Oleh: Adenar Dirham
Menjelang senja, langit nyaris gelap gulita. Ubun-ubunku terasa diremas dan entah mengapa seolah-olah ada yang mengoyak batinku saat kulihat seorang pemulung tua singgah di halaman gubuk sederhanaku ini.
Pemulung itu kuterka usianya tidak lebih dari 70 tahun, namun rupanya semangatnya masih membara mencari rombengan demi menyambung hidup. Bagiku, orang-orang seperti beliau tentulah teramat berjasa sebab turut melestarikan kebersihan lingkungan.
Namun, alangkah menyedihkannya, pemulung tua itu kumal, berpakaian compang-camping dan rambutnya acak-acakan. Wajahnya terlihat kusut lagi dibanjiri peluh. Tubuhnya seperti kebanyakan kakek-kakek pada umumnya. Tetapi, ada yang berbeda dari pemulung tua itu, yakni tubuhnya sangat kering kerontang, begitu membungkuk dan hitam legam. Untungnya ia masih sanggup bertahan demi menyelami kerasnya kehidupan.
Dari kantung matanya terlihat jelas ia kurang istirahat. Tetapi dari semua hal itu ada yang aneh, bagaimana mungkin ia dapat bertahan menjadi pemulung di kala usia senja? Mengapa dia tak lekas pensiun sebagai pemulung? Lalu, kemanakah anak dan cucu-cucunya?
Pertanyaan-pertanyaan itu benar-benar meruap dalam sanubariku. Bagiku, kini tidak ada yang lebih kuharapkan, kecuali kumandang azan magrib agar segera kuberi sepiring nasi untuk si kakek. Tetapi dalam benakku terbersit, apakah dia berpuasa?
Kuhampiri kakek itu dalam keadaan yang begitu ringkih. Dia timpang kakinya ketika melangkah. Aku menduga ia tunadaksa. Maka, sore itu aku merasa tercekat menyaksikan perjuangannya mengais sampah dengan tangan kosong.
Ya, aku menyadari sesungguhnya sampah adalah sumber penyakit dan kubayangkan setiap pemulung terancam bahaya. Namun, jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku menemukan seuntai doa kepada pemulung, semoga mereka tidak dihinggapi penyakit.
Tanpa basa-basi lagi, kusapa kakek dengan salam terlebih dahulu. Kakek itu lantas menoleh ke arahku. Dia menatapku dengan pandangan yang sangat tua. Kemudian, tiba-tiba ia bergumam. Entah kata apa yang tengah dikulumnya. Aku tak mengerti, benar-benar tak mengerti.
“Assalamu’alaikum, Kek,” begitulah salam yang kuulang. Namun, lagi-lagi dia tidak menjawab dan persis seperti tadi, menggumam.
“Jangan-jangan dia tunawicara,” batinku.
Lalu, sampai tiga kali memberi salam, tidak ada sahutan sama sekali dari lisan si kakek, meskipun ia menoleh dan memandang diriku. Berarti dugaanku benar, dia tak bisa bicara.
“Di sini, di tempat sampah ini, kurasakan udara dari sampah-sampah itu menguar, tentu saja tercium olehku pelbagai bau. Mulai dari bau: anyir, pesing dan hangus berkelindan dan menjadi makanan sehari-harimu. Tak tega rasanya hati ini harus merasakan betapa kerasnya hidup dan sukarnya engkau mendapat nasib yang mujur bertempat tinggal di kasur empuk, mempunyai barang antik, mobil mewah dan rumah yang elegan,” tuturku bak berpuisi pada si kakek.
Dengan bahasa isyarat, kakek itu menusukkan jari telunjuk kiri ke telapak tangan kanannya lalu digerak-gerakkanya telunjuknya itu dengan lincah. Aku menduga dia ingin menulis. Maka, bergegaslah aku ke rumah, membawa sebuah pena dan sehelai kertas. Lalu, kuberikan kepadanya.
Terkesiaplah aku, ia rupanya benar-benar menulis. Kutunggu sampai pena itu berhenti menari hingga muncul sebuah tulisan yang diberikannya untukku dan kubaca kira-kira bunyinya seperti ini.
“Nak, selagi bisa bernafas dan mencari sesuatu yang halal kenapa tidak dilakoni? Mengemis bukanlah pekerjaan hina, tetapi justru orang yang menyeringailah yang demikian. Ketahuilah, kakek tidak pernah gengsi. Badan kakek sejatinya ringkih, namun Allah-lah yang menguatkan.”
Kakek itu begitu tegar. Aku kagum pada dirinya. Kendatipun memiliki keterbatasan fisik, namun ia tetap mencari sesuatu yang halal. Tak disangka pula, ia pandai menulis. Semangatnya luar biasa, padahal di luar sana mungkin orang-orang berpikiran miring tentang kemampuan pemulung yang tak bisa menulis.
Ironisnya lagi, mereka beranggapan pemulung-pemulung kebanyakan mengambil barang bekas milik orang lain yang masih terpakai secara diam-diam dan sebagainya. Ya, kurang lebihnya begitu. Padahal, tidak semua pemulung berlaku demikian. Entah mengapa, mereka, termasuk sahabat-sahabatku kerap berpikiran begitu.
Andai semua manusia pernah menjadi pemulung, maka betapa nestapanya derita yang turut dirasakannya.
“Kek, kalau boleh tahu, dari mana Kakek belajar menulis?”
“Selepas memulung biasanya kakek mencoba belajar menulis dari beberapa helai koran bekas yang saban malam kakek baca,” begitulah tulisan yang dapat kubaca.
Aku terenyuh. Beberapa saat aku berbisik pada waktu dan kakek itu pun melanjutkan menulisnya.
“Nak, ketahuilah, kakek merupakan saksi sejarah. Saban hari tentunya kakek berkelana untuk mencari serpihan-serpihan yang kakek anggap berharga. Sembari mencari rombengan di tempat sampah, tentunya kakek pun bertandang ke setiap rumah untuk menanyakan apakah ada barang-barang bekas seperti koran, kardus atau besi untuk dibeli oleh kakek. Kadang tuan rumah pun mau berbaik hati memberikannya kepada kakek dengan cuma-cuma, tetapi terkadang pun dipatok dengan harga yang tak sebanding. Ya, begitulah suka dukanya menjadi seorang pemulung, Nak.”
Mendengar hal itu, batinku langsung tersayat-sayat. Nyaris saja air mataku tumpah ruah. Namun, pada akhirnya air mata itu pun tak lagi dapat kubendung.
Bertepatan dengan itu, azan magrib berkumandang. Bergegaslah kuajak kakek masuk ke dalam rumah. Ayah dan ibuku menyambut kami. Gerimis menjelma hujan yang merontokkan dedaunan. Burung-burung telah pergi dari dahan pohon.
Gerimis perih di mata ini yang turut membasahi sekujur pipiku mengalir ke palung kalbu. Sembari membaca bismillah, kutuntun kakek dengan perlahan-lahan.
Di gubuk sederhana inilah, kuhidangkan nasi goreng kesukaanku pada si kakek. Namun, terlebih dahulu kami menyantap aneka kue-kue, kurma dan segelas air hangat. Kakek itu makan begitu lahap. Rona di simpul bibirnya merekah. Pipi yang terlihat kempot dan garis-garis keriputnya mengingatkanku kepada kakekku yang telah lama berpulang. Bagiku, sosok tua renta di hadapanku ini tidak lain adalah patriot lingkungan.
“Wah, anakku sudah gemar berbagi,” goda ibuku.
“Tentu saja, siapa dulu, Ibunya,” sahutku.
Seusai berbuka, kami salat berjemaah. Seperti biasa, ayahku menjadi imam. Kakek, aku dan ibu menjadi makmum.
Aku dan kakek salat berdampingan. Dari degup napasnya, kudengar lantunan Surah Al-Fatihah begitu lirih dan syahdu. Kurasakan aroma jiwa yang terasa khidmat berpadu dengan makrifat-Nya.