Potongan Bolu Keju Basah

Oleh: Syahraja Agilang Az-Zuhud

“Anak-anakku yang bapak cintai, perlu kalian ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda “Sebaik-baik sedekah adalah sedekah pada bulan Ramadhan”, hadist riwayat tirmidzi. Nah tentu kalian bisa memahaminya bukan? Maka dari itu, bersedekahlah sebanyak mungkin di bulan Ramadhan ini dengan tidak menzolimi diri sendiri.” Aku mendengus sebal  ketika kulirik jam di pergelangan tanganku. Sudah hampir jam lima sore, tapi ceramah Ustad Sobirin belum kunjung selesai. Memang pada awalnya aku sangat antusias mengikuti pesantren kilat kelas 7 MTs yang biasa diadakan di sore hari ini. Namun, saat Ramadhan menginjak hari ke-12, semangatku pudar seiring berjalannya waktu. Bukannya aku tidak menghargai, akan tetapi ceramahnya begitu monoton. Terkadang aku tidak memerhatikan, malah asyik mengobrol dengan teman di sampingku. “Baik, sekian yang dapat bapak sampaikan, ada yang mau ditanyakan?” ucap Ustad Sobirin sebelum mengakhiri kegiatan. Huff, aku menghela nafas penuh kelegaan. “Pak, saya mau bertanya,” tampak seorang anak laki-laki seumuranku mengacungkan tangan. Aku menggerutu kesal, apa lagi ini? Baru saja aliran darahku mengalir tenang, tiba-tiba saja bergejolak buas. Siap melahap apa saja yang menghadang. ”ya silahkan azzam.” Oh, jadi anak itu bernama azzam? Aku menatapnya risih, yang ditatap tidak menghiraukanku. Demi menahan emosi, kujatuhkan kotak pensil perlahan untuk memberi kesan ketidaksengajaan. “Ada apa Ragil?” aku terkesiap. Ustad sobirin rupanya memerhatikan gelagat kesalku. “ Eh, tidak ada apa-apa ustad.” Jawabku sambil mengubah air muka. Lantas pandangan  ustad kembali pada Azzam. “Jadi begini, bagaimana jika kita memiliki niat untuk sedekah tapi tidak mempunyai uang atau materi lainnya? Apalagi ini bulan Ramadhan, sangat disayangkan jika kita tidak bersedekah sama sekali,” tanya Azzam.” Ya, terima kasih. Pertanyaan yang bagus. Dalam bersedekah, kita tidak harus memberikan hal berupa materi. Kita dapat bersedekah dengan anggota badan, seperti membantu orang yang kesulitan membawa barang, membersihkan lingkungan sekitar…..” jelas ustad sekaligus menutup majelis taklim. Usai mengucapkan salam, ustad sobirin beranjak meninggalkan masjid diiringi ratusan jejak langkah para murid. Kulihat Azzam sekilas. Ia terlihat begitu sumingrah. Entahlah aku tidak peduli.

Belum 500 meter langkah kakiku menjauhi masjid, Rangga teman sekelasku mengajakku ngabuburit. Kuangkat pergelangan tangan kiriku. 17:10, masih ada waktu. Kami memutuskan untuk pergi ke pasar sore yang khusus menyediakan makanan berbuka. Di sini, banyak sekali pedagang kaki lima yang menjajakan takzil dan makanan berat. Aromanya pun sungguh menggiurkan, membuat siapa saja yang menghirup tergoda untuk membeli.

Perutku semakin keroncongan saat berdekatan dengan pedagang cilor. Pasar sore ini selalu ramai di bulan Ramadhan. Tidak salah mengapa bulan ini disebut dengan bulan penuh berkah. ” Gil, lihat deh, baik sekali ya! Jarang ada orang sepertinya” tunjuk Rangga kepadaku membuyarkan lamunanku. Seorang anak laki-laki mengangkut karung belanjaan seorang Ibu berkerudung cokelat. Lalu dengan lembut menolak pemberian upah Ibu itu.

Aku menyipitkan mata, mengingat-ngingat siapa anak laki-laki itu. Sepertinya tidak asing. Kami tidak bisa melihatnya secara utuh Karena dia membelakangi kami. Aku beranjak mendekatinya. “Ragil! Ke sini nak!” Ummi? Wah kebetulan sekali! Artinya aku bisa memilih makanan apa saja yang kusuka. Aku urung menghampiri anak lelaki itu. Rangga pun pamit pulang, sementara aku sibuk memilih takzil dan menu makan hari ini. Terlalu banyak pilihan. Ada es campur, cilok, cilor, martabak mini, kue basah, dan masih banyak lagi. Hingga pandanganku tertuju pada pedagang bolu keju yang amat menggoda. “Ummi, Ummi, Ragil mau bolu itu ya?” pintaku pada Ummi. “ Nggak boleh sayang, kamu kan sudah membawa lima kresek makanan.” Ummi menggeleng tegas. “Ummi….. !” aku memelas untuk yang kesekian kalinya. Ummi menghela nafas panjang. “Ya sudah, Ummi belikan dengan syarat ragil harus meghabiskannya, siap?” Tanya Ummi meyakinkan. “Siap!” seruku tanpa ragu. Aku pikir aku bisa menghabiskannya. Bagaimana tidak, aromanya saja sudah sangat menggiurkan. Setelah membayar bolu tersebut, kami memutuskan untuk pulang. Sosok anak laki-laki berhati dermawan tersebut sudah tidak terlihat lagi.

“Allahu akbar, Allahu akbar!” azan maghrib berkumandang di setiap penjuru kota. Alhamdulilah. Aku dan Ummi membaca doa berbuka puasa, lantas melahap takzil dengan rasa syukur. Kali ini kursi meja makan hanya berfungsi dua saja, karena Abi sedang ada urusan di kantor. Selesai salat maghrib, kami melanjutkan makan. Aku menyantap hampir semua menu di meja makan. Hingga kunyahanku melambat pada potongan kedua bolu keju. Kenyang sekali. Kuputuskan untuk berhenti mengunyah. Padahal bolunya masih tersisa banyak. “Habiskan!” tegas Ummi. Terpaksa kumakan potongan ketiga.

Sementara Ummi menghilang di balik bingkai pintu toilet bersamaan dengan bunyi guntur yang memekakkan telinga. Aku refleks menutup kedua telingaku lalu mendongakkan kepalaku ke arah jendela.  Hujan deras. Aku berpikir bagaimana menghabiskan potongan bolu sebanyak ini seorang diri. Ah! Akhirnya aku punya ide! Kumasukkan 17 potongan bolu ke dalam kotaknya semula. Cepat-cepat kulempar  ke halaman depan rumah  sebelum Ummi kembali. Kebetulan  halaman rumah kami terhubung ke jalan. Sebelum beranjak, kupastikan kotak itu terlempar sejauh mungkin, agar Ummi tidak tahu. Kucari titik dimana aku melempar……….Tunggu, ada yang janggal. Bagai akar yang ditancapkan ke bumi, aku terpaku. Tetes demi tetes air membentuk aliran sungai di wajahku demi melihat pemandangan di depan mataku. Lihatlah. Di bawah terpaan jutaan tetes air hujan, berlatarkan serabut kilat yang mengukir langit. Di sana, seseorang yang kulihat di pasar tadi, yang rupanya kukenal, berlutut memunguti potongan-potongan bolu yang basah terkena hujan dengan tubuh menggigil. Lantas memakannya lahap, lahap sekali! Seperti belum makan berhari-hari. Orang itu adalah…..Azzam.

“Ya Allah ya Robbi! Mengapa kalian hujan-hujanan? Ayo lekas masuk!” Ummi melotot ke arahku, setengan marah dan setengah cemas. Aku memaksa Azzam untuk berteduh di rumahku. Dan langkah kami terhenti begitu Ummi muncul dari bingkai pintu utama. Terlepas dari tatapan tajam Ummi, Ummi tetaplah sosok Ibu yang baik. Ia sigap mengambil 2 handuk yang terlipat di lemari besar. Setelah kami mengganti baju, (yang tentunya Azzam meminjam bajuku), Aku menjelaskan semuanya. Ummi pun tak kuasa menahan air mata mendengar penjelasanku. Lalu menyilahkan Azzam duduk di meja makan. Azzam sangat kaku dan malu, tapi menuruti perkataan Ummi meski harus dibujuk.

“Maaf banyak merepotkan.” Azzam terlihat malu. “Maaf saya telah lancang memakan bolu itu,” ia sungguh merasa bersalah.”Tidak, kamu tidak salah. Jangan dipikirkan. Yang penting sekarang kamu harus makan yang banyak, oke?” Ummi meyakinkannya.

Aku sangat iba pada Azzam. Jika dibandingkan, kehidupanku dengan kehidupannya ibarat langit dan bumi. Kini, ia hanya memiliki seorang Ibu. Ayahnya meninggal sejak Azzam masih dalam kandungan. Ibunya hanya pedagang Nasi rames keliling. Sepulang sekolah, Azzam harus membantu Ibunya berkeliling. Keuntungan dari berjualan tersebut hanya cukup untuk makan sehari dua kali, belum dengan keperluan lainnya. Untuk masalah air, tidak menjadi masalah karena mereka mempunyai sumur. Dan untungnya Azzam termasuk anak berprestasi sehingga Ibunya tidak perlu lagi memikirkan biaya sekolah.

Ia memiliki keyakinan kuat bahwa suatu saat ia akan sukses, baik dunia maupun akhirat. Tak pernah sekalipun ia mengeluh, sebaliknya.

Azzam senantiasa bersyukur terhadap apa yang menimpanya. “Sejak 3 hari yang lalu, ibu saya sakit keras dan terpaksa dibawa ke rumah sakit. Maka dari itu, saya bekerja apa saja semaksimal mungkin untuk melunasi pengobatan rawat inap Ibu. Bahkan saya telah menjual benda terbaik yang saya miliki. Saya juga terpaksa mogok makan 3 hari ini. Itulah alasan saya melahap bolu keju buangan depan Rumah ini  yang sepertinya belum basi.” Tuturnya tanpa beban.

Aku sungguh malu dan menyesal atas perbuatanku selama ini. Aku sama sekali tidak bersyukur. Aku bahkan tega menyia-nyiakan rezeki yang telah diamanahi Allah. Ternyata masih ada orang yang jauh lebih membutuhkan daripada aku. Azzam memberikan banyak pelajaran yang amat berharga. Dua hari sejak kejadian itu, aku mulai belajar untuk bersyukur dengan banyak memberi kepada orang- orang yang membutuhkan. Termasuk biaya Rumah Sakit Ibu Azzam yang ditanggung oleh Ayahku atas usulku. Aku juga tidak lagi menghambur-hamburkan uang.

Kini, Azzam adalah sahabat terbaikku. Kami kerap bermain dan belajar bersama. Alhamdulilah, sedikit demi sedikit sifat baiknya menular padaku.

Jika Azzam saja yang serba kekurangan masih sempat bersedekah dengan anggota tubuhnya, mengapa kita yang serba berkecukupan tidak bersedekah? Sungguh, betapa ruginya orang serba berkecukupan yang tidak berderma di bulan penuh berkah. Allah SWT. bahkan telah menjanjikan pahala berlipat ganda bagi orang-orang yang banyak beramal di bulan  suci Ramadhan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *