan Lyla, melainkan disimpan sebagai hadiah untuk kedua anaknya ketika lebaran nanti. Hari itu senin 28 Ramadhan 1 hari menuju Lebaran, semua orang bersuka ria mempersiapkan segala kebutuhannya di hari yang suci. Mungkin hanya keluarga pak Arif yang cukup menyambut hari yang fitri dengan apa adanya. Tidak ada kue, tidak ada ketupat, tidak ada sayur sop, bahkan baju baru pun pak Arif dan anak-anaknya tidak punya. Bukan tidak ingin tapi mereka mencoba mengerti dengan keadaan yang mengharuskan mereka seperti itu. “Nak kenapa kamu?”. Lyla yang sedari tadi melamun mengacuhkan sang bapak. “Pak aku mohon sekali ini aja, aku mohon aku mau baju baru, aku mau lebaran kali ini aku merasakan yang berbeda, setidaknya sama seperti teman-temanku yang lain”. Mendengar permintaan anaknya yang memelas, pak Arif tak kuasa menolak, ia tidak mau di hari sebelum lebaran ia malah dibenci anak-anaknya. “Ia nak ayah janji hari ini ayah akan cari uang buat beli baju kamu sama adik kamu”. “Ayah serius?”. Pak Arif menganggukkan kepala sebari tersenyum pada Lyla yang kegirangan mendengar putusan ayahnya.

“Kenapa bapak  mengiyakan permintaan kak Lyla?, Baju baru itu kan mahal pak”. Kyla yang sedari tadi mengintip dibalik celah pintu kamar mencoba mewawancarai bapaknya. “ Iya nak, tapi bapak sangat ingin membahagiakan kalian. “Kalu bapak keberatan, bapak cukup beli satu aja buat kak Lyla, aku gak apa-apa kok. Lagian Kyla kan masih punya tabungan kalau pun Kyla mau Kyla pasti beli sendiri”. Dengan nada menghibur Kyla menenangkan ayahnya agar tidak banyak pikiran.”Kenapa kakakmu sangat berbeda denganmu, kamu baik, sayang ke bapak, perhatian, sopan,  andaikan ibumu masih ada, ia pasti bangga padamu nak”. Bapak gak boleh bicara seperti itu, ibu pasti bangga pada kita semua dan ibu pasti tersenyum melihat perjuangan bapak yang tidak ada putus-putusnya”. Keduanya terus berlarut dalam kemesraan tak menyadari bahwa Lyla mendengarkan dari celah pintu kamar. Tak tahu ada angin apa yang merasuki diri Lyla sehingga Lyla sekarang memeluk bapak dan adiknya, meneteskan air mata dan memohon maaf pada sang bapak”. “Bapak, Lyla minta maaf jika selama ini Lyla bandel dan tidak mengerti keadaan bapak, Lyla juga minta maaf karena Lyla selalu menentang bapak dan meminta yang tidak-tidak”. Lyla terus mengeluarkan kata-kata penyesalannya sampai akhirnya keadaan kembali tenang dan mereka sudah selesai bermaaf-maafan. “Ya sudah, kalian jaga diri baik-baik, bapak sayang sekali sama kalian bapak tidak mau terjadi sesuatu yang buruk pada kalian”. “Ah bapak seperti mau pergi jauh aja, kita juga sayang banget sama bapak, bapak jangan terlalu capek ya, berhenti aja kalau kecapean, kalau gak boleh sama bosnya bilang aja biar Lyla beri peringatan”. Semuanya tertawa mendengar penuturan Lyla yang sangat semangat meskipun baru selesai menangis. “Bapak pergi ya, assalamualaikum, do’akan bapak biar bisa beli baju baru untuk kalian”. “Iya pak”. Kedua anaknya itu menjawab dengan kompak. Siangnya pak Arif kembali bekerja, mengangkat batu demi batu ke puncak bangunan baru yang siap diserbu oleh calon investor dari negara kangguru. Tak terasa waktu menjelang petang Kyla dan Lyla menunggu bapaknya datang, berharap baju baru yang dipesan akan sampai ketangan mereka. “Jika bapak pulang nanti aku pasti akan memeluknya tidak peduli membawa baju baru atau tidak, aku akan tetap mencium kakinya dibuka puasa terakhir kita tahun ini”. Kyla bergumam menceritakan tekadnya pada sang kakak yang berdiri diambang pintu menunggu sang bapak pulang.

Waktu semakin sore, tapi pak Arif masih bekerja ditempat pengangkatan batu bangunan itu. Satu batu terakhir yang cukup besar ia tanggung di atas pundaknya. Langkah demi langkah terasa berat sore itu bagi pak Arif, entah kenapa ia menjadi ingat kepada kedua anaknya. “Ayah sayang kalian”. Pak Arif bergumam pada bayangan dikepalanya. “Awas!!!!”. Dari lantai atas tempat pak Arif berdiri, sebuah batu besar menggelinding di udara, seperti singa yang siap menerkam mangsa dan brakkk…. tubuh ronta itu tak lagi dapat berdiri, darah segar mengalir deras dari seluruh tubuhnya. Wajah keriput itu kini sudah tak berbentuk, remuk tak lagi mengutuk. Innailahi wainna ilaihi roji’un, di hari sebelum lebaran lelaki ronta tak lagi bertapak pada dunia, tak lagi bersua dengan anaknya. Ketupat akan belah, tapi katumbiri tak mau terbuka. Terdengar isak tangis Kyla dan Lyla ketika jenazah telah sampai di rumah duka.“Bapak, maafkan Lyla pak, gara-gara Lyla bapak jadi meninggal, Lyla gak peduli baju baru pak Lyla mau bapak kembali,bapak harus kembali pak!”. Lyla menyebut segala sesuatu yang berkecimbung pada pikirannya, melepas sesal pada diri yang baru sadar atas pengorbanannya. Tapi Kyla tetap tegar seperti biasa, meski dalam hatinya ia membisik perih “Bapak, Lyla sayang bapak, semoga bapak tenang berada disamping sang pencipta, semoga bapak mendapatkan balasan atas segala kebaikan bapak, maafkan Kyla pak”.

Waktu itu, di hari sebelum lebaran ada anak menjerit yatim, ada dunia yang berduka, ada alam yang bahagia, karena yang ronta tak lagi disiksa dunia. Dan yang mudalah yang kini harus bederma pada alam, pada dunia, pada bangsa dan agama, Karena tua pasti tersua. Esoknya, Kyla dan Lyla menemukan dua buah handphone dan secarik kertas. Betapa sedih suasana ketika mereka membaca isinya, namun bapak sudah tiada.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *