Menambal Nyawa dengan Sastra

Oleh: Alvin Nuha

Tuhan memang suka bercanda. Seperti bulan Ramadan sebelum dan sebelumnya, Dia menaikkan suhu bumi jadi 35 derajat. Dan mahasiswa macam diriku, yang tidak kaya tapi juga tidak memiliki motor, harus kuat-kuat menggowes sepeda melintasi jalanan yang agak menanjak dan lumayan bergeronjal. Belum lagi serbuan debu dari roda-roda mobil yang tidak ingin tahu nasib kami. Dalam perjalanan yang mengesankan itu aku sering bertanya, bagaimanakah hukumnya makan debu ketika puasa?

Sampai kampus jangan tanya seperti apa rupa penampilanku: ganteng tak terkira. Karena sebelum masuk kelas wajib hukumnya cuci muka, jika tidak dosen akan bertanya-tanya bagaimana bisa setan keluyuran di bulan ramadan?

Hari itu aku sungguh sibuk, dari jam 9 sampai satu itikaf di kelas mendengarkan dosen ngoceh sambil ngantuk-ngantuk kelelahan. Syukurnya aku punya motivasi lebih hari itu. Rutinitas keluar ruang jika mulai suntuk di kelas ku tanggalkan. Jam dua nanti akan ada lomba puisi. Uang jajan seminggu sudah ku pertaruhkan demi mengukur barometer kualitas menulisku. Meskipun kantongku kurus kering, tidak pernah ku niatkan lomba untuk menjadi juara. Pemenang adalah seseorang yang tidak melibatkan hidupnya dalam dunia menang-kalah.

Puasa tapi panitia masih sempat-sempatnya memupuk dosa. Di jadwal jelas tertulis pukul 14.00, nyatanya lebih dua puluh menit belum juga ada tanda acara segera dimulai. Tidakkah mereka sadar jika keterangan di brosur itu juga termasuk sebuah janji yang harusnya mereka tepati.

Singkat kisah, acara dimulai pukul tiga dan menjelang berbuka puasa juara diumumkan. Namaku terakhir disebut. Diriku yang sontoloyo ini ternyata punya bakat jadi pujangga ternyata. Dan itu akan menjadi tanggung jawabku terhadap bakat yang diberikan Tuhan. Dalam sebuah permainan catur, pasukan memiliki peran dan cara jalan masing-masing.

Aku merasa telah menjadi segelas yang penuh. Dan aku akan menetesinya tiap hari dengan pengetahuan supaya isi di kepalaku dapat meluber menyiprati orang-orang sekitarku. Dan sejak dua tahun lalu, aku membangun satu-persatu bata yang semoga dapat menaungi budaya, agama, dan manusia melalui sastra.

Aku bukan kepala sekolah, apalagi kiyai. Aku ini orang yang berdiri di tengah dunia yang terpinggirkan. Teman-temanku akrab dengan ganja dan minuman oplosan, mereka juga baik pada oknum-oknum pemerintah yang korup dengan menarik zakat maal dengan cara menodongkan pisau.

Sekilas wajah dan hati mereka kurang pantas disebut insan. Sama sepertiku mereka mirip setan. Tapi jika mereka telah menyandang gitar dan naik ke tangga bus sebagai pentas mereka menyanyi, orang yang pura-pura tidur akan terbangun dan yang pacaran akan semakin syahdu dalam peluk pasangan. Lirik-lirik lagu mereka karya sendiri. Kunci gitarnya pun mereka ramu sendiri. Bagiku, mereka adalah Chairil masa kini. Mereka tahu betul derita zamannya. Dan itu yang membuatku cinta mereka dan merelakan setengah hariku berbincang tanpa tentu arah lalu tiba-tiba berlabuh pada perbincangan puisi.

Malam ini pun aku ada meeting tidak penting bersama mereka. Awalnya seperti biasa, kami bernyanyi-nyanyi, berpuisi, dan menari-nari tapi dari dalam terdengar teriakan miris yang memekakkan telingaku. “Tolong!”

Aku dan kelima kawanku bangkit, di ruang tamu, tergeletak temanku yang paling jago bikin syair, Rasid namanya. Kondisinya miris, mulutnya berbusa putih, wajahnya menyeringai kesakitan, dan di tangannya tergeletak botol minuman pecah–melukainya. Kami segera mengangkat dan membokongnya ke rumah sakit terdekat.

“Maaf Mas. Sedang tidak ada dokter. Sedang terawih.”

“Tapi ini sudah pukul sepuluh, Mbak. Terawih dimana dia?” Suster jaga nampak gusar. Dia kelihatan tidak terbiasa menangani pasien yang menjijikkan seperti ini. Lalu dia pun memanggil temannya dan temannya memanggil temannya lagi hanya untuk meminta nomor ponsel dokter.

Satu jam kemudian dokter yang dinanti datang. Syukurnya belum terlambat. Nyawa Rasid terselamatkan. Banyak selang tersambung di tubuhnya. Baru kali ini ku lihat dia tertidur tenang. Biasanya meskipun tidur, dia seolah sedang berlatih kungfu.

Dia didiagnosa overdosis miras. Masa kritisnya telah berakhir. Hampir saja nyawanya melayang. Sayangnya permasalahan belum cukup di situ. Aku jadi teringat kata ibu, jika kita melakukan satu kebaikan di bulan ramadan akan dilipatkan 70. Begitupun berlaku bagi keburukan yang kita lakukan. Rasid tentu saja telah melakukan hal buruk, nyawanya hampir terbang, tapi aku tidak menyangka jika limpahan 70 kali lipatnya bisa diwariskan pada kami.

Menurut peraturan warga kantong tipis yang paling puncak, tertera bahwa kami dilarang sakit. Itu adalah peraturan paling penting karena tidak ada manusia yang mau bernegosiasi dengan uang. Kami membeli dan harus bayar. Itu mutlak. Dan lihatlah, kami semua ketakutan. Kantong kami meski digabung tidak akan cukup membayar nominal yang disodorkan dokter. Apalagi kena tambah biaya mengusik waktu istirahat. Nominalnya tentu saya membengkak.

Aku menyedot panjang rokok kretekku. Memastikan uang hasil lomba masih di kantong. Sambil mengucek-ucek rambutku gimbalku, aku menuju ke ruang tunggu dimana orang-orang menanti kesembuhan keluarga. “Mas, boleh pinjam ponselnya sebentar.” untungnya ini bulan puasa, sehingga orang berlomba-lomba melakukan kebaikan.

Aku langsung cari lomba-lomba yang berhubungan dengan sastra. Ada sekitar lima ku temukan dengan hasil keuntungan lumayan jika menjadi juara pertama. Seluruhnya. Entah karena harus mengingkari prinsipku atau takut dengan kenyataan, airmataku meleleh juga akhirnya.

Aku akan ikut lomba demi UANG. Tapi sebelum itu aku harus pinjam bank, uang hasil lomba nantinya akan digunakan melunasi hutang bank saja. Gali lubang tutup lubang bahasa kerennya.

“Vin, masih hidup nggak lu?” tanya seorang teman dari luar kamarku. Sudah lebih dari 12 jam aku tidak keluar kamar. Novelku yang ku ikutkan harus kelar sebelum dua minggu mendatang. Aku lupa kapan terakhir tidur malam, karena menurutku di kamar yang tertutup, setiap saat adalah malam.

Rasid sudah bisa dibawa pulang. Aku sempat menjenguknya sejam sebelum kemudian kembali ke kursi kerjaku. Aku tidak mengatakan pada mereka bahwa sumber uang membayar tagihan rumah sakit berasal dari hutang. Mereka hanya tahu aku baru menang lomba dan dapat hadiah.

Tepat di hari ke-14 aku keluar kamar menghirup udara segar. Tugasku rampung, tinggal lihat apakah nasibku untung. Hari itu aku merasa hijaunya dedaunan sama menggairahkannya dengan bibir Luna Maya; gemericik air sungai yang keruh bagaikan melodi piano Bethoven. Aku merasa terlahir kembali dan menyadari bahwa tidak ada satu prinsip pun yang ku langgar. Aku tidak mengejar uanh, aku mengejar nyawa temanku dengan kemampuanku. Aku sungguh bahagia hari itu, meskipun belum tahu sepenuhnya nasibku esok lusa. Bisa saja aku kalah lomba dan gagal melunasi bank–masuk penjara. Aku tidak peduli. Yang terpenting di seberang sana temanku sudah kembali tertawa. Dan lihatlah betapa berwibawanya dia dalam balut baju koko dan peci. Tragedi kemarin sepertinya membuat ia mengulang hidup dari awal. Pada hari raya ini, hari kemenangan ini, kami merasa menjadi juara.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *