Aku Selalu Menunggumu, Ibu

Oleh: Nur Kholipah

Merantau adalah salah satu pilihan berat bagi sebagaian orang. Dengan gencatan ekonomi yang memaksa untuk menghidupi diri dan keluarga, apapun akan dilakukan walau angin badai menerpa. Sulit rasanya bila dibayangkan dengan logika, namun hal itu nyata adanya.

Ibu Rima, wanita kuat yang mengadu nasib di Jeddah. Dia single mother yang tangguh dan sangat kusayangi. Ya, aku sangat menyayanginya, bahkan tidak ada termometer pengukur rasa sayangku kepadanya. Mungkin hal itu terdengar lebay, tapi memang itu yang kurasakan. Semenjak ayahku pulang ke surga, dia adalah malaikatku yang membanting tulang menyambung kehidupan kami yang sederhana. Dialah sosok ibu yang hebat bagiku. Walaupun kami bukan keluarga kaya raya yang serba tersedia, tapi kami tidak pernah sungkan untuk berbagi. Ilmu itu aku dapatkan dari ibuku, dia selalu mengajarkanku untuk menolong sesama.

“Nak, walaupun kita bukan orang kaya, tapi kita harus selalu berbagi. Tidak harus uang, bahkan waktu pun harus kita luangkan ketika ada orang yang membutuhkan bantuan kita.” Kata-kata itu yang selalu ingat dalam hidupku.

Mencari pekerjaan di tanah air tercinta ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan menenteng lembar ijazah Sekolah Dasar (SD), pasti sulit mendapat pekerjaan. Hal itulah yang mendesak ibuku untuk merantau. Awalnya aku tidak setuju dengan hal itu, karena pada saat itu umurku baru sembilan tahun. Di umurku yang masih belia, aku masih tidak bisa jauh-jauh dari ibuku. Namun apalah daya, dengan iming-iming segepok riyal yang sangat berguna bagi keluarga seperti kami, akhirnya ibuku memutuskan berangkat untuk menjadi pembantu rumah tangga disana.

Setiap ramadhan mendekati lebaran, ibu pulang ke kampung halaman untuk ikut melestarikan adat balik kampung ketika musim lebaran di Indonesia. Ibu sudah berjanji akan tetap menjaga komunikasi dan pulang meski untuk sekadar menengok rumah tua ini. Setiap kali pulang, ibu tidak pernah absen membawa buah tangan yang dibagikan ke tetangga-tetanggaku. Menjaga silaturrahmi dengan tetangga memang perlu, bahkan hal itu sudah tercantum dalam kitab suci Alquran. Aku tak hafal bunyi ayatnya, pada intinya kita harus memuliakan tetangga.

Sudah tiga tahun ini ibu tidak pulang ke kampung halaman. Aku masih ingat terakhir pulang ramadhan tiga tahun lalu, dia membelikanku gamis Jodha Akbar yang eksis kala itu. Alasan beliau tidak pulang belakangan ini yaitu untuk meminimalisir biaya. Seperti yang sudah kita ketahui, biaya transportasi dari Arab ke Indonesia tidak murah. Kala itu juga aku sudah menyandang sebagai siswa berseragam putih biru, jadi semakin banyak pula uang yang dibutuhkan untuk biaya sekolahku. Setiap hari yang selalu kupandang hanya gambar wajah cantik ibuku di dalam frame  bermotif bunga-bunga warna biru itu. Walaupun gambar itu sudah sedikit usang karena dimakan waktu, setidaknya bisa mengobati rasa rinduku.

“Ibu, aku rindu sekali denganmu. Aku ingin ibu cepat pulang. Tapi ibu jangan khawatir, aku selalu menunggumu, Ibu.” Kalimat itu yang kerap kali keluar dari bibir kecilku sambil memandangi gambar ibu yang agak lusuh karena tetesan air mataku.

Aku yakin suatu hari nanti ibuku akan pulang untuk mendekapku. Dengan kata-kata yang indah dan sentuhan lembut dari nenekku yang merawatku selama ibu merantau, aku percaya ibu akan segera pulang ke rumah ini.

“Tut… tut… tut…” Terdengar bunyi nada dering telepon dari handphone jadul punyaku. Rasa gembira terpancar dari raut wajahku ketika kubaca tulisan “Ibuku Sayang” di layar handphone yang berdering itu.

Assalau’alaikum, Ibu. Ibu apa kabar?”tanyaku dengan penuh semangat.

Waalaikumsalam, ibu baik-baik saja sayang. Kamu sama nenek bagaimana kabarnya?” Ucap ibu dengan suara yang terdengar serak di loudspeaker handphoneku.

Bahagiaku memuncak di menit ke 00:20:45, yaitu ketika beliau memberithu bahwa ramadhan tahun ini akan pulang kampung. Kabar ini adalah kabar terindah dalam sejarah hidupku, bahkan aku menjadi semakin semangat belajar setelah mendengar itu.

Hari ini hari ke-23 umat Islam menjalani ibadah puasa. Dengan recehan uang yang ada di kantong bajuku, aku berniat untuk membelikan kerudung motif bunga kesukaan ibu. Aku memilih membelikan kerudung karena harganya lebih terjangkau dan sesuai dengan isi kantongku. Di tengah jalan, aku bertemu dengan ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya yang sedang menangis.

“Permisi, ini kenapa anak ibu menangis ya, Bu?” Tanyaku kepada ibu-ibu itu.

“Iya nak, anak ibu dari kemarin demam. Ibu tidak punya uang untuk membelikan obat untuknya. Dia pasti menangis karena kesakitan.” Ibu itu menjawab sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya.

Dengan ikhlas, aku memberikan semua uang dari kantongku kepada ibu-ibu itu agar bisa cepat membelikan obat untuk anaknya. Ucapan terimakasih tiada henti-hentinya terucap dari ibu-ibu itu. Ibu selalu mengajarkanku untuk berbagi, dan sekarang aku mencoba mengamalkan ajaran-ajaran dari ibuku. Apalagi sekarang ini bulan ramadhan, kata pak ustadz bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah, jadi aku juga turut serta untuk mencari berkah itu. Setelah itu, hatiku terasa amat tentram karena mengetahui betapa indahnya berbagi.

Senja pun mulai tiba, terlihat mega merah yang indah di langit sore itu. Ketika yang lain sedang menunggu adzan berkumandang, disini aku menunggu kabar dari ibu karena hari ini adalah hari yang dijanjikan ibuku untuk pulang. Namun harapan orang lain datang lebih dulu datang daripada harapanku. Hingga adzan berkumandang, aku belum mendapat kabar dari ibu. Setelah tarawih di masjid, tombol on pada televisi kutekan. Pada saat itulah tubuhku mulai lemas ketika melihat berita kecelakaan pesawat. Bagaimana tidak, pesawat yang mengalami kecelakaan itu adalah pesawat yang ditumpangi ibuku. Beberapa saat kemudian, terdengar kabar bahwa ibuku meninggal karena kecelakaan itu. Kata nenek, aku pingsan saat itu juga, dan ketika aku kembali membuka mata terlihat wajah nenekku yang sedang menangis.

Suara ambulance yang membawa jenazah ibu berdengung jelas ditelingaku. Saat itulah aku melihat tubuh ibuku digotong masuk ke rumah. Kupandangi suasana duka ini. Ketika itu aku tersadar kalau ibu telah menepati janjinya untuk pulang ke rumah tahun ini. Sejak saat itu pula kata-kata, “aku selalu menunggumu, Ibu” mulai senyap dibibirku. Aku tidak bisa membelikan kerudung motif bunga untuk ibu. Tapi aku akan memberikan kerudung berupa amal kebaikan untuk ibu di akherat. Sejak saat itulah aku mulai rajin mengamalkan ajaran ibuku untuk selalu berbagi, dan tidak lupa pula untuk selalu mendoakan orang tuaku yang sekarang sudah berada di surga.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *