Kritik Sastra: Aquaman yang Kurang Micin

Aquaman merupakan film superhero yang diadaptasi dari karakter DC Comics dengan genre petualangan aksi yang digarap oleh James Wan (The Nun, Lights Out) selaku sutradara dan penulis cerita bersama Geoff Johns (Deadpool, Green Latern Corps) dan Will Beall (The Legend of Conan, Gangster Squad) dalam mengembangkannya dari komik berjudul Aquaman karya Paul Norris dan Mort Weisinger ke dalam film.

Film ini menjadi spin-off atau film solo dari anggota Justice League dengan mengisahkan tentang Arthur Curry atau dikenal sebagai Aquaman, pewaris kerajaan bawah laut Atlantis yang harus melangkah maju untuk memimpin rakyatnya dengan melawan saudaranya sendiri, Orm yang berusaha untuk menyatukan tujuh kerajaan dan melawan dunia permukaan.

Namun demikian, film garapan James Wan ini terbilang mengecewakan bagi sebagian orang.

Kalau diibaratkan makanan, film ini disajikan dengan platting yang memukau, namun ketika dicicip, terasa seolah ada yang kurang. Pertanyaannya, apa yang kurang? Garam kah? Gula kah? Atau micin?

Alur atau Plot

Dari segi alur/plot, dapat dikatakan film ini memiliki alur/plot yang sangat mudah ditebak. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan alur cerita yang umum dan gampang ditebak. Banyak film yang diangkat dari dongeng-dongeng populer yang tetap keren untuk dinikmati, meskipun semua sudah tahu jalan ceritanya. Seperti film Snow White and the Huntsman, misalnya. Kita tentu sudah paham alur cerita ini, namun cerita ini dibawakan dengan varian berbeda tanpa mengubah esensi cerita aslinya, dan rasanya pun tetap nikmat.

Masalahnya adalah, soal tebak-tebakan dalam sebuah cerita tidaklah terbatas pada alur keseluruhan. Sebuah alur cerita memiliki kronologi-kronologi, dan dalam kronologi terdapat detil-detil yang juga penting untuk diperhatikan. Sebagai contoh, penggalan cerita saat Arthur berjuang mencari trisula. Detil kronologi ini mungkin sudah bisa diprediksi hasilnya, Arthur pergi memburu trisula, menghadapi rintangan-rintangan hingga akhirnya berhasil menemukan apa yang ia cari. Namun petualangan dalam mencari trisula ini terkesan terlalu mudah dan kurang greget. Bisa dibilang, kurang ada bumbu ironi dalam detil ini. Jadinya, lempeng-lempeng saja kesannya.

Ending

Selain soal alur/plot, ending cerita ini juga terkesan biasa-biasa saja. Tak salah jika mengatakan film ini diakhiri dengan istilah happy ending. Si Aquaman berhasil menggagalkan perang besar antara laut dan daratan. Namun, keberhasilan akan terasa lebih berkesan apabila ada yang dikorbankan dalam upaya menggapai keberhasilan tersebut. Istilahnya, keberhasilan itu harusnya dibayar dengan harga yang mahal supaya lebih bernilai. Misalnya, dia (Aquaman) harus kehilangan seseorang yang ia cintai untuk bisa mencapai keberhasilan itu, atau yang semacamnya.

Banyak film dan cerita novel yang mengusung konsep ini, seperti Spiderman yang harus kehilangan bibinya, Captain America yang harus kehilangan sahabatnya dan bahkan gagal nge-date dengan cem-cemannya. Ups …. Dalam kasus novel, contohnya adalah A Pocket Full of Rye karya Agatha Christie di mana Mrs Marpel yang berhasil memecahkan suatu kasus pembunuhan berantai, namun ia tak sepenuhnya berbahagia terhadap kesuskesannya dalam memecahkan kasus tersebut. Hal ini karena salah satu korban dalam pembunuhan berantai itu adalah mantan anak asuhnya sendiri.

Nah, sedangkan dalam film Aquaman ini, tak ada satu pun orang penting yang dikorbankan. Bahkan Arthur malah kembali dipertemukan dengan ibunya. Hal inilah yang barangkali menyebabkan ending film ini kurang berkesan. Seperti tak ada ironinya sama sekali.

Penokohan

Selain kedua hal tersebut, wajah hitam putih juga masih sangat nampak pada film ini. Maksud daripada hitam putih di sini adalah adanya tokoh baik dan tokoh jahat. Memang, penokohan yang hitam putih sudah menjadi hal yang lumrah dalam sebuah cerita. Namun, menyamarkan kesan hitam putih ini akan membuat cerita menjadi terasa lebih nyata dan multi-perspective.

Satu film yang mungkin bisa dikatakan paling berhasil dalam menghilangkan penokohan hitam putih adalah Captain America: Civil War. Di mana pada film ini kedua kubu yang berseteru sama-sama memiliki alasan yang logis dan berterima dalam membela idealismenya masing-masing. Sampai akhirnya diketahui bahwa ternyata ada pihak ketiga yang mengadu domba kedua belah pihak. Bahkan, pihak ketiga tersebut juga punya alasan yang sulit untuk dihakimi. Yang jelas, ia tak melakukan itu (mengadu domba) untuk kepentingan material dirinya sendiri. Hal ini dibuktikan di akhir cerita, yang mana pihak ketiga ini memilih untuk bunuh diri setelah menyelesaikan misinya tersebut.

Demikianlah sekilas refleksi dari film Aquaman. Tentu kesemuanya ini hanyalah berangkat dari sudut pandang dan penilaian pribadi penulis saja. Tak bermaksud meremehkan, karena beginilah yang namanya kritik sastra. Tujuan utamanya hanyalah untuk mencoba mengungkap hikmah di balik film Aquaman yang kurang micin.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *