Oleh: Syailir Rohmah
Ramadhan kini telah datang
Tapi aku masih ada di negri orang
Hanya sabar dan bisa bersabar
Walau rindu menyiksa batinku
Sungguh aku rindu keluargaku
Saat ini saat seperti ini
Apa lagi kan tiba hari fitri
air mata tak terbendung lagi
Nyanyian itu bergema ditelinga para penumpang bus, termasuk aku yang tepat berada di samping pengamen kecil itu. Aku nikmati bait demi bait, hingga tak terasa air mata ini meleleh dipipiku. Syair lagu pengamen kecil itu menghipnotis suasana hati siapapun yang ada di dalam bus. Apalagi seperti aku yang mengembara ilmu jauh dari gubuk nyaman ayah, ibu dan keluargaku. Pengamen kecil itu menikmati lagunya, seakan membuktikan kisah hidupnya seperti lirik lagu yang ia nyanyikan. Aku lihat jari mungilnya yang pandai memetik senar – senar upulelenya. Membuat perjalanan pulangku menjadi tidak terasa, karena penampilan pengamen kecil yang begitu tulus dan menyentuh hati. Justru malah membuat fikiranku membuka memori masa lalu, yakni pada indahnya ramadhan bersama keluarga dirumah. Berjejer masakan lezat ala ibu masih terlihat uapnya, buah kurma yang terlihat manis juga ikut nimbrung, ditambah lagi dengan es buah dimangkok besar yang telah tersaji di meja makan untuk menu berbuka. Detik – detik jarum jam berbuka mejadi sasaranku dan kedua adikku sebelum menyantap segala sesutu yang telah tersaji di meja makan. Tidak hanya itu saja, di sepertiga malam alunan musik kentongan, alat dapur, dan beragam alat modern lainya berbunyi mengiringi dan menyemarakkan indahnya bangun sahur. Begitu pula di pagi hari sehabis subuh, tidak kalah menarik. Lantunan ayat suci dari berbagai masjid dan langgar menghiasi suasana pagi di bulan penuh berkah. Malam hari pun indahnya semakin memuncak, yakni ada sholat sunnah istimewa yang hanya datang satu periode saja dalam satu tahun. Itulah sholat tarawih dengan jumlah rokaat yang banyak, lebih banyak dari sholat wajib, serta di ikuti alunan ayat – ayat suci Al – Qur’an sehabis melakukan sholat tersebut. Lamunanku pecah saat pengamen kecil itu menyodorkan bungkus jajan yang besar. Segera aku rogoh uang yang ada di kantong bajuku dan aku masukkan kedalam bungkus jajan itu. Pengamen kecil itu tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Aku mengangguk dan ikut senang dengan semangatnya bekerja demi keinginanya membelikan baju baru untuk adiknya. Aku tahu kisahnya saat mendengar perbincangan bapak tua yang berada tepat dibelakang kursiku dengan mencoba mewawancarai anak kecil itu, saat selesai mengamen.
Aku menikmati perjalanan pulangku dari perantauan mencari ilmu, yang bisa dibilang jauh. Untuk pulang saja, harus menaiki beragam kendaran, mulai dari becak, angkot, kapal, bus kecil, bus besar dan terakhir ojek menuju rumah. Perjalanan yang panjang namun serasa pendek karena akan bertemu dengan orang yang aku cintai dan merindukanku. Ini adalah sebuah pengalaman baru di usiaku yang menginjak remaja akhir. Satu semester berlalu, dan aku baru pulang tepat H – 5 sebelum hari raya idul fitri. Berbeda saat aku di pondok yang bisa pulang 10 hari sebelum hari raya. Hanya dengan satu kendaraan saja, dan tidak menyita waktu banyak. Berbagai kegiatan yang di pondokku dulu juga berbeda dengan kegiatan di perantuanku, tepatnya di asrama mahasiswa. Kalau di pondok makananya sederhana, yakni ikan pramuka, tahu dan tempe. Membutuhkan kesabaran besar untuk sampai ke meja makan, karena antrian yang panjang. Tapi itulah yang menjadikan sebuah kenikmatan makan disaat lapar. Apalagi saat sahur, tabuhan gallon dan peralatan makan santri putra mengalun indah mengusik teliga para santriwan dan memantulkan bunyi di pondok santriwati, suara tadarus Al Qur‘an pun sayup – sayup meneduhkan hati dan fikiran pendengarnya. Pengajian yang dimulai sejak fajar muncul dengan langit yang masih gelap disaat banyaknya remaja yang masih berselimut diatas kasur, tidak berlaku lagi bagi anak pondok. Mereka harus bergegas menuju tempat mengaji ditemani kitab kuning tanpa harokat dan bullpen yang tergolong mahal untuk menghasilkan ukiran huruf pego yang indah. Setiap waktu subuh, dhuha, siang, sore dan malam bunyi klenteng tanda mengaji menjadi santapan setiap hari. Anak pondok juga terbiasa dengan secangkir kopi bilamana mengaji malam, karena untuk menghilangkan rasa ngantuk dan letih mengaji yang terus- menerus dari pagi hingga larut malam. Sebenarmya hanya berbeda sedikit dengan di asrama, yakni tidak ada tabuhan yang mengiringi indahnya waktu sahur, mengaji pun kegiatan sunnah, tidak diwajibkan dan hanya ada 3 kali dalam satu hari. Kalau dari segi makanan, banyak berjejeran penjual nasi dari yang murah sampai yang mahal. Lamunanku kembali pecah karena senggolan dari seorang penumpang yang berdiri disampingku dengan sesak, terlihat berjejeran penumpang yang semakin banyak, karena jam pulang kerja tiba. Penumpang terlihat penuh, mulai dari yang berdiri di pangkal sampai di ujung dengan berbagai karakter dan latar belakang yang berbeda – beda memenuhi sekat kosong dibagian tengah bus. Aku sangat menikmati diriku yang mendapat kursi duduk. Sampai tidak terasa aku terlelap dalam tidur beberapa menit. Saat aku terbangun, mataku disuguhkan dengan keindahan kota yang aku lalui. Tampak deretan lapak orang yang sedang mempersiapkan menu spesial ramadhan dalam menyambut umat islam yang hendak berbuka puasa, saat itu tepat pukul 16.30 sore. Aku pun sudah mulai merasa tersihir oleh menu khas ramadhan dan jajanan – jajanan yang berpose dilapak para pedagang. Namun aku tertunduk sedih saat melewati rumah sakit, karena membuka ingatanku pada bulan ramadhan tahun kemarin. Saat aku terbaring lemah didalamnya. Sebenarnya aku tidak ingin dirawat dirumah sakit waktu itu, namun tubuhku yang semakin lemah, dibalut suhu panas yang tak kunjung dingin selama satu minggu berlalu, membuat orang tuaku khawatir. Apalagi saat orang tuaku tahu, cairan berwarna merah yang mengalir secara tiba-tiba dari kedua lubang hidungku yang tergolong lama, hingga membanjiri baju yang aku kenakan meskipun telah disumbat dengan daun sirih. Akhirnya orang tuaku memutuskan untuk segera membawaku kerumaha sakit. Di ruang UGD aku menangis takut, melihat dokter yang siap menyuntik tanganku. Namun sekalipun aku mengelak, jarum suntik dokter tetap dapat menusuk pergelangan tanganku, sehingga membuat kesadaranku sesaat menghilang. Saat aku terbangun, aku telah berada di ruang inap ditemani oleh cairan infus yang menghiasi tanganku. Sehingga membuatku tidak bisa kemana – mana lagi, ibadah puasa pun terhenti, begitu pula amalan ibadah lain di akhir bulan ramadhan, karena selang infuse yang selalu ada bersamaku. Padahal bulan ramadhan adalah bulan paling spesial bagi seluruh umat islam, dimana banyak kenikmatan dan amal ibadah langka yang menghiasinya. Apalagi dipenghujung akhir ramadhan, terdapat ibadah istimewa yang pahalanya seperti ibadah 1000 bulan, dan tidak dapat ditemukan dibulan yang lain yakni ibadah i’tikaf di malam lailatul qodar. Tapi saat itu aku tidak bisa melakukanya dan harus bersabar serta rela stay diatas ranjang, istirahat total, tidak diperbolehkan banyak gerak, dan tidak diperbolehkan makan – makan keras, pedas dan asam. Aku hanya boleh makan bubur yang menurutku tidak enak, bahkan aku hanya memakanya satu sendok, selebihnya aku tidak mau makan, karena lidahku yang masih belum peka tehadap rasa. Semuanya tidak enak, aku tidak bisa menikmati indahnya penghujung bulan ramadhan. Dari pengalaman itulah, aku belajar untuk selalu bersyukur dengan kesehatan yang diberikan Allah dikala ramadhan saat ini.
Tidak terasa penumpang satu persatu turun dan berganti penumpang yang lain. Hujan pun mengiringi perjalanan pulangku, diikuti suara azan maghrib yang terdengar bersahutan dari berbagai penjuru. Aku masih belum sampai rumah, masih kurang setengah jam lagi. Aku juga harus bersabar untuk menunggu menu berbuka ramadhan ala ibu dan menahan lapar, karena uangku ternyata habis setelah aku kasih pengamen kecil tadi. Aku baru sadar kalau uang yang aku kasih adalah uang terakhirku yang jumlahnya hanya 2 ribu. Meskipun nominalnya kecil, tetapi semoga bermanfaat untuk adek kecil itu. Aku tersenyum sendiri dan menahan rasa lapar ini. Orang di sebelahku tiba – tiba menawarkan kue yang ia beli dari Surabaya. Namun aku menolak dengan lembut. Tetapi orang baik itu tetap memberiku roti yang bisa dibilang mahal harganya. Mungkin inilah hikmah berderma tadi. Aku nikmati pemberian roti dari orang baik itu dengan lahab sebagai menu pertama sebelum menuju menu berbuka dirumah. Di pinggir jalan telah banyak kendaraan pribadi yang berhenti dan merapat menuju tempat-tempat kuliner makanan, sedangkan kami yang naik kendaraan umum harus bersabar menahan lapar. Hanya makanan ringan yang ditawarkan oleh penjual asongan di bus yang menjadi idola para penumpang dalam mengganjal rasa lapar mereka. Selang setengah jam alhamdulillah bus menepi di tempat biasa aku berhenti dan ibuku telah menantikan kedatanganku. Terlihat wajah bahagia ibu melihat kedatangan putrinya dari perjalanan menuntut ilmu. Aku cium tangan ibu sambil aku dekap ibuku dengan erat, sebagai pelampiasan rasa rinduku yang mendalam.
Sampai saatnya hari kembali ke kampus tiba, saat itu ibuku hanya bisa memberiku uang untuk makan di asrama satu minggu sebesar 50 ribu dan untuk naik kendaraan 50 ribu, karena pengeluaran ibu saat itu banyak, selain untuk kebutuhan sehari-hari juga untuk kebutuhan nenekku yang sedaang sakit dirumah sakit. Ibuku berjajanji bilamana ada rizqi akan segera mengirimiku uang lagi. Aku tahu bahwa saat musim lebaran pekerjaan ibu dan bapak mulai sepi. Jadi aku meyakinka ibuku bahwa Allah Maha Kaya. Insyaallah aku bisa menghemat sampai ibu bisa mengirimiku uang lagi. Akupun berpamitan ke ibu dan bapak. Terlihat air mata ibu yang menetes melihatku pergi ke perantauanku yang jauh lagi. Oleh karena itu, aku peluk ibuku dengan erat agar tidak sedih lagi, sambil aku kecup kening dan kedua pipinya. Namun sebelumnya aku diajak ibu menjenguk nenekku sembari berpamitan.
Allah memang Maha Tahu, kakak ibu yang dari jauh datang menjenguk nenek, dan aku diberi uang 100 ribu serta 2 bungkus makanan lezat untuk bekalku kembali ke perantauan. Tidak hanya itu, akupun di antar ke terminal bus. Sungguh disinilah aku baru sadar indahnya berderma dalam jangka panjang dan jangka pendek. Bahwa Allah pasti menepati janji-Nya kepada hamba-Nya yang ikhlas berbuat baik di jalan-Nya. Seperti firman Allah dalam QS.Al-Baqara ayat 245, yang artinya “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan berlipat ganda. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizqinya) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”. Dulu aku hanya memberikan uang terakhir dikantongku sebesar 2 ribu kepada pengamen kecil, namun dilipat gandakan menjadi 200 ribu bahkan di kasih tumpangan dan makananan. Itulah makna dibalik sebuah kebaikan, dimana kabaikan pasti akan kembali pada kebaikan. Justru kebaikan tersebut akan kembali dengan nilai kebaikan yang lerbih besar. Sehingga membuktikan bahwasanya janji Allah pada haba-Nya itu pasti dan tidak bisa diragukan oleh siapapun.