Oleh: Adila Huwaida
“Wah, lihat kak! Iklan-iklan sirup udah muncul di TV,” seru Annisa riang, pandangannya tak lepas untuk mengamati kembalinya iklan sirup setelah setahun menghilang.
“Iyalah, seminggu lagi kan ramadhan,” kata Felza santai, tak tertarik dengan hal seperti itu. “Lagipula, seharusnya kamu mempersiapkan kedatangan ramadhan kan? Kok malah heboh sama iklannya sih,” lanjut Felza mulai ceramah.
“Persiapan gimana? Heem…. Gini deh, besok aku mau nulis semua cemilan yang harus dimakan. Soalnya ramadhan nanti waktu makanku pasti berkurang,” Annisa mengangguk mengerti, masih tetap fokus menonton TV.
“Astaghfirullah, bukan itu dek! Maksudku, coba pemanasan pakai puasa senin kamis, apa perbanyak amal gitu,” Felza menepuk jidat. Sedikit terkejut dengan jawaban adiknya yang ngelantur.
“Hehehe….” Annisa meringis malu, karena salah tangkap. “Tapi enggak deh kak, aku gak mau puasa senin kamis, kan enggak wajib,” lanjut Annisa sembari menggeleng cepat, refleks menolak dengan tegas mendengar saran kakaknya.
“Emang enggak wajib, tapi banyak manfaatnya loh ternyata! Gak pengen?” tawar Felza mengedipkan mata, berusaha mengajak adiknya agar bisa lebih baik lagi.
“Apa?” tanya Felza mulai mengecilkan volume TV, sedikit tertarik dengan arah pembicaraan.
“Bisa menyembuhkan banyak penyakit, misalnya diabetes, obesitas….” Bahkan Felza belum selesai memberi penjelasan, Annisa sudah sigap memotong kalimatnya.
“Aku gak punya diabetes kak, masih kecil. Dan aku juga masih kurus kok,” kata Annisa malas, jarinya bergerak membesarkan volume TV lagi.
“Hei! Jangan dipotong penjelasanku. Masih banyak kelebihan lainnya tahu!” kata Felza melotot. “Puasa senin kamis kan sunnah nabi tuh. Nah, Allah itu suka sama orang yang mengamalkan sunnah nabi lho,” lanjutnya.
“Terus?” tanya Annisa melirik kakaknya.
“Orang kalau udah dicintai sama Allah, mau ngapain aja gampang! Misalnya deh, tadi pagi kamu nangis gara-gara gak bisa beli mainan kan? Coba kamu puasa, pasti Allah bantu kamu biar bisa dapet mainan itu,” jelasnya panjang lebar.
“Oh ya? Aku mau kak!” kata Annisa bersemangat, menatap kakaknya sungguh-sungguh.
“Inshaa Allah. Lagipula, ada juga anjuran untuk kita agar gembira saat ramadhan datang kan,” Felza mengingatkan.
“Hah? Memangnya kenapa kalau kita bersedih saat ramadhan?” tanya Annisa heran.
“Waktu ramadhan pintu neraka ditutup loh. Ngapain bersedih?” Felza balik bertanya. Annisa tak menjawab, hanya mengangguk tanda mengerti.
Malam pun tiba, sesuai dengan tekadnya tadi siang. Kali ini Annisa menjadi tidur lebih awal agar bisa bangun lebih pagi untuk sahur nanti.
Esoknya…
“Annisa, bangun! Kamu jadi puasa senin kamis enggak?” tanya Felza menepuk bahu Annisa, sesekali menggoyangkannya agar terbangun.
“Ukhh..” Annisa menggeliat di atas kasur, mencoba untuk sedikit membuka mata. Lalu ia berjalan menuju meja makan dengan keadaan setengah sadar. Rasa kantuknya masih saja mengelilingi, padahal Felza sudah siap di meja makan dengan keadaan yang baik—tidak mengantuk sedikitpun.
Usai sahur, Annisa kembali membanting tubuhnya ke kasur.
“Sebentar lagi shubuh dek,” kata Felza membuyarkan perjalanan Annisa yang hampir masuk kedalam mimpinya.
“Uuhh… Iyaa kak,” Bukannya bergerak untuk duduk, ia malah menutupi kepalanya dengan bantal.
“Ayolaah,” rayu Felza menghampiri adiknya, “Dengerin deh, masjid belakang udah adzan tuh,” lanjutnya. Dengan pasrah, Annisa pun bergegas untuk berwudhu.
Usai sholat shubuh, Annisa menatap kakaknya lamat-lamat. Sebenarnya dari tadi ia sedikit heran, mengapa kakaknya mempunyai mata yang begitu kuat. Bahkan sampai sekarang kakaknya tak mengantuk sedikit pun.
“Kenapa?” tanya Felza, merasa bahwa sang adik memperhatikannya. “Aku cantik? Baru sadar?” lanjut Felza seenaknya.
“Apaan sih kak! Bukan itu, ugh,” rungut Annisa kesal.
“Terus kenapa?” tanya Felza.
“Kenapa kakak tidak menguap sama sekali? Padahal kakak bangun lebih pagi dariku,” tanya Annisa kemudian.
“Aku sudah terbiasa,” kata Felza tersenyum.
“Oh ya? Kenapa aku tidak sadar?” tanya Annisa lagi. Sejak kapan kakaknya melakukan hal seperti ini tanpa sepengetahuannya?
“Biasanya kamu selalu tertidur pulas. Wajar saja kamu tidak tahu,” jawab Felza menjulurkan lidah.
“Ihhh, enggak kak!” sergah Annisa mengerucutkan mulutnya.
“Hahaha, iya iyaa… itu kan kemarin, kalau sekarang kamu sudah berubah menjadi lebih baik kok,” hibur Felza. “Oh ya, kamu melakukan ini bukan karena ingin mainan kan?” tanya Felza memastikan.
“Karena Allah dong,” jawab Annisa mantap. Felza tersenyum, mengacungkan jempol untuk adiknya. Dalam hati, ia bangga karena berhasil membuat Annisa bersemangat memperbanyak amal untuk menyambut ramadhan. Bahkan, umurnya saat ini masih 10 tahun. Berbeda dengan Felza saat umur 10 tahun, ia sama sekali tak tahu tentang hal seperti ini. Justru saat itu ia baru belajar untuk berpuasa—puasa setengah hari.
“Semangat sampai maghrib ya dek,” kata Felza tiba-tiba, ia mengelus kepala Annisa penuh kasih sayang.
“Iya lah kak, aku kan udah gede,” kata Annisa percaya diri.
Felza hanya tersenyum, berharap Annisa benar-benar bisa menjadi lebih baik darinya.