Oleh: Aidil Fitri
Tiba-tiba saja seseorang merangkul bahu Ditta dari arah belakang, ketika ia menoleh terlihat cengiran Nima yang jujur saja sudah lama Ditta rindukan. Tanpa Ditta sadari ia ikut tersenyum melihat wajah konyol sahabat cantiknya itu. Nima mengedipkan sebelah matanya dan memberi arahan pada Ditta dengan menggerakkan sedikit kepala. Disana, di belakang mereka duduk teman-teman Ditta yang lain.
“Kenapa Mak?” Ditta tau, yang tadi itu berarti Nima mengajak Ditta bergabung bersama mereka. Ditta ingin sungguh, Ditta merindukan sahabat-sahabatnya. Mereka semua memperhatikan Ditta penuh harap. Tidak ada yang memasang tampang masam agar Ditta tidak segan bergabung kembali. Harap-harap cemas agar tidak ada lagi kekecewaan. Ditta mereka akan kembali dan semuanya berjalan normal sebagimana biasanya.
“Gabung yuk! Lama amat marahnya, yang lain udah pada kangen tuh.” Ditta sebenarnya tak tahu harus bagaimana. Ia tak ingin menerima juga tak mau menolak, tapi agar cengiran konyol Nima tak hilang sekejap mata akhirnya ia mengangguk. Mereka berjalan beberapa langkah dari pintu kelas ke arah jendela. Dimana mereka duduk.
“Hai Dit, apa kabar nih lo?” tanya Dhea saat Ditta sibuk bertos ria dengan yang lain. “Kayak yang lo liat, sehat walafiat.” Ditta tersenyum tulus sambil menyambut uluran tangan Dhea bermaksud mengajaknya duduk. “Gue mau ditahan nih? Laper tau mau ngantin nih,” Dhea hanya tersenyum simpul melihat Ditta yang menolak berlama-lama secara halus. Yang lainnya juga tak banyak bicara, mereka takut kelepasan dan memperburuk keadaan.
“Bentar lagi Ramadhan loh Dit, popmian yuk?” Ditta tersenyum mengingat acara ‘popmian’ mereka setahun yang lalu. “Kenapa senyum? Mau gak nih?” Vina mengulang pertanyaannya. Sejauh ini semuanya berjalan sesuai rencana. Popmian adalah ide Ditta. Tak benar rasanya jika Ditta menolak sesuatu yang ia ciptakan sendiri.
“Masih aja lu pada ya. Gak deh, gua pulang sekolah langsung disuruh balik. Ntar kena omel lagi kalo telat.” Ditta masih mempertahankan senyumnya, berusaha menjaga perasaan teman-temannya. Namun yang namanya ditolak itu pasti sakit, dan sebagian orang lebih memilih melepas keluar emosi mereka daripada menguncinya lebih rapat agar tak salah sasaran.
“LO BENER-BENER YA! Mau lo apa sih Ta? Lo masih kesel sama gue gara-gara Radit? Oke Ta gue minta maaf untuk ke sekian kalinya? Gue harus apa hah?!” Ayu yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. Kesabarannya habis menunggu dan berharap Ditta akan kembali. Ayu bukannya tak tahu teman-temannya yang lain beranggapan Ditta pergi karena dirinya. Karena masalah Radit setahun yang lalu.
“Yu, bukan gitu. Gue bahkan udah lupa sama itu, gua gak secinta itu sama Radit. Gak ada hubungannya, percayalah.” Ditta benar-benar tak enak hati sekarang. Sepertinya masuk kemari bukan pilihan yang tepat. “Trus apa Ta? Kalo gak karena Ayu sama Radit, masalah lu apa?” Nima mencoba meredakan hawa panas yang terasa begitu kentara di bawah cahaya matahari terik yang menembus jendela.
“Kan gua udah bilang, entar kena omel kalau pulang telat Nima,” Ditta tak pandai berbohong, mereka semua tahu itu. Lagipula itu terdengar sangat bukan Ditta. Ditta yang mereka kenal tak pernah menjadikan alasan kena omel untuk menghindari sesuatu. Bahkan ia dulu tak pernah takut apapun, apalagi cuma omelan yang tak pernah benar-benar Ditta dapat. Ditta anak yang terlalu bebas hanya untuk kena omel karena pulang terlambat.
“Lu kenapa sih? Jadi cerita Nino yang soal gembel-gembel gak jelas itu beneran? Ah lu gak asik Ta. Lu berubah Ta. Gua bahkan gak liat Ditta yang gua kenal lagi.” wajah-wajah ramah itu telah lenyap, tertiup angin atau luntur berganti kecewa. Ditta tak tahu harus bagaimana lagi, yang bisa ia lakukan hanya melangkah mundur keluar dari kelas Nima. Bahkan tak ada yang repot-repot memandang langkah kaki Ditta yang menjauh.
“Lu ribut ya tadi sama anak-anak?” tanya Nino tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. “Ha? Anak-anak mana Ta?” Fika langsung menegakkan kepalanya memandang Ditta. Mereka bertiga sedang berkumpul di kamar Ditta mengerjakan tugas kelompok, Nino yang daritadi sibuk berselancar di internet mencari bahan pun berhenti. Ia memutar tubuhnya mengahadap Ditta yang berbaring telungkup di kasur sambil memeriksa beberapa buku dibantu Fika disebelahnya.
“Duh, cepet banget ya nyebarnya. Padahal cuman ngobrol biasa doang tuh.” Ia malas harus mengungkit-ungkit kejadian tadi siang. Namun tatapan mata keduanya takkan melepaskannya, Ditta tak punya pilihan. Sekarang atau nanti Nino dan Fika akan tahu juga.
“Iya deh iya. Mereka cuman ngajak gue popmian bulan puasa Nok, itu doang elah.” Ditta tak berbohong kan? Memang hanya itu yang mereka bicarakan. Tak ada hal penting lain. “Trus lo terima?” Nino sudah tau jawabannya bahkan tanpa bertanya. Ditta sangsi Nino belum tahu kejadian jelasnya.
“Mau lo apasih Nok? Jangan pura-pura bego gitu deh, ngomong aja langsung.” Ditta jengkel juga melihat cengiran konyol Nino keluar. “Ya, gak ada sih. Tadi Ayu cerita lu jadi ngeselin banget, jangankan popmian duduk aja lu gak mau.” benarkan dugaan Ditta, Nino selalu jadi yang pertama dicari Ayu ketika ia punya masalah. Mereka sudah terlalu hafal kebiasaan masing-masing.
“Gua laper mau ngantin malah ditarik Si Emak, yaudah mampir.” Ditta berusaha menjelaskan sesederhana mungkin agar Fika yang dari tadi menyimak juga mengerti dan tak bertanya lagi. “Jadi si gembel kaya itu beneran ada? Dia bukan orang gila gak jelas aja kan?” Ditta sudah malas meladeni pertanyaan semacam itu dari Nino, jadi ia hanya memutar bola matanya dan kembali fokus ke buku. Ingin menyudahi pembicaraan. “Gembel kaya gimana nih?” tuh kan, ia belum lepas ternyata. Si Kepo Fika akan bertanya sampai mendapat apa yang ia inginkan. Dan itu menyebalkan.
“Si Ditta tahun kemaren ketemu orang kaya yang nyamar jadi gembel,” Nino tergerak menjawab Fika melihat Ditta yang hanya menggedikkan bahu cuek. “Ketemu dimana? Cerita dong. Gue juga mau tau,” lengkap sudah Si Kepo ingin bertanya pada Si Nyinyir. Ditta akan menyiapkan headset sebelum itu.
Benar saja, Nino tersenyum senang dan mengambil duduk di depan Fika, apalagi kalau bukan untuk memastikan Ditta mendengarnya dengan jelas. Padahal itu cerita Ditta sendiri. Sesuatu yang menghentikan Ditta dari salahnya, ibarat batu loncatan baru dalam hidup remaja tujuh belas tahun itu.
“Oke gua cerita, tapi jangan potong cerita gua ditengah-tengah diem aja okey?” Fika mengangguk patuh dan Nino pun memulai dongengnya. “Jadi kan lu tau sendiri Ditta setahun yang lalu itu siapa?” Fika kembali mengangguk.
Ditta setahun yang lalu. Anak remaja cantik, populer, bebas, dan salah. Ditta setahun yang lalu itu, Ditta yang malas berada di rumah, lebih suka menghabiskan waktunya diluar. Nongkrong sana sini bersama teman-temannya. Menggaet banyak laki-laki hanya untuk bersenang-senang. Ditta yang tak pernah duduk nyaman di kelas. Ditta yang bisa menjadi teman siapa saja. Bahkan preman pasar sekalipun. Ia yang selalu pasang badan saat ada yang berani mengusik teman-temannya. Ditta punya banyak rasa hormat, segelintir musuh, dan teman-temannya yang hebat.
Ditta si pembuat masalah yang punya koneksi kemana-mana. Hingga tak ada yang bisa menghentikannya. Ditta yang semakin hari semakin salah. Sekolah tak lebih dari sekedar absen atau mungkin melirik gebetan yang duduk di sebelahnya. Ditta yang selalu jadi pembicaraan seisi sekolah. Ditta sang primadona, semua terasa begitu sempurna saat itu, namun ternyata Ditta salah.
“Jadi puncaknya itu udah Ramadhan apa belum ya Dit? Eh udah kayaknya. Nah pas itu tuh, Ditta lagi pacaran sama cowok sekolah sebelah yang namanya Radit. Anaknya sih asyik banget gua juga setuju-setuju aja sama Ditta sama dia. Mereka baik-baik aja sih awalnya. Radit juga keliatannya sayang banget sama si Ditta. Eh tak disangka-sangka hujan badai saat bulan purnama. Si Ayu juga naksir Radit!” itu lagi, itu lagi. Ditta memang kecewa dengan Ayu saat itu, tapi sekarang ia benar-benar sudah melupakan itu.
“Terus terus gimana?” tentu saja Si Kepo takkan berhenti sampai disitu, ini bukan pertama kalinya Fika bertanya kenapa Ditta berubah. Ditta tersenyum ringan, jika dulu ia tak tersentuh bagi mereka yang tak punya cukup nyali untuk mendekatinya. Sekarang berbeda Ditta sendiri yang memilih mundur dari fokus utama semua orang. Tanpa Ditta tau, tak ada yang benar-benar melupakannya.
“Nah abis itu, si Radit ini selingkuh sama Ayu. Gak ada yang nyangka sih. Soalnya Ayu keliatan cuek banget sama Radit. Radit juga kalo lagi ngumpul-ngumpul mandangnya Ditta mulu. Sampailah waktu itu ketahuan sama Ditta kalo mereka jalan bareng mungkin mau buka puasa bareng gitu, padahal kata Radit dia mau buka di rumah sama mamanya. Ditta kecewa banget, lu bayangin aja satu pacarnya satu lagi sahabatnya. Pas mergokin mereka di mall, Ditta lagi sama gue. Jadi bukannya minta maaf Radit malah nuduh Ditta yang selingkuh. Ya ngamuklah, lu tau sendiri Ditta kalau udah emosi. Trus Ditta pergi gitu aja ninggalin gue, setelah mutusin dan nampar Radit tentunya. Terus waktu itu gua keren banget lu mau tau? Gua bisikin ini di telinga Ayu sebelum pergi, ‘Gua kecewa sama lu’” mereka terbahak, Nino emang paling bisa membolak-balik suasana.
“Terus, niatnya sih gua mau kejar Ditta. Eh dianya ngilang, mana lagi ujan. Dan gua gak punya payung, bentar lagi azan. Jadi ya gua bengong aja depan mall nungguin dia balik, Ditta gak bisa pulang sendiri karena tasnya di gue, jadi gua gak punya pilihan selain nunggu. Dianya gak tau kemana.” Nino melirik Ditta sinis, mungkin ia masih dendam harus menunggu lama waktu itu.
Ketika dikecewakan pacar dan sahabat seperti itu, Ditta benar-benar hancur. Ia terus berpikir apa salahnya dan kenapa mereka melakukan ini padanya. Apalagi Ayu, Ditta tak habis pikir dengan temannya yang satu itu. Saat ia berjalan-jalan keluar mall, rintik hujan mulai turun yang awalnya jarang malah semakin rapat. Ditta segera berlari mencari tempat berteduh. Ia berdiri di depan toko yang sudah tutup sambil berusaha menghilangkan sisa air di tubuhnya. Tak lama kemudian seorang gelandangan ikut berteduh bersamanya. Ditta biasa saja, ia tak terlalu risih karena ia punya beberapa kenalan anak punk yang kita tau sendiri bagaimana kesehariannya.
“Apa kamu sedang punya masalah nak?” Ditta menoleh, gelandangan itu tak menatapnya. Tapi tak ada siapa-siapa lagi disana. Kalau bukan dengannya, apa bapak ini gila? “Bapak bicara dengan saya?” Ditta mencoba memastikan. “Tentu saja, apa kamu sedang bermasalah dengan sesuatu atau bagaimana?” si bapak bertanya lagi.
Ditta tersenyum simpul, apa sejelas itu wajah kusutnya sampai-sampai bapak ini menerka terlalu tepat. “Biasalah pak, masalah anak muda. Ini bukan pertama kalinya buat saya, tapi melihat sahabat sendiri yang melakukannya ternyata rasanya berbeda.” Ditta tak tahu kenapa ia malah bercerita pada si bapak. Ditta tak terkejut melihat bapak itu malah tertawa. Lagipula kenapa ia malah bercerita pada orang gila. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kenapa apa kamu berpikir saya gila?” itu terlalu tepat, apa ia semudah itu terbaca? Ditta menyerngit heran. “Dalam selingkuh, korban tak salah. Dan disini kamu korbannya.” Kalimat gamblang bapak itu benar-benar mengejutkan. “Bagaimana bapak tahu?” Ditta tak tahan untuk tak bertanya. Mungkin bapak ini tidak gila hanya miskin saja. “Saya sudah hidup terlalu lama hanya untuk masalah anak muda sepertimu.” Ditta mangut-mangut pengalaman memang guru terbaik.
“Apa kamu percaya kalau saya sebenarnya kaya raya?” apalagi ini, Ditta jadi ragu ia bicara pada orang waras atau tidak. Sementara si bapak kembali tertawa melihat ekspresi bingung Ditta. “Saya punya segalanya, harta, keluarga, anak-anak yang hebat, dihormati banyak orang.” Oke. Dia gila.
“Tapi satu hal yang saya tidak mengerti, kenapa orang-orang mau berpuasa. Menahan lapar mereka seharian padahal mereka punya uang untuk membeli makanan. Dan ketika saya bertanya pada orang-orang yang mengerti agama, mereka bilang agar kita mengerti apa yang dirasakan saudara-saudara kita diluar sana yang tidak seberuntung kita. Mereka bilang itu perintah Allah.SWT agar mengingat mereka yang lebih lapar dari kita saat ini.” Ditta menyimak, hujan sudah tidak selebat tadi tapi ia masih ingin tinggal. Si bapak yang mendapat perhatian pun melanjutkan.
“Lalu saya mencoba berbagai hal yang mungkin bisa menggantikan puasa itu sendiri, walaupun tak bisa lama karena kesibukan saya di perusahaan.” Oke. Sekarang dia bahkan punya perusahaan, apalagi setelah ini jet pribadi? “Saya pernah mencoba menjadi relawan untuk korban bencana alam, lalu saya pernah tinggal bersama orang pedalaman selama seminggu yang ditentang habis-habisan oleh istri saya.” Oke. Seratus persen gila.
“Bahkan saya pernah mengajukan diri untuk membantu korban perang di negara lain, tapi saya malah diancam cerai sama istri saya kalau berani melalukan itu,” ia terkekeh, si bapak itu tertawa cukup lama yang membuat Ditta berpikir untuk pergi saja. “Apa kamu berpuasa hari ini?” Ditta menghentikan langkahnya, ia kembali menoleh pada si bapak dengan wajah datar.
“Bahkan sekarang saya menjadi gelandangan tua yang bau. Setelah mencoba semua hal itu, percaya atau tidak. Tidak ada yang lebih sederhana dari puasa menahan segala hawa nafsu untuk menjadi bagian dari mereka yang kurang beruntung. Tuhan kita sebaik itu, ia hanya mewajibkan puasa sebulan dalam setahun. Bahkan tidak separuh perjuangan mereka diluar sana. Tapi kita sudah menjadi bagian dari mereka.” Ditta tertegun di tempatnya. “Jadi, apa kamu puasa hari ini?” entah itu pertanyaan serius atau hanya basa-basi, Ditta membisu. Ia tak punya jawaban yang tepat untuk itu, atau ia hanya malu mengakui.
Teringat olehnya acara popmian yang ia usulkan bahkan sejak hari pertama puasa, kegiatan tak bermanfaat yang bahkan masih dilanjutkan sampai kini. Mereka akan berkumpul sepulang sekolah setiap hari, hanya untuk makan popmie di warung belakang sekolah. Tak peduli sedang berpuasa atau memang berhalangan. Karena hobi Ditta saat itu cuma satu. Melanggar segala aturan. Tak peduli dengan apa dan siapa ia berhadapan. Ia hanya percaya teman-temannya ada untuk menolongnya. Tapi bagaimana dengan sekarang?
“Tidak, saya tidak sedang puasa.” Ditta menerawang memilih menatap genangan air yang marah setiap kali dilewati kendaraan. “Oh, begitu.” saat Ditta menoleh masih tersisa senyum simpul di bibir si bapak. Belum sempat Ditta bertanya lebih lanjut. Sebuah mobil mahal bermerk Mercedez Benz menepi didekat mereka. Ditta masih tak mengerti sampai mobil itu melaju dengan si bapak yang melambaikan tangan dari kursi belakang ke arahnya sambil tersenyum.
“Lu beneran yakin dia naik Mercedez kan? Bukan dorong gerobak sampah?” Nino tertawa lebar saat Ditta menoyor kepalanya. Bagi Nino Ditta tetap sama, perubahan Ditta bukan sesuatu yang buruk. “Jadi karena itu, lu waktu itu tiba-tiba masuk kelas, nyapa gue, nanya tugas, dan lain sebagainya yang bikin anak satu kelas nahan napas?” kini Fika mengerti, terjawab sudah semua keanehan yang terjadi setahun lalu. “Gue mau makasih sama bapak bapak Mercedes itu,” Fika melompat sambil memeluk Ditta erat.
“Bego! Gue yang gak bisa napas sama lu sekarang Fik! Lepasin ihh.” Fika nyengir saat ditatap tajam oleh Ditta. “Entar pas puasa kita sering-sering buka bareng ya!” Entah apa yang dipikirkan Fika, tapi anak itu sangat bersemangat. Ditta tersenyum lalu mengangguk, “Pas udah azan maghrib loh ya.” Dan sekali lagi mereka terbahak. Ditta mungkin salah mengambil keputusan ini. Tapi ia percaya, Ditta sudah tak sesalah dulu lagi.