Oleh: Putri Ramadhani
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..
Suara adzan yang berkumandang dengan merdunya di salah satu masjid difajar hari menandakan waktu sahur telah usai dan puasa ramadhan telah di mulai bagi setiap orang muslim yang menjalankan ibadah puasa. Umumnya saat ini semua orang muslim telah kekenyangan, namun tidak dengan seorang bapak dan seorang anaknya laki-laki. Mereka bernama pak Edi dan Damar.
Di saat semua orang menikmati sahur agar kuat menjalankan puasa Ramadhan, namun pak Edi dan Darma tak pernah melakukannya. Mereka tidak pernah sahur, selain untuk menghemat pengeluaran, juga untuk di tabung untuk menyekolahkan Damar. Belakangan ini anak berusia 8 tahun itu ingin yang namanya merasakan bangku sekolah, membuat Edi sang bapak merasa sedih. Ia yang telah ditinggal sang istri karena sakit kini harus menahan pahit akan ketidak berdayaan dia yang tak mampu membuat anaknya mengenyam bangku sekolah. Profesinya yang hanya seorang pemulung membuat perekonomiannya begitu keritis, jangankan untuk menyekolahkan Damar, untuk makan dan membayar kontrakan yang telah menunggak 3 bulan Edi merasa bingung.
“Damar .. ayo nak kita sholat.” Ucap lembut Edi pada Darma yang masih tidur nyenyak di samping nya. Kontrakan yang sangat murah membuat di dalamnya hanya ada sebuah ranjang dan kamar mandi saja. Namun Edi sangat bersyukur mendapat kontrakan yang murah di hiruk piruk kota Jakarta.
“sudah subuh pak?” Damar bertanya dengan suara serak sehabis bangun tidur.
“iya. Hari ini kita tidak sahur lagi.. maafkan bapak ya nak.. bapak ngga punya uang” Edi menatap anaknya dengan mata yang berkaca-kaca.
“iya pak, tidak apa-apa. Yang penting nanti saat berbuka sama tempe goreng ya pak.” Edi bersyukur memiliki Damar. Damar anak yang baik dan pengertian. Cukup hal sederhana sudah membuatnya tersenyum lebar. Terima kasih ya Allah, kau berikan pangeran kecil ini untuk membuatku kuat menghadapi cobaan dariMu. Ucap Edi dalam hati.
Setelah menunaikan sholat subuh berjama’ah, pak Edi dan Damar bergegas keluar rumah untuk mencari rezeki yang Allah berikan untuknya lewat memulung. Walau hasilnya tak banyak tapi setidaknya itu halal dan tidak menengadahkan tangan di jalanan. Dengan bermodal satu gerobak besar kedua orang tersebut dengan semangat berjalan menyusuri jalan. Dari gang-gang kecil hingga jalan raya. Langit masihlah agak gelap dan hanya semburat fajar yang menyilau di ujung timur. Dengan semangat Damar yang kini membantu ayahnya mendorong gerobak sambil menyanyikan lagu-lagu yang Edi yakin lagu anak-anak.
“darimana dapat lagu itu Mar?” Tanya Edi memastikan.
“dari Dion pak.. bagus ya” Dion adalah anak tetangga kontrakan sebelah kontrakannya. Dan Dion bersekolah, pastilah Damar pun juga menginginkannya. Walaupun saat ini Damar di belakang gerobak membantu mendorong tapi Edi dengan jelas menangkap nada bahagia yang dilontarkan Darma.
Akhirnya Edi tidak membalasnya dan memilih fokus menarik gerobak sampah dan menatap jalanan yang ramai dengan mata berkaca-kaca. Pukul 7 mereka berdua berjalalan melewati sebuah sekolah sederhana yang banyak anak-anak kecil berlarian kesana kemari. Dengan pelan-pelan pak Edi menoleh kebelakang dan tertegun saat mendapati anaknya menatap dengan binar kagum kearah sekolah tersebut. Selama ini ia mengerti kalau anaknya tersebut sangat ingin bersekolah, tetapi karena Damar sadar bapaknya tidak mampu mewujudkannya terpaksa menyimpannya sendiri. Namun Edi sadar betul Darma ingin sekolah, sudah berulang kali Edi melihat ekspresi Damar seperti itu. Maka dari itu ia dengan sembunyi-sembunyi menabung untuk menyekolahkan Damar.
**************************************
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..
Suara adzan maghrib tanda waktu berbuka telah tiba membuat Pak Edi dan Damar mengucap syukur lalu membaca do’a berbuka puasa dengan semangat.pak Edi tersenyum bahagia saat melihat Damar makan dengan lahap. Pak Edi bersyukur hari ini memulungnya mendapat banyak sehingga ia tidak hanya membelikan nasi dan tempe saja untuk berbuka, tetapi juga selembar telur. Walaupun amat sangat sederhana, tapi pak Edi bersyukur karena masih dapat berbuka dan menjalankan puasa dengan lancer.
Namun ketenangan mereka diganggu oleh gedoran keras di balik pintu. Dengan bingung pak Edi membuka pintu tersebut dan mendapati bu Santi pemilik kontrakan tempatnya tinggal sedang menatap marah kearahnya.
“eh bu Santi.. mari bu masuk berbuka bareng saya dan Damar.” Ucap pak Edi seraya melebarkan pintu mempersilahkan untuk masuk.
“tidak usah basi-basi, saya kesini mau nagih uang kontrakan 2 bulan lalu dan juga bulan ini, jadi totalnya 900 ribu.” Bentak bu Santi seraya menunjukan kertas tunggakannya kearah muka pak Edi dengan kasar.
“ta..tapi bu, saya belum punya uang da..dan maaf saya belum bisa membayarnya lagi.” Ucap pak Edi dengan menunduk.
“APA!!! Kamu kira dengan kata maaf keluarga saya bisa kenyang??! , sekarang juga kemasi barang kamu dan pergi dari tempat saya!!!” ucap bu Santi lalu melenggang pergi meninggalkan pak Edi yang kebingungan mau tinggal dimana. Namun ia tidak bisa memohon pada bu Santi untuk memberinya waktu lagi, karena yang dikatakan wanita itu benar, ia tidak bisa hanya member kata maaf tanpa membayar. Jadilah ia kembali kedalam dan memberitahu Damar untuk berkemas-kemas.
Setelah melaksanakan sholat Maghrib, pak Edi dan Damar beserta gerobak sampahnya berjalan entah kemana, dimalam yang dingin ini. Namun mereka yakin seyakin yakinnya bahwa Allah tidak tidur dan akan selalu menemani mereka dimanapun.
Akhirnya mereka memutuskan untuk bermalam di sebuah emperan toko yang telah tutup di seberang jalan. Seenggaknya mereka perlu istirahat untuk aktivitas keesokannya lagi.
************************************************
pagi ini pak Edi demam dan Damar sangat kebingungan apa yang harus dilakukannya. Ia begitu khawatir dan cemas, namun ia tidak bisa hanya berdiam diri di samping bapaknya seperti saat ini. Ia harus tetap memulung. Sendiri . ya.. dengan memulung setidaknya ia akan mendapat sedikit uang untuk membeli obat penurun panas.
Ia membantu ayahnya untuk menaiki gerobak dan mendorongnya menuju sebuah masjid yang letaknya tak jauh dari toko tadi. Damar tak bisa meninggalkan bapak nya sendiri di sana, karena sewaktu-waktu pemilik toko datang dan mengusir bapaknya.
“pak.. Damar mau mulung, bapak tunggu sini ya.” Ucap Damar
“tapi Dar..”
“tidak apa-apa pak.. aku baik-baik saja. Allah selalu sama kita. Ya?” Damar berusaha membujuk bapaknya.
“hati-hati ya nak.. tapi kamu mulungnya pakai kasang saja ya, kalau gerobak kamu tidak akan kuat.” Kata pak Edi.
“iya. Assalamu’alaikum” salam Damar seraya mencium kening bapaknya.
“wa’alaikum salam” jawab pak Edi menatap kepergian anaknya.
Di saat ratusan orang masih bergelung di selimut menikmati waktu tidur setelah sahur, namun tidak dengan Damar ia kini telah menapaki aspal di bawah semburat cahaya mentari pagi. Dengan hanya berbekal satu kasang sampah Damar menyusuri jalanan untuk mengambil sampah yang bagi sebagian besar orang anggap sebagai parasit namun bagi orang seperti Damar sampah tersebut sebagai sebuah permata yang mahal.
Seperti biasa saat pukul 7 ia sampai di sekolah SD. Di sana ia berkhayal dapat memakai seragam seperti yang anak-anak itu kenakan.tapi ia sadar semua itu hanya berupa angan-angan saja. Dengan kepala menunduk sedih, Damar melanjutkan perjalanannya.
Saat ia tengah memunguti sampah diantara tempat pembuangan sampah tiba-tiba terhenti saat melihat sebuah benda yang berbentuk seperti dompet tergeletak diantara tumpukan sampah tersebut. Dengan pelan-pelan Damar membuka dompet tersebut dan Damar dibuat kejut. Pasalnya dalam dompet tersebut terdapat banyak lembar uang serta kartu-kartu penting .
Ia bisa saja mengambil uang tersebut lalu membuang dompet tersebut, tapi ia teringat perkataan ayahnya bahwa” kita memang miskin tapi kita tak boleh mencuri. Lebih baik kita memberi daripada menerima.”
Akhirnya ia menuruti perkataan ayahnya. Dengaan ragu ia mencari alamat yang menghantarkan kepada si pemilik domper tersebut, ia pun menemukan sebuah kartu nama yang menunjukan sebuah nama, nomor telepon, dan alamat.
Dan di sini lah Damar , berdiri di sebuah rumah tinggi bertelaris pagar besi. Bahkan ia sampai terkagum-kagum menatapnya. Dengan ragu ia memencet bel rumah yang di sediakan di samping pagar. Lalu keluarlah seorang perempuan paruh baya sambil membawa sebuah serbet kotor yang Damar duga seorang pembantu.
“maaf kami tidak terima pengemis.” Ucap perempuan paruh baya tersebut dengan nada sinis tanpa membukakan pintu gerbang tersebut.
“maaf saya bukan mau mengemis bu, saya ingin bertemu dengan bapak Prasetyo.” Jawab Damar dengan senyum maklum, ia menyadari penampilannya saat ini seperti pengemis jadi wajar perempuan tersebut mengira ia mau mengemis.
“untuk apa? Pak Pras juga pastinya enggak akan mengijinkan orang seperti kamu untuk melangkah ke rumah mewah ini! Sudah sana pergi!.” Sentak perempuan tersebut mengibaskan tangan tanda mengusir.
“ada apa ini bik?” Tanya seseorang pria yang muncul dari arah belakang wanita tersebut. Mendengar ada suara bising akhirnya ia memutuskan untuk keluar.
“ahh pasti anda pak Pras?” tebak Damar dengan senyum dan pria tersebut menganggukan kepala dengan mengerutkan dahi bingung.
“ini saya mau mengembalikan dompet bapak. Saya menemukannya tergeletak di jalanan.” Ucap Damar memberikan dompet yang ia temukan tadi.
“syukurlah dompet saya ketemu, terima kasih nak.. jarang ada orang sepertimu, biasanya kalau orang menemukan sebuah dompet dan isinya ada uangnya pasti langsung di ambil, sedangkan kamu dengan murah hatinya mengembalikan dompet dompet ini pada pemiliknya. Ini saya kasih uang sebagai tanda terima kasih saya.” Ucap bapak tersebut dengan mengulurkan uang berwarna merah beberapa lembar.
“ah tidak pak, saya ikhlas.” Tolak Damar dengan halus. Ia memang ikhlas menolong bapak tersebut.
“tidak apa-apa dek, anggap saja ini rezeki kamu di bulan Ramadhan ini.” Ucap bapak tersebut dengan senyum. Akhirnya Damar pun menerima uang tersebut dan mengucapkan terima kasih pada bapak tersebut dan Allah. Mungkin benar kata bapak tersebut bahwa ini mungkin rezeki yang Allah berikan di bulan Ramadhan penuh berkah ini.
Sebelum pulang Damar memutuskan untuk beristirahat dahulu di depan sekolah yang selalu ia impikan dapat bersekolah di sana juga. Saat ini jam pulang tiba dan anak-anak tampak berlarian melewati gerbang. Namun tiba-tiba muncul dari arah timur sebuah motor berkecepatan tinggi melaju melewati sekolah tersebut dan menabrak seorang anak lalu pergi melarikan diri. Kejadian tersebut membuat orang-orang berlari menghampiri anak malang tersebut tetapi hanya menonton tanpa berniat menolong. Dengan berani Damar meninggalkan kasangnya dan berlari menggendong anak tersebut menuju sebuah rumah sakit yang tak jauh dari lokasi.
RP.500,000 itulah yang Damar dengar dari seorang suster yang mengatakan bahwa anak tersebut memerlukan jahitan di kepala yang mengharuskannya melunasi atministrasi 500,000 terlebih dahulu. Dan kini Damar memiliki uang sejumlah 500,000 pemberian bapak tadi, jika ia membayar atministrasi tersebut ia dan bapaknya kemungkinan tidak berbuka hari ini. Tapi jika tidak maka anak tersebut kemungkinan tak terselamatkan. Akhirnya Damar memutuskan untuk membayar atministrasi tersebut dengan ikhlas. Anak tersebut butuh pertolongan dan ia harus menolong. Damar yakin rezeki nggak akan kemana.
Tak lama kemdian sepasang suami istri datang ke Rumah Sakit tersebut setelah mendapat kabar bahwa anaknya kecelakaan, dan sesampainya di sana mereka tertegun saat mendapati administrasi anaknya telah di bayar oleh seorang anak yang berpakaian lusuh yang saat ini berdiri di samping pintu ruangan anak mereka. Mereka berterima kasih banyak pada Damar dan bahkan mempunyai niatan berbalas budi dengan menyekolahkan Damar serta memberikan Damar serta bapaknya tempat tinggal dengan gratis akan kebaikan hati Damar.
Janganlah anggap rendah seorang yang terlihat tak punya karena sesungguhnya mereka lebih kaya dari kita yang tampaknya berada. Kaya apanya? Kaya akan kebaikan, kejujuran serta kaya akan pahala.
MARILAH BERDERMA KAWAN-KAWAN