Berbagi Bahan Literasi di Bulan Suci

Oleh: Munajah

Tiga hari sebelum memasuki bulan puasa dia sudah mengajak anaknya untuk membuka tabungan yang ada pada celengan masing-masing. Ternyata penolakan program dari beberapa masjid dan mushola bukan akhir dari kendala. Setelah pontang-panting menyebar proposal sampai positif mendapatkan dukungan dari pihak terkait singel parent muda itu harus bisa meluaskan dada dalam memberi pengertian kepada buah hatinya. Berbagai macam alasan mereka sampaikan supaya sang ibu membatalkan rencana yang sudah didengung-dengungkan tiap malam sejak tiga bulan yang lalu.

“Umi, sebelum celenganku dibuka boleh usul tidak?” tanya si bungsu. Sebelum dia menjawab ada bunyi handphone yang membuat percakapan itu terputus. Dia bergegas kesumber suara dan mengangkat telphon tersebut.

“Assalamu’alaikum.” sapa dia.

“Wa’alaikum salam , sudah dicoba?” tanya orang yang diseberang telphon.

“Belum Mir, rencanannya nanti malam.” jawab dia.

“Jangan terlalu dipaksakan loh Ra.” pinta temannya.

“Insya Allah tidak, doain saja!” jawab dia.

“Kalo tidak berhasil lakukan sendiri saja!” pinta sahabatnya.

“Tauladan itu belum cukup mereka harus dilatih sejak kecil.” jawab dia tegas.

“Kalau tidak tegas bukan kamu” jawab sahabatnya.

“Ya sudah, Aku mau beraksi nih hanya punya waktu 3 hari lagi.”jawab dia.

“Ok, tetaplah manis di depan anak-anakmu! Assalamu’alaikum.” pesan temannya.

“Iya, tenang saja Waalaikum Salam.” tutup dia.

Setelah pulang jama’ah shalat Maghrib sambil menyiapkan makan malam dia mencoba menanyakan apa yang akan diusulkan oleh sibungsu tadi siang.

“Adik, tadi siang mau usul apa ya? maaf tadi belum sempat Umi jawab.” tanya dia.

“Gini Mi, kan kalo anak-anak itu lebih suka mainan bagaimana kalo kita berbaginya mainan saja?” jawab si bungsu.

“Ah, itu mah alasan adik aja Mi, kan dia memang lagi menginginkan mainan baru.” celetuk sang kakak.

“Ih, kakak kok fitnah sih kan aku usul. Kata umi kita bebas mengeluarkan pendapat toh?” jawab si adik.

“Emang Kakak tahu dari mana?” tanya sang ibu sambil senyum.

“Dia kan kalo menginginkan mainan selalu cerita yang ada hubungannya dengan mainan itu terus sama Kakak Mi,” jawab sang kakak.

“Adik, sini sayang! cerita dong sama Umi memangnya mau beli mainan apa lagi sih?” rayu dia sambil memangku anak bungsunya.

“Adik kan punya mainan yang belum dimiliki teman-teman Mi, kalo kita bagi-baginya mainan teman-teman pasti seneng karna tidak usah minjam ke Adik lagi.” jawab si kecil.

“Allah kariim, ternyata anak Umi sholeh banget ya peduli sama teman-temannya.” puji dia.

“Itukan alasan saja biar mainannya tidak dipinjam lagi Mi, kan kemarin rusak dua setelah dipinjem temannya.” sela sang kakak.

“Oh ya, bener Dik?” tanya dia dengan senyuman.

“Iya Mi, kan mainanya tinggal satu.” jawab sikecil dengan muka sedih.

“Oh begitu toh?” jawab dia.

“Kalo kakak mau usul apa nih kira-kira?” tanya Ibu pada anak perempuannya.

“Usul kakak si kita belikan mukena satu-satu buat mereka biar shalat tarawihnya semangat Mi.” jawab sang kakak.

“Oh, bagus alasannya kalo begitu Umi tampung pendapat kalian kita sekarang makan dulu yuk!” ajak dia.

Setelah selesai makan mereka melanjutkan pergi ke Masjid untuk berjamaah shalat Isya sekalian menemui takmir masing-masing masjid untuk membahas tindak lanjut dari rencana yang sudah disampaikan satu bulan lalu. Setelah bertemu dengan beberapa pengurus tersebut dia mendapat informasi dari salah satu masjid bahwa beberapa tokoh masyarakat ada yang tidak setuju dengan alasan akan mengganggu kegiatan keagamaan sehingga disarankan untuk menghubungi beberapa orang untuk menjelaskan lebih detail supaya dapat ditrima dengan baik. Karena niatnya baik dia berusaha mengikuti prosedur yang di sampaiakan oleh salah satu pengurus supaya tujuan baik dapat tersampaikan dengan baik pula.

Perempuan berparas manis itu mengantar sekolah anaknya saat mentari datang. Setumpuk pekerjaan tidak menjadikan dia menunda rencana menemui salah satu tokoh masjid yang masih belum menyetujui programnya. Tapi Agenda yang telah disusun tiba-tiba berubah karena urusan bisnis online yang harus diselesaikan hari itu. Setelah menjemput anak-anak dia harus mengemas dan mengrim beberapa orderan. Adzan magrib berkumandang saat dia berada di jalan sehingga baru bisa mendatangi tokoh masyarakat setelah sholat Isya lagi.

Ternyata presentasi yang meyakinkan membuat tokoh yang semula kekeh tidak setuju menjadi sangat mendukung. Sehingga dia bisa bernafas dengan lega meskipun masih ada yang harus ditangani dengan pelan-pelan. Bagi dia menjelaskan kepada takmir masjid dan tokoh masyarakat lebih mudah disbanding menjelaskan kepada anak-anaknya.

Setelah sampai dirumah dia mencoba berbicara pada anak-anak kembali sambil mengantar mereka tidur.

“Nak, siapa yang mau Umi ceritain sebelum tidur?” tanyanya.

Mereka langsung menjawab dengan serempak, “Aku”

Sebelum bercerita dia memberikan pretes sebagai pengantar cerita.

“Pilih dua benda yang Umi sebutkan dan berikan alasannya!” perintahnya.

“Bola atau senter?” tanyanya.

Sang kaka menjawab, “Senter dong, kan bisa menerangi.”

“Bola lah, kan aku suka bermain sepak bola.” jawab si bungsu.

“Ok kalo begitu dengarkan cirta Umi yah!” pintanya.

“Disuatu hari ada pemain sepak bola yang pergi berlibur mendaki gunung. Kebetulan pemain sepak bola tersebut terkenal sampai kepelosok desa dekat gunung yang mau didaki. Sampai di perkampungan tempat start para pendaki gunung banyak orang yang menyapa dan meminta tanda tangan karena ketenarannya. Sebelum akhirnya naik pemain sepak bola tersebut ingat bahwa ada barang yang tertinggal di rumah. Akhirnya meminta bantuan orang yang ada di daerah sekitar untuk memberikan benda yang dibutuhkan. Para penggermar berlomba memberikan benda yang kira-kira dibutuhkan pemain sepak bola kondang tersebut. Ada bola, kaos Jersey, selimut, jaket, dan senter. Benda yang dipilih oleh pemain handal tersebut bukan kaos bukan pula bola dan lainnya melainkan senter. Alasannya karena mau naik ke gunung pasti gelap dan kebetulan dia tidak membawa alat penerang.”

Setelah bercerita ibu kedua anak tersebut memberikan postes lagi,”Kalo kalian jadi pemain sepak bola tersebut apa yang kalian pilih?”

“Ya senterlah Mi, kan kalo gelap tidak bisa jalan.” jawab si bungsu sebelum kakaknya menjawab sama.

Ibu dua anak itu mengaitkan cerita tersebut dengan program sumbangan yang akan diberikan pada masjid dan mushola sekitar rumah. Dia juga menjelaskan mengapa memilih menyumbangkan buku untuk literasi dibanding mainan atau mukena. Karena buku bacaan lebih dibutuhkan anak-anak sekitar yang sudah terkontaminasi oleh berbagai macam permainan.

“Usulan adik memang bagus tapi kalo mau beramal itu harus mempertimbangkan manfaat benda yang diberikan Nak.” jelasnya.

“Usulan kakak juga bagus tapi kalo mukena sudah ada di setiap masjid dan musala bahkan di pom bensin,.” tambahnya.

“Kalo buku untuk literasi itu masih jarang, padahal mereka sangat membutuhkan untuk mengalihkan kegiatan mereka yang tersita banyak untuk gawai dan mainan-mainan lain yang kurang bermanfaat.”paparnya.

“Oh begitu ya Mi?” jawab mereka serempak.

“Bagaimana masih ada pendapat?” tanya dia dengan lembut.

“Kalo begitu kami setuju Mi, iyakan Dik?” tanya si kakak.

“Setuju Mi, ada teman adik yang sudah pake kacamata karena keebanyakan bermain game online.” jawab si bungsu.

“Alhamdulillah, anak-anak umi memang sholih dan sholihah.” pujinya.

“Jadi kapan dong kalian mau membuka celengannya?” tanya dia.

“Sekarang saja Mi, kan besok bisa langsung di belanjakan.” jawab sang kakak.

“Iya Mi, kan dua hari lagi masuk bulan Puasa.” tandas si bungsu.

Akhirnya tekad yang kuat mewujudkan pebisnis online tersebut membelanjakan uang yang terkumpul dari kedua anak dan miliknya sendiri dalam bentuk buku cerita anak, ensiklopedia anak, buku religi, buku pengetahun umum dan rak yang dibutuhkan. Setiap satu minggu mereka merolling buku di setiap masjid dan mushola yang menjadi target. Tujuannya supaya pembaca tidak bosan dengan judul buku yang ada. Ternyata pengaruhnya sangat besar untuk masyarakat sekitar. Mulai dari orang tua yang bisanya hanya berbicara saat menunggu pengajian dimulai sekarang bisa sambil membaca buku. Belum lagi anak-anak yang setelah mengaji terbiasa bermain dan bergurau sekarang lebih memilih membaca. Tidak ketinggalan para pemuda dan ustadz-ustdzah pengajian yang ikut andil memanfaatkan bahan literasi tersebut.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *