Oleh: Vita Adiana
“Aduh, panas banget!” seru Biru setelah mendudukkan dirinya di sebelahku.
Aku yang saat itu sedang memasukkan buku-buku hasil donasi dari mahasiswa di fakultas kami ke dalam kardus pun menoleh padanya. “Ya minum aja, kan kamu nggak puasa. Tuh, minta si Rara aja.”
“Walaupun aku nggak ada kewajiban buat puasa, ya aku menghargai kalian yang berpuasa, lah! Mau ditaruh mana mukaku kalau aku minum di depan orang-orang berpuasa macem si Rara,” jawab Biru.
Aku tersenyum padanya, “Ya udah, ngadem aja di sekre. Tugas kamu udah selesai, kan?”
“Udah, sih. Tapi, nggak enak sama kalian masih pada ngerjain tugas, masa aku yang nggak puasa malah ngadem.”
“Biru, jangan menyiksa diri kamu sendiri. Sana istirahat, nanti aku panggil kalau ada yang butuh bantuan,” ujarku sambil menempelkan tape pada kardus yang telah terisi penuh dengan buku.
Biru menghela napas sebelum mengiyakan, “Oke, aku pindahin kardus kamu dulu, ya?”
Ia lekas mengangkat kardus berisi buku yang telah selesai aku tutup dan rapatkan, setelahnya ia menuruti saranku untuk beristirahat di ruang sekretariat organisasi kami.
Organisasi kami sedang mengadakan acara bakti sosial dalam rangka menyambut bulan Ramadhan. Kami mengumpulkan donasi barang-barang bekas yang masih layak pakai seperti pakaian dan buku, juga beberapa sembako yang nantinya akan kami serahkan kepada mereka yang membutuhkan. Dan sejak kegiatan ini dimulai pada pukul delapan pagi hingga sekarang sudah jam sudah menunjukkan pukul empat sore, aku belum melihat Biru minum atau makan sekalipun. Ia beberapa kali mengeluh karena suhu udara hari ini sangat panas namun ketika kusuruh dia minum atau beristirahat, ia hanya menjawab, “Nggak enak sama kalian yang puasa.” Dan aku salut padanya. Biru yang berbeda agama dengan sebagian besar dari kami memilih untuk menahan laparnya untuk menghargai kami yang sedang menjalankan ibadah puasa.
Kegiatan kami selesai satu jam sebelum waktu berbuka puasa dan aku memutuskan untuk mengajak Biru ‘ngabuburit’ bersamaku. Setelah selesai mengepak semua buku ke dalam kardus, aku segera menuju ke ruang sekre untuk mengambil tasku dan membangunkan Biru yang sedang tertidur pulas di depan sebuah kipas angin.
“Biru, bangun,” ucapku sambil menggerakkan lengannya.
“Ya, Saf?” jawabnya setelah membuka kedua matanya dan menghadap ke arahku.
“Ikut aku, yuk, ngabuburit,” ajakku tersenyum ke arahnya.
“Bentar, Saf, cuci muka dulu ya,” ujarnya sebelum beranjak untuk mencuci mukanya, lima menit kemudian ia sudah kembali dengan wajah yang terlihat lebih segar.
“Kita mau kemana, Saf? Naik mobil aku atau jalan aja?” tanya Biru saat kami sedang berjalan ke arah parkiran.
“Mm, jalan aja, gimana? Nanti selesai buka balik ke sini,”
“Ya udah, ayo. Kemana?”
Aku mengajak Biru membeli belasan gelas es buah yang setelahnya aku bagikan ke pada anak-anak di kampung yang terdekat dari kampus kami.
“Makasih, kak. Kakak cantik namanya siapa?” tanya seorang anak perempuan sambil menerima es buah dari Biru.
“Kakak cantik ini namanya Safir, dek,” jawab Biru dengan senyuman di wajahnya.
“Makasih, kak Safir!” ujarnya sebelum berlari untuk bergabung dengan teman-teman bermainnya.
“Kamu sering, Saf, bagi-bagi es buah gitu?” tanya Biru setelah menyebutkan pesanan untuk ia makan nanti kepada pelayan.
Aku yang awalnya sedang memainkan ponselku lantas mendongak menatapnya, “Oh, enggak. Kalau lagi ada uang aja.”
“Besok gitu lagi, yuk. Tapi pakai uang aku, gimana?”
Aku terkekeh, “Boleh.”
“Saf, makasih udah dibayarin makan tadi. Mau bareng nggak pulangnya?”
Aku memang membayar makanan Biru tadi, sebagai bentuk terima kasih atas toleransinya kepada kami yang sedang menunaikan ibadah puasa.
“Aku naik taksi online aja,” jawabku sembari bersiap memesan taksi online dengan ponselku.
“Uangnya ditabung aja, sekarang pulangnya bareng aku, gratis,” ujarnya sambil terkekeh.
Aku ikut tertawa dan menyetujuinya.
“Aduh, panas banget!” seru Biru setelah mendudukkan dirinya di sebelahku.
Aku yang saat itu sedang memasukkan buku-buku hasil donasi dari mahasiswa di fakultas kami ke dalam kardus pun menoleh padanya. “Ya minum aja, kan kamu nggak puasa. Tuh, minta si Rara aja.”
“Walaupun aku nggak ada kewajiban buat puasa, ya aku menghargai kalian yang berpuasa, lah! Mau ditaruh mana mukaku kalau aku minum di depan orang-orang berpuasa macem si Rara,” jawab Biru.
Aku tersenyum padanya, “Ya udah, ngadem aja di sekre. Tugas kamu udah selesai, kan?”
“Udah, sih. Tapi, nggak enak sama kalian masih pada ngerjain tugas, masa aku yang nggak puasa malah ngadem.”
“Biru, jangan menyiksa diri kamu sendiri. Sana istirahat, nanti aku panggil kalau ada yang butuh bantuan,” ujarku sambil menempelkan tape pada kardus yang telah terisi penuh dengan buku.
Biru menghela napas sebelum mengiyakan, “Oke, aku pindahin kardus kamu dulu, ya?”
Ia lekas mengangkat kardus berisi buku yang telah selesai aku tutup dan rapatkan, setelahnya ia menuruti saranku untuk beristirahat di ruang sekretariat organisasi kami.
Organisasi kami sedang mengadakan acara bakti sosial dalam rangka menyambut bulan Ramadhan. Kami mengumpulkan donasi barang-barang bekas yang masih layak pakai seperti pakaian dan buku, juga beberapa sembako yang nantinya akan kami serahkan kepada mereka yang membutuhkan. Dan sejak kegiatan ini dimulai pada pukul delapan pagi hingga sekarang sudah jam sudah menunjukkan pukul empat sore, aku belum melihat Biru minum atau makan sekalipun. Ia beberapa kali mengeluh karena suhu udara hari ini sangat panas namun ketika kusuruh dia minum atau beristirahat, ia hanya menjawab, “Nggak enak sama kalian yang puasa.” Dan aku salut padanya. Biru yang berbeda agama dengan sebagian besar dari kami memilih untuk menahan laparnya untuk menghargai kami yang sedang menjalankan ibadah puasa.
Kegiatan kami selesai satu jam sebelum waktu berbuka puasa dan aku memutuskan untuk mengajak Biru ‘ngabuburit’ bersamaku. Setelah selesai mengepak semua buku ke dalam kardus, aku segera menuju ke ruang sekre untuk mengambil tasku dan membangunkan Biru yang sedang tertidur pulas di depan sebuah kipas angin.
“Biru, bangun,” ucapku sambil menggerakkan lengannya.
“Ya, Saf?” jawabnya setelah membuka kedua matanya dan menghadap ke arahku.
“Ikut aku, yuk, ngabuburit,” ajakku tersenyum ke arahnya.
“Bentar, Saf, cuci muka dulu ya,” ujarnya sebelum beranjak untuk mencuci mukanya, lima menit kemudian ia sudah kembali dengan wajah yang terlihat lebih segar.
“Kita mau kemana, Saf? Naik mobil aku atau jalan aja?” tanya Biru saat kami sedang berjalan ke arah parkiran.
“Mm, jalan aja, gimana? Nanti selesai buka balik ke sini,”
“Ya udah, ayo. Kemana?”
Aku mengajak Biru membeli belasan gelas es buah yang setelahnya aku bagikan ke pada anak-anak di kampung yang terdekat dari kampus kami.
“Makasih, kak. Kakak cantik namanya siapa?” tanya seorang anak perempuan sambil menerima es buah dari Biru.
“Kakak cantik ini namanya Safir, dek,” jawab Biru dengan senyuman di wajahnya.
“Makasih, kak Safir!” ujarnya sebelum berlari untuk bergabung dengan teman-teman bermainnya.
“Kamu sering, Saf, bagi-bagi es buah gitu?” tanya Biru setelah menyebutkan pesanan untuk ia makan nanti kepada pelayan.
Aku yang awalnya sedang memainkan ponselku lantas mendongak menatapnya, “Oh, enggak. Kalau lagi ada uang aja.”
“Besok gitu lagi, yuk. Tapi pakai uang aku, gimana?”
Aku terkekeh, “Boleh.”
“Saf, makasih udah dibayarin makan tadi. Mau bareng nggak pulangnya?”
Aku memang membayar makanan Biru tadi, sebagai bentuk terima kasih atas toleransinya kepada kami yang sedang menunaikan ibadah puasa.
“Aku naik taksi online aja,” jawabku sembari bersiap memesan taksi online dengan ponselku.
“Uangnya ditabung aja, sekarang pulangnya bareng aku, gratis,” ujarnya sambil terkekeh.
Aku ikut tertawa dan menyetujuinya.