Oleh: Alif Ikhwana Saputra
Tiiiin… ku klakson keras-keras dia. Itulah yang selalu kulalukan saat berkunjung ke pencucian motornya. Tidak banyak yang tahu namanya, hanya saja semua orang mema712nggilnya Owah atau Kang owah. Dalam bahasa jawa berarti kurang. Yaa… Dia memang memiliki kekurangan fisik. Sebagai penderita Cerebral Palsy, cara dia bergerak, cata dia berjalan, cara dia berbicara jadi sangat khas.
Tetapi urusan hati, dia bahkan memiliki banyak kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Paling menonjol dari sikapnya adalah, murah senyum.
Kang Owah, nyuci ya. Pintaku
Siap mas!. Tetap dengan senyumnya yang khas.
meski dengan segala keterbelakangannya, dia bergerak lincah, membersihkan setiap sudut motorku yang jorok. Wahahaha
“Mas udah mau Ramadhan gini gak mudik?” tanyaku basa-basi ditengah kesibukannya.
“aaahh… Saya ini kasarannya dibuang Mas sama keluarga saya” kisahnya. Nadanya polos. Ya ga dendam, ga marah
“Bapak saya itu penggede di Jakarta. Anggota DPR. ibu saya dulu Manager di perusahaan ternama, sekarang jadi ketua organisasi apa gitu” jawabnya nyantai. Seakan nyeritain orang pergi ke pasar aja
“kakak saya yang pertama CP juga Mas, meninggal waktu umur 25th. Yang kedua jadi artis. Yang terakhir, ya saya ini. Kayak gini cetakannya.” lanjutnya sambil terus nyuci moyor saya.
“waaahh keluarga sampean orang top gitu” sela saya sekedar untuk mencairkan suasana.
“bisa dibilang iya sih. Tapi bapak ama ibu saya malu punya anak kayak saya. Makanya saya dititipin di tempat nenek di Malang sini” jawabnya.
sejenak tangannya berhenti, matanya menerawang “sejak nenek mangkat, saya lebih milih ngontrak, nyari hidup sendiri dari pada diomongin sama sodara-sodara” nadanya kali ini jadi sendu.
“sampean sayang banget sama nenek ya?” tanya saya.
“Iya mas, beliau aja yang tulus sayang sama saya” jawabnya. Tangannya melambat dalam mencuci motor saya.
“maaf Kang Owah, saya jadi ngingetin tentang nenek sampean” aku memohon maaf kepadanya.
“ga papa Mas. Saya cari kesibukan gini ini jiga biar ga melamun”.
Pencucian motor ini baru berdiri sekitar 6 bulan. Tapi karena kecekatan dan pelayanan yang baik, banyak orang yang jadi berlangganan ke sini. Yang keren dari pencucian motor Kang Owah ini adalah, bayarnya seikhlasnya.
“Udah Mas” beberapa saat kemudian, motorku sudah selesai dicuci.
“makasih yo Kang” jawabku. Aku serahkan dua lembar duapuluh ribuan kepadanya.
“weeiits… Kebanyakan Mas” ujarnya seraya mengembalikan selembar dari uang yang saya kasih.
“Ga papa Kang. Buat sadaqah deh” sergahku menolak menerima kembali uang dari dia.
“yeee… Saya ini orang kaya Mas. Gak pantes di sodaqohin” kilahnya. “Gini deh kalo sampean maksa, taruh di kotak yang itu. Tapi janji, besok sampean temenin saya” katanya sambil terkekeh menunjuk sebuah kardus yang berada dekat meja kasirnya.
“oke deh. Tp mau kemana?” tanyaku
“Rahasia” sambil tertawa-tawa ringan dia berjalan ke dalam.
“oke deh Kang. Makasih ya” teriakku sambil menuntun sepedaku keluar pencucian. “Assalamu’alaikum”
“Ya Mas. Wa’alaikum salam” sahutnya dari dalam.
Batinku bertanya-tanya, kemana Kang Owah ini akan mengajakku.
***=***
Keesokan harinya, pagi-pagi saya sudah berada di depan tempat pencuciannya.
“Kang, kemana sih?” tanyaku penasaran. Sambil menjulurkan kepalaku de dalam bilik yang berada dibelakang tempat pencucian ini. Disinilah Kang Owah tinggal.
“rahasia, ntar sampean juga tahu” sahutnya dari dalam kamarnya. Dia berdandan bersih. Dengan baju koko warna kelabu dia berjalan keluar. Gerakannya khas, dari jarak jauhpun aku sudah dapat tahu. Diraihnya kotak tempat kemaren aku masukkan lebihan uang, beserta beberapa kresek yang sepertinya berisi sembako. “Mas, bisa ditaruh di depan?” Mas Owah menyodorkan kresek tadi untuk diletakkan dibgaian depan motorku.
Dengan lincah dia naik ke boncengan motorku. “oke, siap? Kemana nih?”
“Daerah Buring Mas” dia menyebutkan salah satu daerah di timur Malang Kota.
Kamipun meluncur menuju daerah yang dimaksud. Sepanjang perjalanan, aku ngobrol dengan Kang Owah. “Lumayan jauh lho ini Mas. Tahu tempatnya ya?”
“Udah sering kok kesana” sahutnya. “biasanya naik Ojek Onlen, tapi berhubung kemaren sampean sudah kejebak nyanggupin, ya saya bareng sampean” hahahaha…. Ketawanya gurih banget.
“Lha naik motor sendiri aja Kang” balasku.
“saya gak lancar naik motor Mas. Hehehehe…” sahutnya
“saya belajarin. Ntar bawa ajah motor saya” saya kembali menawarkan kepadanya.
“Hahaha…. Oke deh. InsyaAllah” jawabnya
***=***
Kami sampai di sebuah Panti Asuhan yang cukup jauh dari jalan raya utama. Bangunannya sangat sederhana. Aku parkirkan motorku di depan salah satu gedung yang dia tunjuk. Kamipun beranjak masuk kedalam.
“Assalamu’alaikum” dia mengucap salam agak keras, agar terdengar dari dalam.
“wa’alaikum salam” terdengar sahutan suara dari dalam. Seorang bapak berperawakan sedang keluar dari balik pintu. “Eeehh… Kang Harjo, silahkan masuk” sambut orang tersebut.
Aku sedikit terperanjat, aku baru dengar ternyata nama asli Kang Owah adalah Harjo.
“Pak ini seperti biasa saya bawakan beberapa buat anak-anak” kata Kang owah sambil menyodorkan kotak dan kresek yang kami bawa tadi.
“terimakasih Kang, sampean selalu semangat untuk bersedekah. Semoga rejeki yang barokah selalu terlimpah buat sampean” disampaikan doa kepada Kang Owah sambil menerima dari tangan Kang Owah.
“Kemana anak-anak?” Tanya Kang Owah pada bapak pengurus Pondok tersebut
“Kebetulan lagi dibelakang. Mereka sedang latihan pencak silat. Monggo kebelakang” Ajak si bapak pengurus Pondok.
“Ayok Mas” ajak Kang Owah menuju bagian belakang gedung tersebut.
kami bertiga berjalan ke bagian belakang gedung. Aku lihat sekitar dua puluhan anak yang sedang berlatih pencak silat di sebuah tanah lapang.
Melihat sosok Kang Owah, anak-anak tersebut langsung berhambur menyambut. Seperti anak-anak yang menyambut bapaknya yang datang dari pergi jauh. Berlomba mereka memeluk dan merangkul Kang Owah. Kang Owah tertawa diperlakukan seperti itu. Tangannya mengelus masing-masing kepala anak-anak tersebut. Dipeluknya semua sambil berjalan ke tengahnlapangan lagi, tempat anak-anak tadi berlatih.
dari jauh aku melihatnya dengan rasa yang haru. Tiba-tiba si bapak pengurus pondok bekata “Mas Harjo itu spesial, dibalik semua kekurangannya, dia bagaikan malaikat bagi anak-anak”
Aku tertegun dengan perkataan si Bapak.
“Dia selalu bersodaqoh dalam jumlah yang sangat besar. Katanya itu adalah semua hasil kerja dia di pencucian dan kiriman dari orang-orang yang ikutan nyumbang” lanjutnya sambil menatap di kejauhan riuhnya Kang Owah bermain dab bercengkrama dengan anak-anak. “saya kadang sampai heran. Kalau disumbangkan semua, dia terua makan apa” lanjutnya kembali
“semua Pak?” tanyaku heran
“katanya sih semua, dia bilang, dia anak orang kaya, hidupnya terjamin” kisah si Bapak
Memang sih Pencucian motornya lumayan ramai. Tapi berapa sih hasilnya pikirku. “kalau boleh tahu, berapa pak sumbangan Kang Owah?” pikirku, mungkin dikemudian hari aku bisa ikut bantuin.
“ndak pernah kurang dari 18juta setiap bulannya Mas” jawab Si Bapak
“Haah..” aku terperanjat mendengar pernyataan si Bapak.
“Makanya Mas, Kang Harjo itu bagai penyelamat anak-anak. Mereka bisa kembali sekolah dengan layak” jelas si Bapak.
tertampar mukaku sekeras-kerasnya oleh Kang Owah. Tampak ia mendekat setelah puas bermain dengan anak-anak.
“Pak saya pamit dulu ya” ujar Kang Owah kepada si Bapak. Lanjut dia menyalami si Bapak. “Yook Mas” ajaknya kepadaku yang masih tertegun dengan manusia unik ini.
Di perjalanan kembali aku ngobrol denga Kang Owah “Kang, ngapunten ya, tadi saya nanya ke Bapak Pengurus pondok, kata dia sampean nyumbang setiap bulan, gak pernah kurang dari 18 juta. Beneran itu?” tanyaku menyelidik. Menururku kalau memang Kang Owah punya duit segitu, gak perlunlah dia tinggal di tempat pencucian seperti itu.
“nggak tahu Mas. Saya ndak pernah ngitung. Dapet dari cucian, dapet kiriman dari keluarga atau ada donatur, ya tak masukin situ” jawabnya enteng “saya cukup tiap harinya kok”
“jumlah segitu banyak banget lho Kang, bisa buat cari tempat tinggal yang layak” jawabku
“saya pengen beli rumah di Akhirat Mas. Harganya mahal. Di dunia khan nggak wajib punya rumah. Yang wajib buat kita adalah beramal” jawabannya ringan, tapi benar-benar menamparku.
Malu hati rasanya berhadapan dengan Kang Owah. Cintaku kepada dunia benar-benar menjauhkan tingkatan antara aku dengan Kang Owah. Dengan segala keterbatasannya, ternyata pemikirannya jauh melebihi pikiranku yang menganggap diri normal.
***=***
Dari kejadian di panti asuhan tersebut, aku semakin kagum dengan Kang Owah. Seperti janjiku padanya, aku ajarkan bersepeda motor padanya. Beberpa kali dia kulepas memakai motorku untuk berlatih dikisaran perumahan.
Sampai pada suatu hari, saat aku main ke pencucian Kang Owah, aku dapati Dia sedang bersiap untuk keluar. Jaket dan sepatu sudah rapi terpasang. “Laaah… Mau keluar Kang?” tanyaku.
“waaahh.. Kebetulan nih. Mau anter ke Malang Selatan gak? Udah deket Ramadhan, mau belikan sarung buat anak-anak pondok” katanya.
“waduuh Mas. Maaf. Sebetulnya sih lagi ada kerjaan” aku berkilah, pikirku, siang-siang gini jalan ke Malang Selatan. Aaaahhh…. Jauhnya. Capek.
“Kalau Sampean mau, pake aja motor saya” tawarku. Gak papa deh nggak anterin orang berbuat amal, dengan meminjamkan sarana, semoga kecipratan pahalanya.
“Waaa.. Saya khan belum punya SIM” jawabnya ragu “lagipula saya belum lancar naik motornya” jawabnya lagi.
“gak papa Kang. Daerah sana aman kok. Naiknya pelan-pelan aja” bujukku.
akhirnya Kang Owah setuju. Diapun berangkat.
Sayapun kembali kerumah dengan berjalan kaki.
Sekitar pukul 4 sore, seperti biasa, sambil ngopi di kamarku, aku nyalakan radio bututku. Aku memang suka dengan acara laporan lalu lintas di radio. Seakan bisa membayangkan bepergian kemanapun tanpa kemanapun.
“dikabarkan telah terjadi kemacetan di daerah panjang di Jalan utama Turen. Dikarenakan sebuah kecelakaan yang terjadi yang telah memakan korban seorang pengendara sepeda motor dengan Nomor Polisi N 5252 HHE”
Deeegghh… Terkejut aku denga berita ini.
Itu Nomor Polisi motorku.
Jangan-jangan.
Cangkir kopi itu terjatuh dari tanganku