Oleh: Ali Fahri Arif
Di keheningan malam yang damai tepat waktu sepertiga malam, dengan air mata yang jatuh ke hamparan sajadah. Aku membisikan doa kepada-Nya agar dosa yang kupikul bertahun-tahun dapat terhapus. Malam ke dua puluh sembilan Ramadhan ini, aku meningkatkan lagi kualitas ibadahku karena Ramadhan akan meninggalkanku. Dan juga malam ini malam ganjil yang terakhir untuk memburu malam yang paling mulia, yaitu malam seribu bulan.
Sedih rasanya jika harus berpisah dengan tamu yang hanya datang sekali dalam setahun ini. Karena biasanya masjid akan menjadi ramai jika sudah memasuki bulan Ramadhan. Dari anak kecil, remaja sampai orang yang sudah berambut putih pun akan datang ke masjid untuk memenuhi saf-saf mesjid. Tapi sayangnya euforia ini biasanya hanya bertahan sampai malam ke sepuluh saja. Dan akan kembali ramai lagi menjelang penerimaan zakat di masjid.
Adzan subuh mulai terdengar oleh kedua telingaku. Tanda dua rakaat subuh akan dimulai. Dengan cepat aku mengganti pakaianku dengan pakaian yang terbaik dan memakai parfum sedikit.
“Nak, bangunkan adikmu untuk salat di masjid,” kata Umi meminta kepada ku.
“Iya umi, lagian kenapa juga Hasan habis sahur langsung tidur, kan bisa nunggu adzan.” Dengan nada agak sedikit kesal.
“Ya mana umi tau, sudah sana bangunkan dia.” Kata Umiku sambil menutup Alquran di tangannya.
“Iya umi, nanti aku bangunkan setelah mengambil air wudhu,” balasku ke Umi.
Setelah mengambil air wudhu yang lumayan dingin, aku pergi ke kamar adikku untuk membangunkannya. Walaupun adikku kalau waktu subuh agak sulit untuk dibangunkan, tapi aku tetap bangga kepadanya. Karena empat waktu salat yang lain dia jarang tertinggal takbiratul ihram. Dan juga umurnya yang baru enam tahun sudah bisa ikut salat berjamah di masjid, berbeda dengan teman seumurannya yang belum mengenal tentang salat.
Wajar saja, karena didikan orang tua kami yang sangat disiplin, apalagi dalam masalah agama. Saat aku kelas enam dibangku sekolah dasar saja, aku pernah dipukul oleh Abiku menggunakan rotan. Alasannya karena aku terlarut dengan game playstation baru saat itu, sehingga aku terlambat berangkat ke mesjid untuk melaksanakan salat ashar. Padahal saat pengambilan rapor di sekolah aku membuat Abiku bangga karena aku mendapatkan juara kelas. Tapi tetap saja, jika hal salat Abiku sangat tegas.
“San, bangun san, sudah adzan subuh nih,” kamu nanti dimarahin sama Abi loh.” Kataku sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
“Emmm, nanti saja, kak, aku masih mengantuk.” Kata Hasan dengan nada agak sedikit memelas.
“Aku tidak tanggung jawab yah,” kalau Abi nanti mengambil senjatanya buat hukum kamu.” Kataku dengan menakut-nakutinya.
“Iya kak, iya.” Nanti aku menyusul pakai sepeda.” Balas lagi sambil bangkit dari tidurnya.
“Ya sudah, awas saja kamu tidak kulihat di mesjid,” aku lapor ke Abi nanti. Dengan nada sedikit menakuti.
Biasanya saat bulan Ramdhan, masjid di kampungku, setiap harinya diisi ceramah yang dibawakan ustad setempat selepas salat subuh. Setelah berzikir, aku pindah di dekat tiang tengah agar dapat melihat ustadnya dengan jelas. Karena ustad Yadi Hidayat salah satu ustad favoritku. Subuh itu ustad Adi membawakan ceramah tentang mencintai saudara seiman. Kemudian aku dibuat termenung ketika beliau menyuruh kami untuk membuka surah Ali ‘Imran ayat sembilan puluh dua. Ternyata terjemahan dari surat yang dimaksud ustad tentang bagaimana kita jika kita ingin berinfak, maka berinfak lah dengan sesuatu yang terbaik.
“Ibu-ibu dan Bapak-bapak sekalian, sebelum Ramadhan tahun ini meninggalkan kita.” Perbanyaklah infak dan sedekah yang terbaik, karena infak dan sedekah yang antum keluarkan di bulan Ramadhan ini akan dilipat gandakan Allah.” Semoga dengan semua itu dosa-dosa kita yang seluas langit dan bumi juga dihapuskan dengan rahmat Allah yang lebih luas juga.”
Begitulah sang ustad, selalu meninggalkan semangat baru dalam berbuat kebaikan di setiap ceramah yang ia bawa. Dengan nasihat-nasihat yang disampaikan, jemaah seperti tersadar kesalahan-kesalahan yang dibuat.
Karena lusa sudah lebaran, hari ini aku berencena pergi ke Mall bersama Ayub dan Nauval untuk membeli baju muslim. Sebenarnya aku memiliki banyak baju muslim, tetapi sudah menjadi kebiasaanku saat mendekati hari raya selalu membeli baju baru. Bahkan orang tuaku juga sudah menasihatiku berkali-kali agar aku memakai baju yang masih layak.
Setelah salat Zuhur, aku menjemput Ayub dan Nauval di rumahnya. Mereka berdua adalah teman kecilku sekaligus tetangga terdekatku. Kami menggunakan sepeda motor menuju kota dibawah teriknya matahari sambil menahan rasa haus. Jarak rumahku menuju kota tidak telalu jauh tetapi juga tidak terlalu dekat. Saat berhenti di lampu merah, aku melihat seorang anak kecil yang mungkin baru duduk di bangku Sekolah Dasar sedang menjual korannya. Aku pikir dia tidak berpuasa, karena tidak mungkin anak seumurannya berpuasa dengan panas matahari sambil berjualan koran. Tapi saat kuperhatikan, dia menolak air mineral yang ditawarkan oleh temannya. Mungkin dia memang berpuasa hari ini pikirku. Tapi aku tidak terlau peduli, lampu hijau telah menyala, dan kami melanjutkan perjalanan kami.
Sesampainya di Mall, kami langsung menuju tempat penjualan baju muslim. Banyak sekali model baju muslim yang bagus. Apalagi baju lengan pendek berwarna biru dongker, aku seperti jatuh cinta kepada baju tersebut. Setelah melihat ukurannya yang ku rasa pas dengan badanku, tanpa pikir panjang aku langsung membelinya. Kebetulan juga hari ini ada diskon besar-besaran. Nauval kulihat dari tadi mencari celana jeans, sedangkan Ayub mencari kemeja lengan panjang.
“Ayo pulang, udah lemas aku berdiri mondar-mandir disini.” Gerutu Nauval
“Bentar lagi val, masih belum dapat aku ini kemejanya.” Balas Ayub sambil mencari kemeja yang ia maksud.
“Kamu lama betul nyarinya, nyari kemeja gitu aja lama.” Dengan sedikit nada tinggi
“Iya-iya val, aku kan cari kemeja yang kualitas bagus.” Makanya kamu bantu juga kalau mau cepat.” Membalas dengan nada tinggi pula.
“Sudah-sudah, rusak nanti puasamu berdua berdebat terus, kaya anak kecil saja kalian berdua.” Campurku untuk mendamaikan.
Setelah perdebatan Ayub dan Nauval selesai, kami langsung ke kasir untuk membayar belanjaan kami. Jam sudah menunjukan pukul tiga sore, dan sekitar setengah jam lagi adzan Ashar akan berkumandang. Di parkiran motor lantai dasar, kami berdiskusi ingin melaksanakan salat Ashar dimana. Nauval ingin salat Ashar di mesjid terbesar di kotaku, tetapi yang jadi masalahnya adalah jarak Mall ke mesjid yang dimaksud juga lumayan jauh. Sedangkan aku dan Ayub ingin salat Ashar disekitaran sini saja.
“Kita salat Asharnya di mesjid Islamic Centre saja yah,” bujuk Nauval.
“Kalau kesana terlalu jauh perginya, disini kan juga banyak mesjid kali,” jawabku sedikit mempertimbangkan keinginan Nauval.
“Gak tau tuh Nauval, bikin habis bensin aja,” pasti habis salat mau foto-foto.” Tambah Ayub menyudutkan Nauval.
“Iyalah, jarang-jarang kita salat disana.” Mumpung kita masih dikota ini.” Rayu Nauval lagi.
“Gak usah val, kita salat di mesjid sekitaran sini aja.” Gak tahan aku pergi jalan jauh lagi.” Pintaku ke Nauval
“Iya deh, iya, mengalah aja aku.” Akhirnya Nauval mengiyakan, walaupun sedikit kecewa.
Setelah kami diskusi, kami langsung bergegas ke mesjid. Walaupun mesjid yang kami singgahi ini tidak terlalu besar, tapi AC dan ambal yang empuk di mesjid ini membuat kami nyaman dan tidak ingin cepat pulang. Akhirnya kami berbaring sambil sibuk dengan handphone masing-masing selama tiga puluh menit. Tak terasa tiga puluh menit kami berada didalam mesjid, kami langsung bergegas pulang.
“Yampun, pakai tidur lagi,” bangun val.” Ayub membangunkan Nauval.
“Ganggu orang tidur aja heh,” dengan posisi tengkurap Nauval menjawab.
“Biar saja Yub, kita tinggal aja dia,” kamu pulang jalan kaki lho yah.” Tambahku dengan canda tawa.
Ketika di perjalanan pulang, aku tiba-tiba ingin membeli es campur dan ayam goreng. Jadi aku memberi isyarat kedua temanku agar menepi ke tepi jalan. Tetapi saat aku ingin menepi, mataku tiba-tiba saja terarah kepenjual koran yang aku lihat tadi siang di lampu merah duduk pinggir jalan dalam keadaan tertunduk dengan koran disampingnya dan sesekali menyeka air matanya. Spontan saja aku langsung menginjak rem motorku, dan menghampirinya karena aku ingin tahu kenapa dia bisa menangis. Saat aku menghampiri dan bertanya kepadanya, aku mendapati jawaban yang membuat kedua mataku basah dan meneteskan air mata.
“Dik, aku ingin membeli koranmu,” kataku sambil memegang pundaknya.
“Oh iya kak,” jawabnya dengan kaget dan buru-buru menghapus air matanya.
“Kamu kenapa menangis dek?” tanyaku penasaran.
“Gak kak, gak papa kok.” Jawabnya seperti menyembunyikan sesuatu.
“Ah…” aku gak yakin kamu tidak punya masalah, cerita aja. Insya Allah aku bantu”. Balasku mencoba meyakinkannya.
“Sebenarnya kak, aku ingin membelikan kakakku baju muslim baru.” Makanya aku menjual koran dari hari pertama puasa sampai hari ini, tapi uang yang kukumpulkan tidak cukup untuk membelikannya baju.” Dan lusa sudah lebaran, aku ingin sekali membalas budi kepada kakakku.” Aku bingung kak dengan cara apalagi aku harus mengumpulkan uang.”
Seketika aku teringat dengan ceramah Ustad tadi pagi tentang tidak sempurna kebaikan seseorang sebelum memberi barang yang ia cintai.
“Ya sudah, kamu tunggu disini dek,” menyuruh dia duduk menunggu.
“Mau kemana kak?” tanya kepadaku.
“Udah tunggu disini saja”, jawabku
Aku membawakan baju muslim yang kubeli tadi dan kuberikan kepada adik itu. Aku berpikir masih banyak orang lain yang membutuhkan ketimbang aku yang masih memiliki banyak baju yang bisa dipakai.
“Ini dek, ambil bajuku.” Katakan kepada kakakmu bahwa dia beruntung memiliki adik yang baik seperti kamu.” Kataku memuji adik itu.
“Serius kak?” alhamdulillah kak, terima kasih banyak. Semoga pahala selalu mengalir buat kakak.” Dengan tangis bahagia dia berterima kasih kepadaku.
“Iya dek, sama-sama.” Aku tersenyum kepadanya
Hari ini aku sangat bahagia karena bisa mengamalkan salah satu ayat Allah. Dan aku juga berterima kasih kepada Allah, karena Allah yang langsung menunjukanku jalan kebaikan.