Mengalun Adzan di Kolong Jembatan

Oleh: Aldy Pratama

Kulihat mentari itu masih bersinar di ujung tombak langit. Sementara kulihat seorang wanita memapah bayinya, di dekat toko roti Kota Cemoro. Kuamati dengan seksama bagaimana ia duduk tersimpuh memandang angkasa. Berlinang peluh dan berhiaskan wajah yang pucat pasi. Sesekali sembari menyeka air mata bayinya, ia juga sibuk dengan mengusap air matanya sendiri. Merasuk ke sela-sela jiwa dan hati yang lara. Dan sementara itu mereka yang berlalu-lalang di toko roti itu hanya selayang memandang. Ada juga yang sambil berjalan menikmati roti yang tadi ia beli. Dan tak sadar bahwa remah-remah roti itu berjatuhan ke tanah, di luar toko roti.

Bayi itu makin keras menangis. Ia seolah berkata, “Roti itu manis, Bu. Aku lapar.”. Namun apalah daya. Seolah tanpa kata, sambil menina bobokkan bayinya, ibu itu berbisik tanpa suara “Nak, Ibu tak mampu membeli roti itu. Kita mungkin hanya mampu memakan remah-remah roti yang jatuh di tanah ini. Namun ingatlah, Nak. Remah-remah roti lah yang membangun roti menjadi kuat, dan mampu mengenyangkan perut-perut mereka.”

Bayi itu pun tertidur dengan air mata laparnya. Dan ibu itu kembali berdiri. Berjalan menapaki gurun-gurun remahan roti, yang dibias semburat pelangi dari air matanya. Dan disitu aku hancur ! Aku hancur diterpa angin. Di negeriku. Disini.

***

Ramadan. Tak hayal banyak yang menunggu kedatangannya. Tak jarang yang merindukan suasananya. Ramadan memang istimewa. Biasanya di kampung kami suasana Langgar (sebutan masjid kecil di desaku) Kalimasada –itulah namanya-  semakin ramai ketika Bulan Ramadan tiba. Jamaah yang tadinya hanya satu sampai dua shaf, bisa meningkat hingga empat sampai lima shaf. Dan itu yang membuat kami sebagai pengurus langgar ikut senang. Sebab dengan ramainya langgar, maka silaturahmi warga di sini semakin menjadi semakin kuat. Tidak hanya bertemu di perkumpulan, arisan, atau kerja bakti saja. Namun jika di langgar sering bertemu, pasti suasana akan menjadi lebih syahdu.

Tak jarang juga aku dan kawan-kawanku mengajar ngaji di langgar ini. Saat Ramadan juga, biasanya kami mengadakan acara buka bersama di langgar. Meski hanya berupa teh, nasi, dan tahu tempe, itu menjadi nikmat tersendiri bagi kami. Ditambah lagi dengan hawa berbuka puasa, dimana semua orang di desa nampak gembira. Meskipun desaku sudah dekat dengan kota, namun suasana disini tetaplah berbeda. Disini kami lebih terlihat akrab, bertenggang rasa, dan yang terpenting kami masih sering berbuka bersama di langgar.

“Mas Mintono, kemarin katanya mau membelikan es dawet buat buka bersama? Gimana jadi nggak, Mas ?”

Ya.. Mas Mintono adalah kawanku di masjid yang sedari dulu dekat denganku. Tak aneh jika kupanggil dia “mas” karena memang dia kuanggap seperti kakakku sendiri.

“Sebentar to Dik Waskito… Kamu itu loh. Kalau urusan makanan kok keinget terus. Padahal udah kamu tanyakan kemarin.” Kata Mas Mintono dengan sedikit kesal.

“Maaf Mas. Kan puasa. Orang laper itu biasanya agak lupa. Jadi siapa tahu Mas Mintono lupa. Ya aku ingetin. Nggak salah to ? Hahaha..”

“Iya-iya beres. Berapa orang to nanti ?”

“Sekitar 20 orang Mas. Anak TPAnya 17, terus aku, Mas Mintono sama Maridi. Tambah tiga buat aku juga ndak apa-apa kok.”

“Huuu… itu kan kamu.Ya uwis, Mas Mintono mau nganter pesanan roti dulu.”

“O… oke-oke. Beres, Mas. Makasih ya.” Timpalku yang diiringi berangkatnya Mas Mintono mengantar roti pesanan.

***

Waktu Asar pun tiba. Waskito segera mengumandangkan adzan. Dan seperti biasa, selepas solat Asar kami pun mengajar ngaji di langgar ini. Walau mungkin anak-anak di sini tidak sebanyak di kampung sebelah, tapi kalau sudah gaduh, beeehhhh…. di sini pasti lebih ramai. Apalagi waktu berbuka puasa. Pernah aku ditegur oleh jamaah langgar karena tidak bisa mengontrol mereka.

Hahaha… Ya setidaknya kami bisa berbagi ilmu kepada mereka dan mereka pun bisa menikmati masa-masa kecil dengan suasana kebersamaan. Kebersamaan yang mungkin esok di tahun yang akan datang akan mengenang di lubuk hati yang paling dalam. Dan paling tidak mereka telah belajar mendekat pada agama, sehingga di masa depannya kelak, semoga mereka punya benteng yang cukup kokoh untuk bertahan. Bertahan dari hujaman angin topan yang siap merobohkan siapa saja yang tidak siap menghadapinya.

Tak sadar dan tak terlalu lama, ternyata jam telah menunjukkan pukul setengah enam. Waduh, mana ya Mas Mintono ini. Kenapa belum datang juga. Padahal tinggal 20-an menit lagi. Ah selagi menunggu, biarlah Waskito mengurus anak-anak itu untuk mempersiapkan bekal yang telah dibawa masing-masing. Sementara aku akan tarhim terlebih dahulu, sembari menjemput waktu berbuka.

“Assalatu wassalamun ‘alaik,  Yaa imamal mujahidiin,  Yaa Rasulullah…

Tak lama setelah selesai aku tarhim Mas Mintono pun datang dengan waktu kurang 10 menit adzan. Langsung dia menemui Waskito dan aku pun ikut nimbrung bersama mereka.

“Kito, tadi waktu aku nganterin roti, ada ibu-ibu menggendong bayi di dekat toko. Niatku sih mau ngasih rotinya, tapi ini roti pesanan. Wah jadi serba salah aku. Jadinya aku hanya memberinya 1 botol air minum. Lha gimana lagi. Emang uangku cuma cukup buat itu. Selebihnya sudah janji beli dawet buat sini. Padahal di kota tadi, banyak juga lo anak-anak di pinggir jalan kota. Ngamen, jual asongan, dan disitu aku nggak habis pikir. Sampai segitunya ya mereka bertahan hidup. Padahal kita sudah hidup enak seperti ini.”

Dugg..Dugg..Duggg

Wah ternyata sudah waktu adzan. Benar-benar tidak terasa. Selagi Mas Mintono dan Waskito mengobrol dengan beranjak berbuka, aku izin dan mengumandangkan adzan maghrib. Anak-anak TPA itu juga merasa senang sekali. Menikmati es dawet dari Mas Mintono dan nasi tempe tahu yang mereka bawa dari rumah masing-masing.

***

Keesokan hari pun tiba. Aku segera menuju rumah Mas Mintono dan melakukan rencana kita kemarin. Ya mungkin ini baru pertama kali. Namun tak apa lah. Barangkali ini bisa menjadi amal baik kita semua di bulan berkah ini. Kami akan berbuka bersama mereka ! Iya betul, mereka yang tergeletak lesu di kolong-kolong jembatan kota, dan seorang peminta-minta yang sedang menggendong anaknya. Kami tinggal tak jauh darinya. Maka sedikit banyak kami harus merangkul dan menikmati sambungan tali rasa persaudaraan ini.

“Mas Mintono, Ayo berangkat ! Ini nasi bungkusnya sudah aku bawa sama Maridi”

“O.. iya sebentar, Kit. Ini teh manisnya juga sudah aku masukkan ke kardus.” Kata Mas Mintono melengking dari dalam rumah.

Kami pun segera berangkat. Dengan mengendarai mobil bak terbuka milik tetangga Mas Mintono yang tadi dipinjam. Tak lupa melaju bersama makanan untuk berbuka puasa.

Sekitar 30 menit kami menikmati perjalanan ke kota, kami menikmati perjalanan dengan alunan solawat di mobil kami. Sembari melihat pemandangan kota, aku melihat toko roti di pinggir kota, persis dekat sekali dengan kolong jembatan yang kemarin diceritakan Mas Mintono. Kulihat disana ada ibu yang menggendong bayinya. Sembari membawa mangkuk kecil untuk menengadah sepeser koin dan kertas. Apakah itu yang dimaksud Mas Mintono ?

“Mas berhenti dulu, Mas ! Itu kan yang Sampeyan maksud ? Ibu-ibu sama bayinya ?”

“O iya betul itu, Kit. Kepiye ? Gimana ? Apa langsung dikasih nasi sama tehnya aja ?”

“Iya, Mas. Aku sama Maridi turun dulu saja. Paling sebentar kok.”

Kami pun turun dan mengambil nasi serta teh untuk makan ibu itu beserta bayinya. Maridi pun mengeluarkan dompetnya dan hendak mengeluarkan uang. Mungkin bermaksud untuk memberi ibu itu. Tiba-tiba ada seseorang berlari dan dengan cepat menyambar dompet Maridi.

“Hooiii ! Copet..! Maliiing !” Teriak Maridi.

Dia kabur. Maridi pun dengan cepat segera mengejar. Ia berlari secepat kilat. Tak berjarak jauh, mungkin 100 meter, Maridi berhasil menjigal dan meringkus dari belakang. Karena copet itu jatuh, Maridi segera mengunci tangan dan kaki copet itu dengan sigap. Maklum silat yang ditekuninya sudah digeluti selama 5 tahun. Jadi ia pun terampil dalam bela diri.

Aku pun segera memberikan nasi dan teh kepada ibu itu dan dengan cepat kuhampiri Maridi. Terlihat berkali-kali ibu itu mengucap terimakasih namun aku harus cepat berlalu dan menyusul Maridi. Setelah disitu, kutanya copet itu dan berkali-kali dia memohon ampun.

“Ampun Mas, saya tidak punya uang untuk beli air. Saya tidak bisa berbuka Mas. Tolong sedikit saja, Mas.” Copet itu meringis-ringis kesakitan karena kesakitan dikunci oleh Maridi.

“Apa kamu termasuk orang-orang di kolong jembatan itu ?” kutanya ia dengan tatapan tajam.

“Iya, Mas. Disitu ada istri sama anak saya.”

“Ayo, bawa kami ke sana.” Kami pun segera ke sana.

Dompet pun diambil oleh Maridi. Namun karena hati-hati, Maridi pun masih mengunci tangannya sambil berjalan ke kolong jembatan. Aku sendiri memberi kode Mas Mintono yang masih di dalam mobil agar menunggu sebentar. Aku pun sampai di kolong jembatan itu. Kulihat mereka disana kelaparan. Dan disana penuh dengan tangis jerit anak-anak yang meminta susu kepada ibundanya. Kami pun ditunjukkan bayinya yang tertidur digendongan istrinya. Dan istrinya yang mengipasi bayinya dengan kipas seadanya. Tiba-tiba ia sedikit meneteskan air mata di ujung kelopak matanya yang sayu.

“Mar, lepaskan ia. Ayo kita ambil barang ke mobil.

Pak tunggu sebentar. Menjelang buka, InsyaAllah kita akan bersama disini.”

Maridi pun melepaskannya, dan kami pun langsung berlari menghampiri Mas Mintono. Berlari menuju mobil dan segera meminta kepada Mas Mintono agar kita membawa perbendaharaan berbuka puasa ini ke kolong jembatan. Sembari aku menceritakan peristiwa yang tadi menimpaku bersama Maridi, Mas Mintono memacu mobil ini ke tepi kolong jembatan. Sesampainya disitu, Mas Mintono pun memarkirkan mobilnya dan turun bersama kami.

Disitu kami menurunkan makanan dan minuman untuk berbuka sembari kami bagikan kepada mereka. Ada pula yang langsung menyerobot ingin mendapatkan makanan, namun mampu ditahan oleh Maridi. Namun kami memahami dan mengerti keadaan mereka. Disitulah akhirnya kami mendengar seruan adzan maghrib. Dan kami turut serta berbuka bersama mereka. Kuhampiri orang yang tadi dikunci oleh Maridi, dan yang terjadi adalah untaian kata saling maaf. Sejenak kupandang, ternyata aku pun berbuka bersama ibu yang berada di pinggir toko roti tadi. Memang. Inilah sura adzan maghrib terindah. Dihisasi senyuman yang merekah. Dari tangis yang mengiris, jadi bahagia yang menggema. Dari yang mengambil tanpa ampun, menjadi santun dan menuntun.

Ya.. Allah ya Rabbil ‘alamin. Terucaplah kata yang indah. Alhamdulillah.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *