Kushadaqahkan Ilmuku Karena Allah

Oleh: Isarotul Imamah

“Kalian harus berani Istiqamah bila telah keluar dari pesantren. Ilmu kalian tak akan bermanfaat bila kalian gunakan untuk kepentingan dhewe’ tanpa menyiarkan kepada orang lain.”

Petuah bijak Abah Kyai saat mengaji Ta’limul Muta’allim mengetuk pintu hatiku. Semua nasihat bertamu dalam memori otakku. Aku berdiri didepan jendela kamarku. Menatap lalu lalang orang-orang yang bubar dari jama’ah shalat tarawih. Seorang gadis kecil berlarian riang, mukenanya berkibar tertiup angin. Seorang balita tertidur lelap dalam gendongan ibundanya.

Aku pulang lima menit lebih awal dari mereka. Kantukku tiba-tiba menyerang, hingga kuputuskan pulang terlebih dulu tanpa mengikuti kultar. Kalau saja tarawihku sekarang di Al-Huda, tentu di sujud, ruh aku bakal terbawa ke alam mimpi.

Ini malam tarawih keempatku di tanah lahirku. Baru saja aku pulang 3 hari yang lalu, tepat pukul 3 sore aku tiba. Dua Mas Khadim Ndalem yang mengantarku waktu itu memutuskan shalat ashar di masjid kompleks rumahku. Ibuku sempat menawari mereka masuk, mereka tak menolak. Mereka hanya minum air putih, lantas pamit pergi.

Aku sengaja pulang dengan diantar armada pesantren. Ibu bilang, ongkos angkot sedang naik dua kali lipat di bulan suci ini. Bang Salim tak bisa menjemputku, lantaran ia disibukkan dengan pekerjaanya, mengajar ngaji anak-anak di TPQ. Hanya aku dan Dewi yang berasal dari Bandung. Dewi tiba terlebih dahulu. Setengah jam setelah Dewi, barulah aku menginjakkan kaki di kampung tercinta.

“Wa? Belum tidur? Katanya tadi ngantuk??” Aku mengalihkan pandanganku dari keramaian jamaah yang bubar ke arah Ibuku.

“Udah hilang, Bu..” Jawabku singkat.

Ibu menghampiriku, membelai lembut puncak kepalaku yang masih dibalut mukena, yang belum sempat ku lepas semenjak pulang tarawih tadi.

“Dari tadi ngapain? Sampai mukenanya belum Salwa lepas?”

“Nonton jamaah bubar, Bu… Hehe…”

“Tidur gih, biar besok bisa bangun pagi…”

Aku mengangguk mengiyakan. Ibu perlahan keluar dari kamarku, setelah terlebih dahulu mengecup dahiku dengan penuh kasih sayang.

Aku sangat bersyukur memiliki Ibu yang begitu lembut, penyayang.Ibuku yang tegar. Ibuku yang tetap setia mencintai ayah, meski ayah telah pergi untuk selama-lamanya.

Ah…

Kepaku terasa berat. Kepalaku melayang pada kejadian tadi siang.

“Ngapain sih, jauh-jauh gitu, kan bisa ngajarin di TPQ disini bareng Abang. Buang-buang duit melulu.” Komentar Bang Salim, ketika aku memberitahu tentang pesan yang dikirim Herman.

Ya, Herman teman kuliahku jurusan dakwah dan juga nyantri satu pesantren bersamaku. Ia tinggal di Nias. Dia menawariku untuk mengajar agama di kampungnya.

“Abang juga nggak yakin, Ibu bakal ngizinin.” Imbuh Bang Salim.

“Jadi salah, kalo Salwa bagikan ilmu Salwa ke saudara jauh?” Balasku dengan suara agak meninggi.

“Kenapa Abang melarang Salwa? Kenapa? Bahkan, para khalifah Khulafaur Rasyidin, Khalifah Umayyah, Khalifah Abbasiyyah berusaha berdakwah lebih juh lagi mengarungi samudera raya. Apa karena Salwa perempuan, Bang?”

Ah… Abang Saliiim

Mataku terasa berat. Ku lepas mukenaku, melipatnya rapi, lalu ku taruh diatas nakas dekat ranjang tempat tidurku. Sekali lagi ku tengok ke arah jalanan. Tampak lengang, tak ada satupun orang yang berlalu.

Ku pejamkan kedua mataku. Tidur.

Siang itu, Ibu tengah menyulam di beranda depan rumah. Aku mencoba untuk mnghampiri. Mungkin ini kesempatan baik untuk meminta izin pada Ibu. Semoga saja Ibu ihlas, tak seperti yang disangkakan Bang Salim kemarin.

“Bu…” Panggilku lirih.

“Ya? Sini duduk, Wa…” Ibu menjawab sapaku tanpa menoleh padaku. Matanya terfokus menatap kain sulaman bertuliskan kalimah syahadat. Tanganya yang gesit memasuk keluarkan benang dari kain.

Lama ku terdiam. Menimbang-nimbang pertanyaan. Dari mana aku harus memulainya? Agar Ibu tak terkejut keberatan. Melepasku hijrah.

“Bu, Salwa mau tanya sesuatu.” Ucapku akhirnya.

“Salwa harap Ibu tak terkejut.”

“Ada apa sayang?” Ibu menghentikan menyulamnya. Menatapku dalam, mata teduhnya mengunci rapat bibirku. Aku tak tega meninggalkan Ibu. Kasih sayangnya, lembut perilaku dan tutur katanya, membuatku selalu ingin di sisi Ibu. Tapi…

“Bu, izinkan Salwa ke Nias…” Ucapku hati-hati.

Ibu meletakkan sulaman bertuliskan dua kalimat syahadat itu yang sedari tadi masih ia pegang dengan erat. Dengan lemparan yang lembut. Matanya yang tadinya cerah tiba-tiba mendung.

“Untuk apa kau kesana jauh-jauh?”

“Bu, kemarin, teman Salwa di Nias menawari Salwa untuk mengajar agama disana. Salwa sudah mempertimbangkan baik-baik. Dan Salwa menerimanya. Sebab Salwa pikir, hijrah menyiarkan ilmu kepa orang lain akan lebih baik daripada dirumah saja.” Jelasku panjang lebar.

Mata Ibu berkaca-kaca.

“Dengan siapa kamu akan pergi?”

“Sendiri.”

“Kapan berangkat?”

“Insya Allah besok pagi.”

“Berapa lama kau disana?”

“Insya Allah, lebaran aku pulang.”

“Salwa… Tahun kemarin, kau tetap di pesantren. Kau hanya pulang saat hari Idul Fitri. Sekedar berziarah kemakam almarhum ayah.Dan tahun ini, kau akan pergi lagi? Kamu bisa mengajar disini bersama Abangmu, tak usah jauh-jauh lah.”

Perlahan, satu butir air mata lolos dari pelupuk mata Ibu, lalu disusul butir-butir berikutnya. Ku raih tubuh Ibu, memeluknya erat. Dengan masih dalam dekapan Ibu, aku berkata pelan.

“Bu, ini tugas penting. Salwa hanya ingin menolong saudara kita sendiri. Ukhuwah Ad-Diniyyah. Mereka membutuhkan Salwa Bu, mereka butuh pencerahan. Pantaskah bila Salwa hanya tinggal diam menyaksikan saudara Salwa sendiri hidup dalam ketidaktahuan? Apa yang terjadi bila ada kesalahan persepsi? Karena Salwa berasa mampu, maka Salwa berkewajiban untuk mengulurkan tangan.”

Ibu merenggangkan pelukan. Tangannya membelai lembut kepalaku, seraya menasehatiku.

“Sampaikan apa saja yang telah kamu dapat dari pesantren, walau hanya satu kalimat.”

Pagi yang cerah, mentari telah tampak di ufuk timur. Langit biru dihias awan putih yang menggumul bak bunga kol putih raksasa. Jalanan depan rumahku agak lengang. Orang-orang pasti sedang menghadiri kuliah subuh di masjid.

Bang Salim sibuk mengelap mobil kijangnya yang tampak kusam tersampul debu. Sekali lagi ku ingat sesuatu, memastikan tak ada barang yang tertinggal.

“Dek, ngajak Dewi atau siapa gitu, kamu perempuan loh, gimana kalo ada sesuatu tak terduga terjadi?”

“Lillahi Ta’ala… semoga Allah membantuku, semoga Allah memudahkan langkahku.”

Bang Salim menatap lurus ke arahku. Aku menunduk, intinya, tekadku sudah bulat. Aku tak ingin jiwaku goyah oleh kata-kata cegahan Bang Salim.

Namun…

Kulihat Bang Salim merogoh saku baju kokonya, lantas meraih tangan kananku. Kurasakan ada sesuatu yang ia selipkan di tanganku.

“Untuk cadangan bila kau kritis moneter. Maaf hanya bisa memberi mu sedikit. Insya Allah, seminggu sekali Abang transfer.”

Perlahan, aku mendongak, menatap wajah Bang Salim. Matanya berbinar penuh kemilau.

“Abang bangga punya adek cerdas sepertimu. Maafkan Abang yang dari kemarin-kemarin mencegahmu, namun bukan secara sungguhan. Abang hanya menguji sejauh mana niatmu. Ternyata kamu memang bersungguh-sungguh.”

“Makasih, Bang.” Jawabku pendek.

“Hati-hati di jalan. Jaga dirimu baik-baik. Kabari Abang bila terjadi sesuatu. Jangan paksa tanggung sendirian bila memang kau tak kuat.”

“Walah… Abang niru-niru Dilan tuh…” Sungutku seraya tertawa renyah.

Di Bandara…

Ibu memelukku lama, mengecup lembut puncak kepalaku sebelum akhirnya aku menaiki pesawat yang akan membawaku ke Nias.

Selamat tinggal Ibu…

Selama delapan jam aku naik turun transportasi yang berbeda. Akhirnya, setelah berakhir dengan menaiki bus, kini aku harus berjalan kaki menapaki jalan berbatu. Ku lirik arloji di pergelangan tangan kananku. Hampir masuk waktu Ashar. Dengan berbekal secarik kertas bertuliskan alamat kampung Herman, aku kembali melanjutkan perjalananku.

Dari kejauhan, samar-samar ku lihat seperti perkampungan. Rumah-rumah yang berjejer tidak teratur. Alkhamdulillah, aku hampir sampai, kilahku.

“Herman…!”

Senyumku mengembang, ketika dua mataku menangkap sesosok pemuda sedang duduk di depan teras sebuah bangunan. Pemuda itu tampak sibuk berkutat dengan ponsel di genggamannya.

Pemuda yang barusan ku panggil namanya langsung menoleh ke arahku, lantas bangkit dari duduknya dan menghampiriku dengan raut muka menampakkan ekspresi tak percaya.

“Sa… Salwa?Masya Allah… Sejak kapan tiba Wa??” Tanyanya.

Aku tertawa kecil melihat raut nya yang lucu.

“Wa, aku bolak balikngecek handphone, nunggu kabar dari kamu, eh, tahu-tahu kamu nya udah nyampe disini.. Aku ngga nyangka!”

“Maaf Man, bateraiku low, jadi ngga bisa ngehubungi kamu lebih dulu.” Jawabku

Herman meraih koperku, membantu membawa.

“Disini tak ada hotel, asrama yang nyaman, atau penginapan mewah. Yang ada hanya pondok penginapan yang sederhana, tak semewah di kota. Nanti aku bantu carikan dan urus administrasinya. Baiklah, kita ke balai dulu, orang-orang telah menunggumu disana. Ayolah, kamu bersikap biasa sajalah, tak usah canggung, orang-orang disini baik-baik dan ramah.”

Ku ikuti langkah Herman, yang akan membawaku ke balai.

“Assalamualaikum wr.wb.”

Orang-orang di balai serempak menjawab salam Herman. Herman memperkenalkanku serta tujuan kedatanganku. Aku hanya menundukkan kepalaku megahadap tanah, sesekali aku melirik orang-orang, namun canggung rasanya.

“Jangan menunduk gitu… Cantiknya ngga akan keliatan.. haha” Goda Herman

Aku hanya menimpali dengan memelototkan kedua mataku padanya.

Jam menunjukan pukul empat sore, sesaat tiba-tiba pintu pondokku diketuk, Herman datang.

“Wa, udah siap-siap masak? terus ambil nimba di sungai?”

“Lho, masih agak siang juga, emang buka puasa jam berapa?”

“Wadoh, kamu atur jam tangan kamu dulu tuh, sekarang pukul 4.tinggal satu setengah jam waktu berbukanya.”

Bergegas, aku menyambar ember di dapur, lantas melangkah keluar rumah menuju sungai. Sungguh! Aku lupa mengatur waktu. Aku lupa bertanya berapa selilsih waktu antara Indonesia Barat dengan Indonesia Timur. Ah! Beruntung Herman mengingatkan. Masih ada waktu untuk bersiap-siap.

Adzan maghrib berkumandang. Seusai berbuka, aku langsung menuju ke mushala untuk jamaah maghrib. Hingga masuk waktu isya, aku masih dimushala. Ku isi waktu antara maghrib dan isya dengan bertadarrus.

Tarawih pertamaku di Nias. Dengan Herman sebagai Imam shalat. Agak berbeda dengan tarawihku di hari-hari yang lalu, jarang mengantuk.

Panas kian terasa membakar kulit. Aku berdiri di depan teras pondok menyaksikan anak-anak bermain riang. Saling berkejaran satu sama lain. Tertawa ria. Sepuluh menit lagi masuk waktu dhuhur. Ku putuskan memanggil anak-anak untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka mengangguk serempak, tanpa mengoceh mengeluh masih ingin meneruskan keseruan bermainnya.

Usai shalat dhuhur,aku memulai aktivitas untuk yang pertama. Mengajari anak-anak membaca Al-Qur’an. Butuh kesabaran dan tak tergesa dalam mengajar. Satu per satu kujelaskan huruf-huruf hijaiyah, dan pedoman tajwid.

Tiap hari ba’da dhuhur aku terus seperti itu, mengajar anak-anak.

Setiap pagi, aku kerap melihat anak-anak bermain, atau bahkan pergi ke sungai menimba air. Terlintas ide dalam benakku untuk mengadakan sekolah khusus.Ide itu kuutarakan pada Herman. Herman bilang itu ide bagus. Namun, entah anak-anak itu mau atau tidak. Maka, sehabis mengajar ngaji ba’da dhuhur, aku mengunjungi rumah-rumah satu persatu, menyampaikan adanya kegiatan sekolah untuk anak-anak.

“Tidak, saya tidak meminta imbalan apapun, saya hendak meminta agar ibu izinkan anak ibu sekolah.” Begitu jawabku ketika beberapa ibu menolak program baruku karena takut masalah biaya.

Kian hari, muridku semakin bertambah, Alhamdulillah.Namun, fasilitas yang kurang begitu memadai. Karena itu, aku memakai metode belajar outdoor class, dengan mengambil halaman dibawah pohon duku yang rindang menjadi tempat kegiatan belajar.

Aku mengelompokkan menjadi dua kelas yang berbeda, berdasarkan kemampuan dan umur. Antara anak yang besar dan yang masih kecil. Herman dan aku yang mengajar, secara bergantian.

Malam seusai tarawih, aku biasanya mengajar ibu-ibu, sekedar pengajian agama. Itupun bila Herman tak berhalangan atau ada acara. Jadi, aku hanya sebagai cadangan. Karena itu, aku meminta Herman agar aku saja yang mengisi pengajian. Herman untuk bapak-bapak, sedangkan aku untuk ibu-ibu.

Demikianlah, keseharianku penuh dengan aktivitas mengajar. Aku hanya memiliki waktu santai sehabis ashar.

Waktu terus berlalu, hari berganti hari. Murid-muridku telah pandai membaca Al-Qur’an dengan tata cara tajwid. Bahkan telah lancar membaca iqra, sekaligus mengkhatamkannya. Aku dapat menilai, perkembangannya begitu cepat, karena kesungguhannya dalam belajar.

Tak terasa, 5 hari lagi Idul Fitri. Dan 4 hari lagi aku akan kembali pulang ke kampung halaman. Rasanya, seperti baru kemarin hari aku berkenalan dengan anak-anak, mengajari huruf-huruf hijaiyah.

Pagi itu, seperti pagi biasanya, aku mengajar muridku, namun kali ini, aku memutuskan mengajak mereka jalan-jalan keliling kota. Bahkan sebelum itu, susah payah aku membujuk Herman.

“Herman,,, please deh,… Sekali-kali… Pasti mereka bahagia tak terkira.Mumpung ada kesempatan, mumpung aku belum balik ke Bandung…”

Tak bisa aku jelaskan betapa riangnya mereka, mereka bersorak kegirangan.

Dengan menaiki mobil Herman yang disewanya dari Pak Darno, seorang Kepala Dusun, kami berkeliling menyusuri jalan-jalan yang berlatar belakang bebukitan dan pegunungan.

Sampailah di pasar, aku membeli oleh-oleh berupa tas khas Nias untuk Ibu, serta baju batik khas Nias untuk Bang Salim. Tak lupa aku membelikan beberapa alat tulis, buku-buku bacaan untuk anak-anak.

Herman sumringah tatkala aku membelikannya baju batik lengan panjang.

“Alkhamdulillah, rezeki Allah datang,” Begitu kilahnya.

Aku hanya tertawa geli.

Kami tiba di pondok sepuluh menit sebelum masuk waktu maghrib. Aku meminta maaf pada orang tua anak-anak, karena telah membuat mereka cemas. Aku bilang, mereka baik-baik saja, dan aku telah membelikan makanan untuk berbuka puasa.

Hari ketiga sebelum aku balik, semua kegiatan berjalan sama. Ada yang aku resahkan. Uang yang akan ku gunakan untuk membeli tiket pesawat tinggal seberapa, tak cukup. Aku tak menyadari, kalau selama aku merenung memikirkan uang, diam-diam, Ghazali, salah satu muridku memperhatikanku.

“Bang, uang Salwa habis,”

“Jadi Salwa ngga bisa pulang, Bang”

“Salam buat Ibu”

Krrk.

Suara patahan ranting mengalihkanku dari telepon Bang Salim. Ku buka jendela kamarku, dan kudapati Ghazali, berada di sana, hendak kabur, namun kucegah dia dengan meneriakkan namanya.

“Zali, kamu sedang apa malam-malam disini?”

Ghazali diam tak bereaksi, dia menunduk, matanya menatap ke bawah.

“Zali? kamu kenapa?”

“Jawab, jangan diam begitu, kau membuat ibu khawatir.”

“Zali, tatap Ibu!”

Perlahan, Ghazali mengangkat wajahnya, memandangku. Matanya berkaca-kaca.

“Ibu, jangan pergi.”

Aku tersentak. Ghazali rupanya menguping pembicaraanku dengn Bang Salim di telepon tadi.

Mata Ghazali berurai air mata.

“Ghazali sayang… Ibu harus pulang ke rumah. Ibu kan bukan orang sini. Ibu hanya orang yang hijrah, merantau… Bila ada waktu, kapan-kapan Ibu akan kesini lagi. Tenang sayang, jangan nangis…”

Ghazali melepaskan genggam tanganku yang sempat ku eratkan, dia berlari pergi meninggalkan ku.

Ghazali oh Ghazali…

Besok, ya, besok yang seharusnya menjadi hari terakhir aku disini. Namun, entahlah, aku tak bisa pulang bila tanpa uang untuk membeli tiket.

Pikiranku tak tentu arah, aku tak fokus mengisi pengajian ibu-ibu malam ini, Ibu Diyah, Ibunya Ghazali tiba-tiba menyentuh pelan pundak ku.

“Nak Salwa, kenapa murung?”

“Tidak apa, Bu. Cuma sedikit cape.”

“Ya sudah, mending Nak Salwa pulang, istirahat di rumah, biar Nak Herman yang ngisi pengajian.”

“Makasih Bu, namun, ini sudah tugas Salwa.”

Ibu Diyah melirik ke arah jemaah ibu-ibu yang ada di majlis, seolah memberi kode,semua ibu itu mengerubungiku.

Mereka serempak merogoh saku bajunya, lantas mengeluarkan sesuatu.Uang.

“Nak Salwa, kami tahu, Nak Salwa ingin pulang, namun tak ada uang cukup. Alkhamdulillah, hanya ini yang kami punya, tak seberapa. Insya Allah cukup untuk membeli tiket pulangmu itu.”

Mulutku bungkam. Mataku berkaca-kaca. Sungguh baik hamba-hambamu ini ya Allah…

Namun tatkala mereka menyodorkan kepadaku, aku menolak halus.

“Makasih banyak Bu, tapi maaf, Salwa tak mau ngerepotin Ibu.”

“Ambillah Nak, kami rela. Kami mempersiapkan ini karena untuk mu. Lillahi ta’ala.. seperti itu yang Nak Salwa ajarkan kepada kami kan?”

Dengan tangan agak gemetar, aku meraih pemberian ibu-ibu.

Alkhamdulillah.

Gamis biru langit dipadu jilbab putih. Aku mematut diriku didepan cermin. Barang-barang sudah kumasukkan semua dalam koper. Kala kubuka pintu pondokku,beberapa orang telah mengerumuni halaman depan. Astaga… Mereka berebutan menyalamiku.Tak ketinggalan pula anak-anak. Saat klakson mobil yang dikemudi Herman berbunyi, memanggilku untuk bergegas masuk, aku menyerah. Ku lambaikan tanganku pada mereka. Mengucap selamat tinggal. Terima Kasih ya Allah, Engkau telah berbaik hati kepadaku. Tugas dakwah, akhirnya ku selesaikan. Ridhamu Ya Allah… Biarlah ilmu yang ku beri jadi sedekah.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *