Oleh: Ainun Nadhifah
Kabut putih menyelimuti jalan menjadi teman setiap hari saya di kala pagi menjadi awal aktifitas saya bersama sang ibu. Warna langit yang masih ke kuning-kuningan menjadi pandangan indah yang selalu menemani saya, ibu dan adik ketika menunggu orang-orang berdatangan menitipkan makanan kegemaran masyarakat. Ada yang manis, pedas, asin, dan sebagainya terbungkus rapi dari koran yang dibuat menyerupai bentuk wadah makanan.
Matahari mulai menyongsong sinarnya, pertanda bahwa kami harus berangkat menyusuri perkampungan dan menjajakan hasil titipan orang-orang yang sama-sama ingin mencari nafkah dan keuntung bersama. Sepeda motor butut menjadi andalan saya untuk mengantar ibu mencari nafkah di pagi hari. Maklum saja ibu saya merupakan seorang janda yang ditinggal suaminya dan harus menafkahi dua anak yang harus ia sekolahkan hingga menjadi orang sukses.
Itulah saya dan adik saya. Panggil saja saya dengan sebutan Dinda, saya sekarang duduk dibangku kelas 1 SMA, sedangkan adik saya Hasan duduk dibangku kelas 1 SD. Saya dan adik terpaut usia cukup jauh. Namun, kita berdua sangat kompak dalam urusan membantu ibu, baik itu mengantarkan ibu maupun membantu menghitung hasil keuntungan di pagi hari tadi. Tak lupa, ibu selalu menyisihkan hasil keuntungannya di dalam kaleng bekas dan dompet. “Ibu, kenapa uangnya dibedakan menjadi dua? Satu ditaruh di dompet dan yang satunya ditaruh di kaleng” tanya Hasan dengan rasa penasaran. “Hasan pintar, uang ibu sisihkan menjadi dua itu ada tujuannya. Uang yang ada di dompet digunakan untuk kebutuhan kita sehari-hari, baik itu untuk makan maupun biaya sekolah kalian. Sedangkan uang yang ada kaleng, ibu sisihkan buat amalan kita untuk menabung di akhirat” jelas ibu kepada anak bungsunya. “Amalan menabung untuk di akhirat? Maksudnya bu? Hasan tidak mengerti”, Hasan kebingungan. “Amalan di akhirat itu banyak sekali, salah satunya seperti menyisihkan uang kita untuk bersadaqah kepada orang-orang yang tidak mampu, jelasku kepada adik. “Owh… jadi uang itu digunakan untuk memberikan orang-orang yang ada di jalanan itu ya bu”, tanya Hasan lagi. “Betul sekali apa yang dikatakan kakakmu itu hasan, sadaqah adalah amalan kita sebagai tabungan kita kelak di akhirat. Akan tetapi ketika kita mau memberi sadaqah seharusnya kita pilih-pilih terlebih dahulu, apakah orang itu berhak menerimanya atau tidak”, ujar ibu. “Kenapa harus begitu bu?, tanya Hasan kembali. “Iya nak, itu sangat perlu. Karena di luaran sana banyak sekali orang-orang yang aslinya mampu namun bergaya seperti orang yang tidak mampu. Seperti halnya apakah hasan pernah melihat orang yang mempunyai tangan atau kaki satu di jalan raya?”, tanya ibu ke anak bungsunya. “Iya bu, Hasan sering melihat orang yang memiliki tangan maupun kaki satu. Sampai-sampai orang itu terkadang mengesot-esot di jalanan, sehingga membuat semua orang merasa iba melihatnya”, seru Hasan kepada ibunya. “Ya begitulah nak, orang yang kurang bersyukurnya atas nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya. Mereka semua berpura-pura seperti itu demi mendapatkan hasil yang cepat dan banyak”, ungkap ibu kepada anaknya yang sudah bisa membedakan. “Tapi, kenapa mereka melakukan seperti itu bu? Bukankah itu adalah hasil yang tidak halal?”, tutur Hasan dengan rasa kecewa. “Entahlah nak, kita tidak bisa menentukan apakah itu halal atau haram. Maka dari itu, kita harus berusaha terlebih dahulu sebelum bertindak. Pekerjaan apapun harus kita lakukan, meskipun terasa berat tapi rida Allah ada di pekerjaan kita dan jangan lupa teruslah berbagi terahadap sesama orang yang selayaknya membutuhkan bantuan. Sejatinya rezeki dan amalan akhirat kita pun menjadi bertambah jika mampu melakukannya dengan ikhlas”, ujar ibu kepada anaknya. “Iya ibu, Hasan sekarang menjadi mengerti bahwa apa yang selama ini kita kerjakan seharusnya atas dasar mengharap rida Allah dan tidak lupa harus dengan hati yang ikhlas”, ujar adik mulai mengerti.
Rutinitas bangun pagi dan menjajakan jajan setelah sholat shubuh menjadi kebiasaan kami mengharapkan rida kepada Allah dengan mencari dan membagi rezeki yang halal terhadap sesama. Tak lupa setiap malam saya dan adik sangat semangat menyisihkan uang, dan memasukkannya ke dalam kaleng. Cita-cita kami sangatlah sederhana, yakni pada bulan suci Ramadhan kami mampu menyantuni anak yatim dan fakir miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal sekitar. Cita-cita ini memang banyak yang menganggap remeh kepada keluarga kecil kami. Akan tetapi, dengan sekuat tenaga kami mencari keuntungan rizki setiap pagi sehingga membuahkan sebuah hasil yang mampu membuat masyarakat geger karena seorang janda dan anak-anak yatimnya mampu menyantuni anak yatim dan fakir miskin lainnya. Semua itu kami lakukan hanya untuk mengharapkan rida Allah di bulan Suci yang penuh berkah ini dan menjadikan amalan akhirat kami kelak.