Oleh: Fahimah Nida’u qudsi
“Ya Allah.. Ya Rabb, hamzah ingin kau ridhoi impian yang hamzah impikan ini. Hamzah ingin kau wujudkan impian ini. Hamzah iingin kau beri kemudahan tuk menggapai impian ini…. ya Rabb, kabulkanlah do’a hamzah ini…”
“…Impian hamzah hanyalah ingin dapat berderma di bulan ramadhan ini. Hamzah mengharap pahala yang kau beri berlimpah dan berlipat ganda, bertepatan di bulan ramadhan ini.”
Hilal sabit telah nampak di depan mata, dialah hilal bulan ramadhan, bulan kemuliaan yang tiba atas jiwa jiwa yang beriman pada-Nya. Di sepertiga malam bulan ramadhan itu, seorang bocah berusia 11 tahun duduk tawarruk diatas sajadah biru, menjatuhkan air mata sambil menengadahkan tangan nya ke atas langit meminta dan bersandar hanya pada Rabb-nya. Meminta kekuatan, kesabaran, dan keistiqomahan pada-Nya demi menggapai impian yang tak kunjung terwujudkan. Ialah Hamzah, sosok bocah berusia 11 tahun yang senantiasa merekahkan senyum saat melihat saudara seiman nya. Hamzah bersama sang Ibunda senantiasa percaya, bahwa kehidupan yang Allah berikan pada mereka adalah anugrah terindah. Mereka percaya bahwa Rabb semesta alam senantiasa mendampingi perjalanan hidupnya dalam setiap detik, dan menit.
Kehangatan tercipta di atas asrama ponpes Al-Mumtaz. Para sahabat itu berkumpul duduk melingkar dengan penuh cinta dan cerita. Memberikan kesejukkan hati bagi seorang hamba yang dapat merasakan manisnya ukhuwah islam ini. Dan canda tawa sudah menjadi hidangan di setiap moment terindah mereka.
“Hamzah..!” Panggil seorang teman nya yang juga berada pada lingkaran itu.
“kamu ingat saat kamu masuk pondok pertama kali?” Tanya seorang teman nya yang bernama Absyar itu.
“Iya.. kenapa?” Tanyanya kembali sambil tersenyum meringis.
“… Aku sangat ingat. Waktu itu kamu masuk dengan memampangkan raut wajah tak PD. Dan seperti nya kamu heran dengan jubah gamis putih yang sekarang kamu kenakan…” Lanjut Absyar sambil menahan tawa.
“Absyaaaar!! Sudah, kubilang apa!” Seru Hamzah sambil memukul punggung Absyar.
“Tak apa hamzah, aku dulu juga seperti mu” Ujar nya masih sambil tersenyum lebar.
Suasana pun semakin hangat, ke enam sahabat sahabat nya pun tertawa ceria. Kemudian mereka melanjutkan aktivitas mereka kembali seperti biasa, Melakukan program pondok pesantren.
Ramadhan ini, Hamzah ingin mewujudkan impian nya. Di tiap sepertiga malam nya, Ia selalu berdo’a untuk dapat menggapai impian yang di dambakan nya.
Langit biru membentang luas, gumpalan-gumpalan awan menghiasi langit dan hembusan udara sejuk menyelimuti sore.
“…Tap..” Langkah terakhir nya terhenti pada balkon asrama yang panjang. Tempat dimana ia merenungi hidup nya. Matanya memandangi ciptaan sang kuasa yang dapat memberikan kesejukan bagi dirinya. Tiba tiba seorang bocah sebayanya memanggil dirinya.
“Hamzah.. tunggu aku!!!” Seru Absyar sambil berlari kecil. Hamzah hanya menoleh pada nya kemudian memandangi pemandangan yang berada di hadapan nya
“Hmm???.. ada apa?” Jawab Hamzah singkat
“Impian kamu apa?” Tanya Absyar
“Aku belum mengatakan nya pada seorang pun” Jawab hamzah datar. Absyar hanya mengernyitkan dahi dan menoleh pada nya.
“.. Mengapa itu bisa terjadi??” lanjut Absyar
Hamzah yang sedari tadi masih menatap pemandangan sore itu, kemudian menghela nafas panjang dan berucap;.
“…Aku ingin bisa berderma di ramadhan ini” Jawab nya dengan rasa ragu.
“Insyaallah, impian itu akan terwujud suatu hari nanti..” Ujar absyar menguatkan impian nya itu sambil tersenyum
“Terimakasih absyar.. atas semangat nya” Jawab nya mengakhiri perbincangan. Kemudian Hamzah pergi meninggalkan Absyar sendirian di balkon panjang itu.
Tak terasa sudah setahun ia lalui hari hari nya di ponpes al-mumtaz. Hafalan qur’an nya makin bertambah, membanggakan sang ibu. Tapi mungkin tidak bagi ayah nya. Kebanggaann sang ibu pun mengingatkan nya pada suatu peristiwa kelam nya.
***
“Ayah tak peduli dengan apa yang kamu putuskan, pokok nya ayah hanya ingin kamu tidak mengikuti kegiatan keagamaan itu!” ujar sang ayah dengan tegas. Darahnya sudah mendidih sedari tadi. Riuh gaduh terjadi dalam suatu rumah berisikan 3 anggota keluarga.
“Ayah… tapi agama kita itu muslim, seharus nya kita malah mengikuti kegiatan kegiatan atau yang semacam nya lagi. Lagi pula, apakah kita tak mengajarkan anak kita agama nya sendiri?! Kita harus sadar!!!” bantah sang ibu dengan intonasi agak tinggi.
Perdebatan mereka berakhir hingga menit ke 20 pada pukul 15.00. Dan pada akhirnya pun sang Hamzah berangkat menuntut ilmu islam. Saat ia teringat peristiwa tersebut, ia selalu mencoba tuk menghilangkan memori tersebut.
***
“Tliit.. Tliit.. Tliit..” Suara panggilan masuk di telephone ponpes al-mumtaz. Tiba tiba suara ustadz memanggil nya membuat nya terkejut
“Hamzah..!!! ada telephone dari orang tua mu!!” Seru ustadz dengan suara menggelegar
“Ii.. Iyaa, iyaa ustadz” Jawab nya sambil terburu buru turun dari 32 anak tangga. Kemudian ia sampai pada ambang pintu kantor lalu mengambil genggaman telephone itu.
“Assalamu’alaikum umi..” Ucap Hamzah
“wa’alaikum salam hamzah..” Jawab umi sambil menahan tangis
“.. Hamzah, ini mungkin berita buruk bagi mu. Sekali lagi umi meminta maaf, mulai pekan depan Hamzah harus pulang dan tidak bisa melanjutkan menuntut ilmu disana kembali karena ayah tak mengizinkan mu menimba ilmu di sana kembali..”
Seketika itu, jantung Hamzah berdetak kencang. Kemudian ia berlari menuju kamar nya dan menangis tersedu sedu di atas ranjang milik ponpes itu sendiri. Lalu membereskan barang barang yang akan di bawanya itu meninggalkan bekas kenangan persahabatan, meninggalkan persinggahan menuntut ilmu…
Langit biru membentang luas, gumpalan-gumpalan awan menghiasi langit dan hembusan udara sejuk menyelimuti pagi.
“Absyar, tunggu aku!..” Panggil nya pada Absyar sambil tergesa gesa.
“….Maaf jika di ramadhan ini aku belum memberimu apa-apa. Bila aku telah meninggalkan dunia ini terlebih dahulu, anggaplah saja aku telah memberimu sesuatu yang berharga.. Aku hanya bisa memberimu cinta persahabatan yang semata-mata hanya karena Allah. Cinta yang tak pandang sebelah mata dan cinta yang amat berharga bagi ku…”
Dilihat nya sang ibu yang sudah melambaikan tangan nya di ambang gerbang pondok.
“….Assalamu’alaikum” Ujar nya sambil berjalan ke luar gerbang .
Seolah mata hamzah akan lepas dari kelopaknya. Dirinya terkejut mendengar perkataan itu.
“ham.. hamzahh!” panggil nya dengan wajah kebingungan.
Tetapi, tetap saja kaki itu tergerakkan hingga di ambang gerbang pun dirinya tetap tak menoleh sedikit pun. Kemudian gerbang itu tertutup dengan rapat kembali. Absyar pun tak dapat berkutik apapun, karena diri nya tak di perbolehkan keluar dari area ponpes al-mumtaz.
Suara lajuan kereta api mengingatkan nya pada masa lalu. Di saat ia dan sang ibu berangkat menuju nya untuk menjadikan tempat persinggahan menuntut ilmu. Ia ingat betul kenangan yang telah di rangkai nya bersama ke tujuh sahabat yang di cintai nya itu. Tapi kini ia harus meninggalkan nya.
Saat gerbong-gerbong itu terrhenti di hadapan nya, ia bergegas melangkahkan kaki nya menuju kendaraan tersebut bersama sang ibu yang mendampingi nya. Kemudian duduk dan merenung sejenak. Perjalanan nya pun memberikan tantangan keberanian pada dirinya. Tiba tiba diri nya teringat sesuatu“Bukankah ini hari kelahiran ku?Ya Allah, ibuku menghadiahkan ku sebuah tangguhan dan kesabaran” Batin nya dalam hati.
Senja sudah berganti malam dan sinar matahari tak dapat menyinari bumi kembali. Gulita nya malam tersinari oleh lampu lampu kendaraan. Kaki itu telah berpijak di atas tanah kampung halaman tempat ia di besarkan.
Hari hari nyapun di lakukan nya seperti dulu kembali. Hanya saja ia lebih giat lagi untuk menghafal qur’an dan mempelajari buku-buku bekasnya dari pondok al-mumtaz. Kebisaan baik nya di pondok terbawa hingga pulang kerumah di kampung halaman.
Sebelum berangkat bekerja untuk membantu ibu nya, ia luangkan sejenak waktu nya tuk membaca satu ayat alqur’an. Tiba tiba pos datang mengirimkan surat untuk nya.
Dibuka nya surat kecil itu, disana tertulis “Dari ustadz . Di pondok al-mumtaz”. Hati hamzah berdebar debar, menanti suatu pesan yang akan di bacanya. Surat itu tertulis:
“Asssalamu’alaikum hamzah.. Disini ustadz hanya memberi tahumu suatu berita sedih. Sepekan yang lalu sesudahkepergian mu, suatu kejadian yang amat menggoreskan hati terjadi di pondok al-mumtaz. Kejadian itu menghilangkan kenangan manismu di tempat persinggahan belajar mu itu. Ia habis terbakar oleh api yang menyala-nyala. Api yang amat besar dan susah di padamkan. Para santri hafidz itupun habis tak tersisa, mereka meninggalkan dunia ini dengan khusnul khotimah. Termasuk teman teman yang kau cintai, mereka juga telah pulang ke rahmatullah…”
Belum selesai hamzah membaca surat tersebut, air mata nya telah tumpah tak karuan. Kesedihan nya menggores luka terdalam dalam hati nya.. Sungguh, ia tak kuasa menahan tangis karena kesedihan itu.
“…. kejadian itu berlangsung saat para hafidz itu mengahafal alqur’an sehabis maghrib. Ustadz sendiri bersama pengurus yang lain baru saja datang dari rapat di rumah kyai. Kami baru mengetahuinya saat riuh gaduh terdengar. Hamzah, ustadz memberi tau mu ini semua, bukan untuk membuat sedih. Ustadz di sini mengarap do’amu untuk para santri yang telah wafat ini. Pemakaman mereka di lakukan secara massal pada hari sabtu besok pukul delapan sampai dengan sepuluh…Wassaalamu’alaikum” Begitulah isi surat dari sang ustadz. Kemudian di peluk nya surat itu erat erat. Air mata tetes demi tetes jatuh membasahi surat yang berada dalam genggaman tangan nya. Kini,baginya kenangan manis nya telah lenyap. Hanya kenangan dalam pikiran yang dapat mengingatkan nya. Ya Allah, ya Rabb.. Aku bangga.. aku telah mewujudkan impian ku. Aku bisa memberikan hati. Hati yang berisi cinta di dalam nya. Sebuah pemberian yang amat berharga bagiku. Aku bangga ya rabb.. sahabat sahabat ku telah meninggal dengan khusnul khotimah.. tinggalalah aku ya Allah.. apakah aku kembali di sisimu dalam keadaan khusnul khotimah?..
Ya Allah.. terimakasih atas rizki yang berkah ini… dan atas anugrah yang kau beri pada ku..