Suatu Malam di Bulan Ramadhan

Oleh: Ana Nasir

            Aku masih terhanyut dalam untaian ayat yang dibacakan imam tadi. Menjadi jamaah subuh di mesjid yang rencananya akan memecahkan rekor menara tertinggi ketiga di dunia ini, adalah satu dari sekian banyak mimpi yang kutulis di dreambook-ku. Sebagian orang mungkin akan menganggap aneh. Tapi untuk seorang perempuan keluar untuk berjamaah subuh di mesjid-mesjid besar yang jauh dari tempat tinggalnya bisa menjadi satu hal yang istimewa.

Kenapa istimewa?

Konon katanya mesjid ini adalah satu-satunya mesjid di Medan yang melaksanakan jamaah tawarih satu juz setiap malam ramadhannya. Bagiku posisi mesjid ini sangat strategis untuk siang hari, karena diapit dengan kantor gubernur dan salah satu mall besar. Selain itu disekitarnya ada gereja yang tak kalah megah, hotel, dan perkantoran lain. Tapi di malam hari, bagiku akses ke tempat ini menjadi sangat tidak aman bagi orang yang terbiasa mengukur jalan dengan angkutan umum sepertiku. Itulah kenapa setiap singgah di mesjid ini aku selalu ingin merasakan bisa melaksanakan subuh berjamaah di sini.

Aku harus berterima kasih pada Ayu. Seorang yang sudah kuanggap seperti adik sendiri sejak kami secara tak sengaja menjadi teman sekamar di asrama kampus dulu. Dengan sedikit memaksa Ayu memintaku menjadi pengisi acara mabit, yang merupakan rangkaian dari acara sahur on the road yang diadakan oleh salah satu organisasi intrakampus yang diikutinya.

“Ayolah, kak. Seenggaknya kalau kakak mau kita bisa ketemu dan tidur bareng. Kita dah lama kan enggak ketemu,” paksa Ayu saat aku sedikit merasa berat atas permintaannya. Memang kami belum pernah bertemu sejak kuliahku selesai semester lalu. Akhirnya aku luluh. Dan aku jadi sering berbicara di depan cermin karena takut salah bicara saat di hari-H. Bukan karena aku tidak pernah bicara di depan umum, hanya saja akhir-akhir ini aku terbiasa berbicara di depan siswa SMP.

“Yu, donatur acaranya siapa aja?” tanyaku di sela-sela perjalanan keluar dari mesjid.

“Berkah ramadhan, kak. Kemaren kita rencananya para pengurus aja yang sedekah minimal 3 bungkus per orang. Eh, enggak taunya, para alumni yang tau kita buat acara ini marah karena mereka enggak dikabari. Trus pada nyumbang. Dosen-dosen juga nyumbang. Orang tua sebagian pengurus, bahkan teman orang tua pengurus juga. Jadilah, yang awalnya target kita cuma 100 bungkus jadinya 10 kali lipat dari itu,” jelas Ayu sumringah.

“Masyaallah. Tapi tadi kayaknya masih kurang banyak juga, Yu?” komentarku.

“Iya kak, yang lain juga pada bilang gitu. Untung aja alumni kami tau dan marah. Kalau enggak kan bisa lebih kecewa lagi kaminya,” jawab Ayu.

“Kakak pasti nyesel kalo nolak jadi pengisi acara mabit waktu itu,” kataku sambil tersenyum.

“Tuh, kan? Apa Ayu bilang…,” katanya sambil memelukku manja.

Yah, aku pasti nyesal karena melewatkan realita kehidupan kota ini di malam hari, dan kesempatan menjadi jamaah subuh di Mesjid Agung ini tentunya.

***

“Terima kasih, ya Nak,” suara singkat setiap penerima sebungkus nasi yang kami bawa. Kami terus melaju mengejar waktu, setidaknya itulah alasan paling tepat karena hapir tak mendengar setiap rentetan doa yang terucap setelah kalimat syahdu itu.

Aku yang duduk di kursi depan hanya bisa memandang setiap sisi jalan dengan pandangan berkaca-kaca. Sebagian dari mereka mungkin saja besok tidak benar-benar berpuasa. Tapi sebagian besarnya tentu sangat menunggu berkahnya bulan ini, sebab di bulan-bulan lain kemelit lapar senantiasa menghantui mereka sebab tidak adanya makanan yang bisa mengganjal gelojaknya.

“Kalau bukan Ramadhan, mereka bakal ada di sini juga enggak, ya?” tanyaku lebih pada diriku sendiri.

“Iya, kak. Tapi kita enggak akan bisa nemuin mereka sumringah kayak tadi. Yang ada pada tidur ringkih, dan sebagian besar malah diusir oleh pemilik toko yang terasnya dipakai untuk tidur,” sahut Ilham yang menyetir mobil disampingku.

“Siapa sih yang pertama kali punya ide buat sahur on the road gini?” tanyaku penasaran.

“Enggak tau juga kak. Cuma emang lagi ngetren aja kan akhir-akhir ini yang model nge-road,” sahut Ilham lagi sambil sedikit tertawa.

“Ini positif banget kan kak? Malah sekarang udah ada komunitas sedekah jumat gitu. Jadi mereka enggak cuma pas Ramadhan gini aja bisa makan nasi bungkus. Karena setiap hari jumat udah ada yang diam-diam ngeletakin sebungkus nasi dan minumnya di samping mereka. Jadi bangun-bangun udah enggak perlu mikir mau makan apa lagi,” sambung Ilham lagi.

“Oya?” tanyaku, lebih menyesali diriku yang selama ini ngapaian aja sampai enggak pernah tau masalah ini.

“Kebetulan kakakku ikut di komunitas itu kak. Makanya kemaren aku kasih ide untuk kawan-kawan di organisasi kita ramadhan kali ini kita buat acara ini. Emang lagi ngetren juga kan kak?”

“Iya sih. Benar ternyata pemberi jauh lebih bahagia daripada mereka yang nerima,” kataku. Kulihat Ilham hanya tersenyum.

***

“Kak, kalau tahun depan kita ajakin lagi mau, ya?” teriak Ayu dari balik kaca saat aku sudah turun di depan rumah kontrakanku.

“Mau kali… tapi kayaknya lebih bagus lagi kalau Ayu yang gantiin posisi kakak jadi pengisi acara mabitnya,” sahutku menanggapi.

Ilham membunyikan klakson. Ayu dan 6 orang yang duduk diboncengan Ilham melambaikan tangan ke arahku. Aku masih memandangi Honda Mobilio Silver itu sampai menghilang di perempatan.

Tiba-tiba kurasakan hangat dipipiku. Sungai kecil terbentuk di sana. Lantunan surah Al-Baqarah yang dibaca Imam subuh tadi, teriakan terimakasih para penerima bungkusan yang kami bawa, dan kealpaanku atas realita kehidupan malam kota ini bermain dibenakku.

Ramadhan.

            Di masamu setan dibelenggu.

            Kebaikan amal salih dilipatgandakan

            Keberkahanmu bukan hanya dinikmati Mukmin dan Muslim

            Semoga umurku disampaikan pada ramadhan tahun depan,

            Tak sabar rasanya dengan pelajaran baru yang akan kau suguhkan

            Aku mengusap air mataku. Aku malu. Selama ini aku merasa sudah sangat baik. Tapi ternyata aku hanya disibukkan dengan amalan tersembunyi yang malah membuatku antipati pada sekitar. Aku malu. Mereka, para panitia acara memposisikanku sebagai penasihat, tapi aku serasa ditampar oleh keangkuhanku sendiri. Dan aku bersyukur. Masih diberi malu dan penyesalan itu masih di dunia.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *