Oleh: Intan Pertiwi
Kerinduanku semakin terasa nyata di saat lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an menghiasi hari-hari ku. Setiap ayatnya memberikan kesejukan hati bagi para pendengarnya, termasuk diriku. Tiada hari tanpa bersyukur atas nikmat yang diberikan sehingga ku masih bisa mencicipi ketenangan di bulan suci ini.
“Aisyah.. Aisyah..”
Lamunanku dibuyarkan oleh suara yang terdengar familiar. Kali ini ibuku menyahut dari sebelah kanan. Ia terlihat duduk di kursi pengemudi dengan pandangannya yang fokus ke depan. Aku yang masih mengenakan seragam putih biru duduk di sebelah kirinya. Ibuku terlihat cantik dengan gamis cream dan kerudung yang senada.
“Iya, Bu?”
Ibu melirikku. “Sebentar lagi kita sampai, kamu masih ingin membeli ipad itu?”
Aku hanya membalas dengan anggukan. Sebenarnya hatiku masih bimbang. Alasan untuk membeli barang tersebut sebenarnya hanya hal yang sepele. Aku rela mengambil semua tabunganku untuk membeli keluaran terbarunya hanya karena beberapa teman di sekolah memilikinya dan aku tergiur dengan kecanggihannya.
“Oke kita sudah sampai, kamu duluan aja itu tokonya diseberang. Hati-hati ya nyeberangnya, ibu cari parkiran dulu.”
Aku mengangguk dan keluar dari mobil. Matahari sangat terik ditambah dengan kendaraan yang berlalu lalang membuat suasana semakin panas. “Kalo nggak lagi puasa, pasti minum es kelapa bakalan melepas dahaga.” ucapku sembari memperhatikan kanan kiri.
Toko elektonik berada di depan depan mata, namun niatku masih berputar-putar di kepala. Berbagai pertanyaan masih saja belum dapat terjawab. Apa ini keputusan yang tepat bagiku?
Aku melangkahkan kakiku dengan perlahan dan menyeberang dengan hati-hati dan akhirnya toko elektronik itu sudah di depan mata.
Obrolan ku dengan ayah kemarin tiba-tiba teringat kembali. Obrolan mengenai amalan yang sebaiknya dilakukan di bulan yang penuh berkah ini.
—
Ku pandangi sebuah bangunan berkubah yang terletak berseberangan dengan rumah sederhana yang kutinggali ini. Bangunan itu menjulang tinggi dengan warna putih dan perak yang mendominasi. Bisa ditebak bangunan itu tidak hanya memiliki satu lantai, melainkan dua lantai lengkap dengan segala ornamen yang semakin menambah kemegahannya.
Kilauan emas pun tak dapat terhindar dari mata yang memandang bangunan tersebut. Kubah berwarnakan emas itu berkilau dengan terang seakan-akan sebongkah emas memang menghiasinya. Dibawah naungannya nampak bedug yang terlihat kokoh berdiri menemani keagungan bangunan tersebut. Berbeda dengan bangunan lainnya yang terlihat sederhana bahkan ada beberapa yang cukup kumuh. Masjid itu satu-satunya bangunan yang selalu menyihir setiap orang yang memandang. Siapa pun yang sanggup membangun bangunan itu ku berharap ia memiliki hati yang sangat mulia hingga ia bisa menciptakan sesuatu yang sangat megah.
Aku duduk di kursi kayu dengan bantal empuk yang terletak di atasnya. Setelah penat melakukan kegiatan di sekolah, ku selalu menyempatkan diriku untuk duduk sejenak menikmati angin sore yang membawa kesegaran. Tak kala segelas teh pun ikut menemani diriku, namun tidak untuk di bulan yang penuh berkah ini.
“Aisyah.” suara seseorang yang familiar seketika membuyarkan lamunanku.
Seorang lelaki menghampiriku dan terduduk di kursi yang berada di sebelahku. Pakaiannya rapi, dengan sebuah kopiah yang terlihat menutupi rambutnya yang mulai beruban. Kumis dan janggutnya yang memiliki warna senada ikut menghiasi wajah bulatnya. Dirinya bersandar dengan pandangannya yang mengikuti arah pandanganku. Menuju bangunan berkubah.
Ku tolehkan pandanganku sesaat. “Oh, ayah sudah mau berangkat ke masjid?”
Senyuman tipis terukir di wajahnya. “Iya, kamu mau ikut sholat di masjid?”
“Tentunya, Ayah.” Ayah kemudian menyandarkan dirinya dan bersedekap menanti datangnya azan berkumandang. Seperti biasa lantunan ayat suci Al-Quran selalu menghiasi kedatangan azan.
Diriku masih termenung di bawah serambi yang cukup lebar ini.
Kuperhatikan bangunan tersebut, tiada hari bangunan berkubah itu terlihat sepi oleh segala lapisan orang yang tak mengenal umur. Lantunan azan pun seperti sihir yang memanggil mereka untuk segera merapat. Tak kala tempat itu akan menjadi pengingat mereka akan amalan baik yang telah mereka lakukan. Namun amalan baik apa yang telah mereka buat?
“Kita sangat beruntung, masjid itu dibangun tepat di seberang rumah kita.” ucap ayah sambil merapikan baju putih yang ia kenakan.”Kita jadi bisa sholat berjamaah dengan mudah.”
“Iya, Ayah.”
Tak biasanya ayah duduk menemaniku. Biasanya ia selalu bergegas ke masjid meskipun waktu sholat belum tiba. Ia selalu menyempatkan diri mengaji dan akhirnya melantunkan azan.
“Meskipun begitu banyak juga orang dari jauh yang suka sholat berjamaah di situ, Aisyah.” Aku mengangguk. “Kamu tau Pak Mardi? Ia selalu menjadi kawan ayah di masjid.”
“Pak Mardi?” tanyaku.”Pak Mardi yang rumahnya di kompleks sebelah?”
“Iya, meskipun rumahnya tidak terlalu dekat dengan masjid ia selalu sholat berjamaah.” ujar ayah sambil sesekali melihat jam tangan di pergelangan kanannya.
“Tumben ayah tak segera ke masjid.”
Sekali lagi ayah memperhatikan jam tangannya lalu menoleh kepadaku.
“Ayah ingin bersantai sebentar bersama anak ayah yang paling besar.”
Ayah tertawa kecil begitu pun dengan diriku.
Ayah selalu memperlakukanku seperti gadis yang sudah beranjak dewasa, padahal aku baru saja duduk di kelas dua sekolah menengah pertama. Tapi ayah selalu berpesan untuk selalu memiliki sikap yang dewasa dan menjadi contoh yang baik bagi adik-adikku yang masih perlu diberi bimbingan. Mereka adalah Mila dan Mida, adik kembarku yang masih di sekolah dasar.
“Masjid itu mulai dibangun di saat kamu lahir, Aisyah.”
Aku menoleh sembari ayah berbicara topik lain.
“Benarkah?” ucapku tak percaya “Berarti ayah dan ibu sudah tinggal di sini sebelum ada masjid itu?”
“Benar sekali, Aisyah.” Kini ayah benar-benar tersenyum lebar. “Ayah ingat sekali watu itu, lahan masih kosong namun ada spanduk yang bertuliskan segera dibangun masjid. Orang-orang yang berlalu lalang selalu memberikan sumbangan sebagai sedekah untuk mendukung terbangunnya masjid itu.”
“Jadi masjid itu hasil dari sumbangan warga?” tanyaku penasaran
“Iya, banyak sekali orang yang menyumbang saat itu. Secara bergantian warga berdiri di jalan untuk menerima sumbangan tersebut. Ayah pernah beberapa kali meluangkan waktu menjadi sukarelawan mengumpulkan hasil sedekah.”
“Oh pantas saja, ibu pernah cerita bahwa ibu pernah mengeluh di saat ayah terlihat sangat hitam. Kata ibu ayah terlihat seperti kuli bangunan. Kulitnya coklat pekat.”
Ayah tertawa lepas. “Ada-ada aja ibumu, Nak.”
“Ayah pasti juga ikut bersedekah bukan?” tanyaku masih tertawa kecil
Ayah mengusap ujung matanya. “Pastinya, apalagi di saat bulan ramadhan seperti ini. Dulu, banyak sekali orang yang bersedekah untuk pembangunan masjid itu, hingga sumbangannya sangat melimpah di saat bulan ramadhan. Dan akhirnya masjid itu dapat dibangun dan berdiri kokoh di lahan itu.”
“Memang apa bedanya dengan bulan lainnya, Ayah? Aku juga sering lihat di saat sholat tarawih orang-orang yang sholat suka memberikan sumbangan”
“Tentu saja beda, Aisyah. Mereka melakukannya sebagai bentuk amalan baik yaitu bersedekah.” Aku mengangguk pelan. “Banyak cara yang bisa kita lakukan dalam bersedekah, ya salah satunya seperti memberikan sumbangan kepada yang membutuhkan.” Ayah menjelaskan. “Untuk di bulan ramadhan pastinya itu merupakan amalan yang sangat baik, di hari-hari selain ramadhan saja bersedekah itu merupakan amalan yang sangat baik apalagi di bulan yang penuh berkah ini”
Aku memperhatikan kalimat ayah dengan seksama. Setiap kalimatnya menjadi renunganku. Ku tengok masjid di seberang rumahku yang mulai ramai meskipun azan belum memanggil.
Allahuakbar Allahuakbar
“Eh, sudah azan ayo siap-siap ke masjid.” ucap ayah sembari berdiri dari kursi. Aku mengikuti gerak-gerik ayah dan langsung bersiap melaksanakan sholat Ashar
“Baik, Ayah.”
—
Kalimat ayah telah kurenungkan. Daripada menghabiskan uang tabunganku untuk barang yang seharga tujuh digit itu, mungkin lebih baik aku menyedekahkan sebagian tabunganku untuk seseorang yang kurang mampu. Sebagai memperbanyak amalan baik di bulan yang suci ini. Ibu juga sering menasihatiku setiap aku menagih janji untuk membeli elektronik tersebut. Lagipula smartphone yang kumiliki sudah cukup bagiku
Ya, niatku sudah bulat. Lebih baik aku menyedekahkan sebagian tabunganku.
Aku membalikkan badanku untuk kembali menyebrang dan mendatangi ibuku. Namun langkahku tak dapat dilanjutkan. Seketika sebuah mobil melaju dengan kencang dari arah kanan. Waktu terasa berjalan dengan lambat di saat mobil itu membawa tubuhku terdorong kedepan. Aku hanya bisa terkulai tak berdaya sesaat bersentuhan dengan aspal. Samar-samar pandanganku mulai buram. Terlihat sekumpulan orang mulai mengelilingiku. Suara mulai terdengar samar, begitupun ibuku yang mulai memelukku dengan erat.
“Sejak kapan ibu berada didekatku.” pikirku
Tak terasa diriku sudah berbaring di atas kasur dengan beberapa orang yang mengelilingiku. Aku melihat ada ayah, ibu, adik kembarku, dan beberapa orang yang mengenakan pakaian rumah sakit. Ayah dan ibu terlihat disampingku. Memegangiku, mengelusku. Wajahnya terlihat sangat sedih. Air mata pun membasahi wajah mereka. Adik kembarku berada di rangkulan tiga perempuan yang sepertinya seorang perawat. Raut wajah mereka sama seperti ayah dan ibu.
Sekujur tubuhku terasa sakit. Aku merasa tak berdaya, bahkan aku hampir tak bisa merasakah beberapa bagian dari tubuhku. Apa ini yang namanya sakaratul maut? Aku mulai membuka mulutku untuk mengucapkan sesuatu, berharap Allah masih memberikan beberapa waktu bagiku.
“A-ayah.. ibu.” ucapku gagap. Mereka pun langsung menatapku dengan seksama tanpa berkata-kata. “A-aku ingin.. menyedekahkan.. se-semua.. tabunganku.”
Ayah dan ibu mengangguk perlahan sambil menahan tangis yang semakin menjadi-jadi. “Ba-baik, Nak.”
Aku mencoba untuk tersenyum.“Biarkanlan.. i-itu menjadi.. amalan terakhirku.. di bulan ramadhan ini.”
Kini aku merasa sangat tak berdaya dengan rasa sakit yang semakin menjalar di tubuhku. Pandanganku mulai kabur. Aku bisa merasakan ayah yang memegangi tanganku dan mulai berucap sesuatu di telingaku.
“Aisyah.. Nak ikuti ayah,” ucap ayah dengan suara yang serak.”Asyhadu an la illaha lilla Allah-”
Aku mengikuti ucapan ayah sebisa mungkin. “Asyhadu an la.. illaha lilla Allah.”
“Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”
Dengan kalimat terakhir yang akan ku ucapkan, seketika dunia langsung menjadi gelap.
“Wa asyhadu anna.. Muhammadar Rasulullah.”
Dengan hembusan nafas terakhir aku berharap bisa menghadap yang maha kuasa dengan amalan yang telah ku lakukan di dunia ini. Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un