Oleh: Nabila Nikmatul Laeli
3 Februari 2018 pukul 06:00 sang mentari perlahan terbit, sinarnya begitu menghangatkan menyilaukan pandangan mata Ibu Sri, cahaya keoren-orenan begitu indah, sang mentari kini mulai nampak dengan begitu teduhnya. Tepat di hari ini genap 10 tahun sudah suaminya berpulang mengahadap Sang Kholik. Kepergian dirinya membuat sebuah cerita kenangan yang sangat menyayat hati Ibu Sri. Tepat di hari Rabu, 3 Februari 2008 suami Ibu Sri meninggalkan dunia untuk selama-lamanya, meninggalkan empat buah hati, yang saat itu masih tergolong sangat membutuhkan sosok seorang Ayah dikehidupan dimasa mendatang.
Saat itu Ibu Sri baru berusia 35 tahun, ketika ia harus menghadapi kenyataan pahit mendiang suaminya yang meninggal di usia 45 karena penyakit gula yang Ia derita, atau yang lebih dikenal dengan istilah penyakit diabetes. Suami Ibu Sri mengidap penyakit diabetes sejak putri ke empatnya yang bernama Sri Mulya menginjak usia satu tahun atau sekitar tahun 2002.
Usia antara Ibu Sri dan Suaminya tergolong terpaut cukup jauh yakni selisih tujuh tahun. Pernikahan Ibu Sri dan Suaminya terjadi ditahun 1993, setahun setelah pernikahan dengan suaminya, ia mendapat seorang anak pertama berjenis kelamin laki-laki yang lahir pada tanggal 7 Januari 1994 yang diberi nama Lukman Sri Muchtar. Dia adalah seorang anak laki-laki yang sangat perperan sebagai kakak yang bijak yang selalu mengayomi ke tiga adik perempuanya.
Selang satu tahun kelahiran anak nya, Ibu Sri mengandung dan melahirkan anak keduanya yang berjenis kelamin perempuan yang diberi nama Sri Ayu Lestari. Mereka hanya berselisih usia satu tahun, itulah yang menjadikanya alasan mengapa Ibu Sri dan suaminya selalu mendandani mereka berdua layaknya bayi kembar. Suami ibu Sri bekerja sebagai sopir di rumah majikanya, karena Sumaninya hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dan Ibu Sri sendiri hanya tamatan Sekolah Dasar (SD).
Tepat di tahun 1999 Ibu Sri melahirkan seorang anak perempuan yang di beri nama Nabila Nikmatul Laeli sebuah nama istimewa yang tidak memakai marga Sri diantara ketiga anaknya yang lain. Menurutnya, nama Nabila di berikan karena pada saat itu, Suaminya ingin mendapati sesosok anak yang cerdas yang insyaallah diberi kenikmatan di malam hari. Nama anak ketiga dari Ibu Sri, merupakan nama yang dibuat oleh suaminya sendiri, sedangkan ketiga anak lainya merupakan pemberian nama dari Ibu Sri sendiri.
Kini hanya sebuah cerita lama yang bisa Ibu Sri ceritakan kepada anak-anaknya. Sebuah cerita tentang kenangan saat Ibu Sri bertemu pertama kali dengan suaminya, disaat Ibu Sri baru berusia 17 tahun. Namun, Suaminya telah melamarnya saat ia masih bekerja di kota Jakarta sebagai pengasuh bayi.
“Oh, iki toh sing jenenge, Wusri, Sri?” suami Ibu Sri memulai perbincangan.
“Nggih, nopo toh Mas, loh kok sampean kenal aku?? Ibu Sri merasa keheranan.
“Iki aku loh Sri, Mukhtarom kaka tingkatmu waktu SD, anake pak Tarmidzi. Umah ku yo cedak rumahmu kok” Ibu Sri hanya membalas dengan senyuman, dan mengiyakan yang di bicarakan suaminya.
Pekenalan singkat itu yang akhirnya menjadikan dirinya menikah dengan suaminya. Hidupnya merasa tercukupi karena suaminya memiliki sifat pekerja keras dan sangat sayang terhadap anak-anaknya. Air mata Ibu Sri mengalir, ketika Ia mengenang pengalaman-pengalaman manis seputar mendiang suaminya.
Semenjak kematian Suaminya, keadaan ekonomi Ibu Sri berubah, dalam hatinya Ibu Sri terus meneguhkan diri, mencoba meyakini bahwa dirinya bisa membesarkan ke empat anaknya seorang diri. Namun, hati kecil Ibu Sri terus bergejolak. Dalam benaknya, Ibu Sri terus memikirkan nasib ke empat anaknya yang masih sekolah, dengan biaya kebutuhan yang tinggi,
Dalam benak nya ia memikirkan “Apakah Ibu Sri bisa membesarkan ke empat anaknya hanya dalam balutan kasih sayang Ibu tanpa seorang Ayah, Apakah Ia akan sekuat itu”.
Ibu Sri membantin sedih dan terus berfikir, Ia sadar, Ia tak bisa seperti ini, berdiam diri hanya memikirkan nasib tanpa adanya usaha. Apa yang bisa Ia lakukan, agar Ia bisa membesarkan ke empat anaknya tanpa rasa kekurangan. Rumah yang Ia bangun bersama Suaminya memang tidak lah besar. Namun, Ia bersyukur setidaknya Ibu Sri masih mempunyai sebuah harapan dan tempat tinggal yang akan menjadikan sebuah harapan tersebut menjadi kenyataan. Meski kini harapan tersebut harus bisa dibangun seorang diri.
***
Cahaya Rembulan yang teduh kini menyinari kota Tegal tepat di Desa Jatilaba, tempat dimana Ibu Sri dan keempat anaknya tinggal. Kini Jam menunjukan waktu 2:00, dilihatnya satu persatu wajah anaknya yang masih tertidur dengan polosnya. Air mata Ibu Sri terus mengalir dari matanya, diusapnya air mata itu dengan kerudung hitam panjang yang melekat ditubuhnya, tak henti-hentinya Ia berdoa kepada allah memohon agar dirinya selalu di berikan kesehatan oleh Allah, sehingga Ia dapat membesakan ke empat anaknya. Sejak mendiang suamniya meninggal, sempat terlintas di fikiran Ibu Sri untuk memilih menikah lagi agar ke empat anaknya dapat hidup berkecukupan. Namun, fikiran itu ditepiskan oleh Ibu Sri mengingat cinta mendiang Suaminya yang begitu besar, dan Ia tak tega terhadap anaknya bila Ibu Sri harus menikah untuk yang ke dua kalinya.
Dalam sujud solat seprtiga malam itu, Ia terus menangis, dalam doanya Ia menengadahkan tanganya ke atas agar segera diberi petunjuk, jalan apa yang baiknya dilakukan ibu Sri. Ia bermunajat kepada Allah memohon petunjuk dan langkah apa yang harus dilakukan agar Ia dapat menghidupi keluarga kecilnya.
“Berjualan” Tiba-tiba hati Ibu Sri mengatakanya seolah mendapatkan jawaban dari doanya.
“Ya, berjualan, aku punya bakat membuat kue, dan memasak” lagi- lagi fikiran itu meyakini hati Ibu Sri
“Aku yakin, aku bisa, ini semua demi anakku .” Ibu Sri mencoba meyakinkan dirinya sendiri pada malam itu.
***
Tepat pada tanggal 10 April 2008, yaitu hari ke 40 setelah hari kematian mendiang Suaminya, Ibu Sri mulai mencoba peruntunganya sebagai penjual aneka kue dengan harga Rp.500an,- dari pukul 04.30 subuh sampai pukul 08.00, Ia menjajakan daganganya di tepi jalan, tanpa rasa lelah, Ia terus menawarkan barang daganganya kepada para pembeli dengan dibantu ke empat anaknya sebelum mereka berangkat ke Sekolah,
Ternyata jerih payah yang dilakukan Ibu Sri tak sebanding dengan pendapatanya. Penghasilan yang diperoleh Ibu Sri tak cukup untuk membiayai ke empat anaknya, membayar uang sekolah saja Ibu Sri harus berhutang. Ibu Sri kembali berfikir, Ia tak bisa seperti ini, dan akhirnya Ia memutuskan untuk beralih profesi menjadi penjual nasi dan lauk di pagi hari. Modal pertama yang Ibu Sri sebagai awal usahanya berjualan nasi didapatkan dengan cara berhutang kepada saudaranya sebesar Rp.300.000,-
“Bu, Aku mau berangkat ke sekolah dulu”. Sapaan Mulya, membuat lamunan tentang cerita masa lalu Ibu Sri buyar.
“Iya nduk, hati-hati, ini uang sakunya, belajar yang rajin biar bisa banggain ibu”. Ibu Sri memberi pesan kepada anaknya, sembari nyodorkan tanganya.
“Ia bu, Mulya pamit, Assalm’ualikum”. Mulya mencium tangan Ibunya.
“Waalikumussalam”. Ibu Sri tersenyum, sambil menatap harap mulya dari kejauhan
Dalam hatinya Ibu Sri bersyukur memiliki empat orang anak yang begitu mengerti tentang keadaanya, mereka mau membantu berjualan tanpa ada rasa malu sedikitpun, mereka tak pernah mengeluh, seolah apa yang telah diberikan Ibu Sri untuk keempat anaknya sangat memuaskan. Tak terasa semenjak kejadian 10 tahun yang lalu, kini Ibu Sri mampu merawat dan membesarkan anaknya dengan penuh tanggung jawab yang luar biasa, Ibu Sri bahkan tidak pernah menyangka bila ke empat anaknya kini sudah mulai tumbuh menjadi seorang anak yang sudah di katakan dewasa.
***
Ke empat anak Ibu Sri sampai saat ini masih melanjutkan pendidikan. Anak pertama Ibu Sri bekerja disalah satu kantor swasta yang terdapat di Jakarta, dan sekarang masih berkuliah di Bina Sarana Informatika (BSI), jurusan perpajakan, semester enam. Setiap bulan Lukman mengirim uang kepada Ibu Sri di kampung untuk tambahan biaya hidupnya dan juga adiknya. Lukman tak pernah meminta uang kepada Ibu Sri, bahkan biaya semester untuk kuliah ditanggung oleh dirinya sendiri dengan cara bekerja.
Pernah pada waktu itu, Lukman mendapat tawaran menerima beasiswa untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri yang terdapat di kota Semarang dari sekolahnya. karena pada waktu itu Ia berhasil menjadi peringkat terbaik dalam wisuda yang diadakan oleh Sekolahnya,
“Peringkat pertama lulusan terbaik dalam program IPA, diberikan kepada Lukman Sri Muchtar” segera Lukman menjemput Ibunya,seketika itu Ia tak kuasa menahan tangis haru karena bangga menyaksikan putra pertamanya tumbuh dengan hebat.
Sejak diumumkanya menjadi predikat terbaik, masalahpun datang Lukman tidak bersedia menerima beasiswa untuk melanjutkan Pendidikan Perguruan Tinggi Negeri, alasanya karena lukman melihat kondisi ekonomi Ibu Sri yang terbilang tidak memungkinkan.
“Ibu, maafkan lukman, aku tidak bisa menerima beasiswa itu, aku tak tega bila Ibu harus berhutang lagi untuk biaya hidupku di Semarang nanti. Aku tak mau merepotkanmu lagi, Bu.” Lukman memeberi alasan dengan suara lirih mata berbinar hendak menangis
“Apa yang kau katakan nak, Ibu masih sanggup membiayaimu, Ibu akan berjuang dengan cara apapun agar kamu tetep melanjutkan pendidikanmu” Ibu Sri mencoba meyakinkan
“Tidak Bu, aku adalah anak pertama aku yang seharusnya menjadi tulang punggung untuk Ibu dan adek. Ibu tak perlu cemas, aku pasti bisa melanjutkan pendidikanku tapi tidak untuk saat ini, Aku yakin Allah pasti akan mengizinkan, ingat Bu Allah bersama kita” Lukaman tegas pada pendirianya, namun dalam hati kecilnya Ia ingin sekali mengambil beasiswa itu. Namun, semua niatan itu diurungkanya.
“Kalau itu memang kehendakmu, Ibu hanya bisa mendoakan dirimu, agar kelak Allah memudahkan segala urusanmu dan mensukseskan dirimu” Ibu Sri menangis mendengar jawaban langsung dari anaknya, Ia tak menyangka anak pertama sangat memikirkan dirinya, dipeluk erat tubuh Lukman oleh Ibu Sri.
Anak ke dua Ibu Sri juga berhasil mendapatkan beasiswa dari program Bidik Misi melalui jalur Seleksi Bersama Mandiri Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) yang diadakan oleh pihak sekolahnya. Kini Ayu telah menamatkan pendidikan di Universitas Negeri Semarang (UNNES) dengan program jurusan Sastra Indonesia pada tanggal 26 Oktober 2016, lulus tepat waktu dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) Comlude. Ibu Sri bahagia luar biasa pada saat itu. Meskipun untuk menghadiri acara wisuda Ibu Sri terpaksa harus berhutang lagi kepada sudaranya.
Sedang anak ketiga Ibu Sri sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam negeri Walisongo Semarang, melalui jalur seleksi Ujian Mandiri Perguruan Tinggi Islam Negeri (UM-PTKIN) program jurusan Komunikasi Penyiran Islam sekarang menginjak semester dua. Ia juga sempat mengikuti program Bidik misi, namun harus mengalami kenyataan pahit ketika dirinya di nyatakan gagal di tahap terakhir yaitu tahapan wawancara dalam pemerimaan bidik misi yang diadakan di Universitasnya. Sempat anak ketiga Ibu Sri ini mengalami kebingungan, dimana Ia harus memilih antara melanjutkan pendidikan atau berheti karena tak kuat membayar uang semesteran yang terbilang tidak sedikit. Ia tahu betul Ibu Sri tidak akan sanggup membayarnya.
Namun kala itu Ia memberanikan diri menelepon Ibu Sri, dengan suara lirih Ia berkata.
“Ibu, maafkan aku, Nabila tidak lolos dalam penerimaan bidikmisi tahap ke tiga”. Terdengar betul suaranya menampakan kesedihan, Ia menangis, harapan satu-satunya yang Ia bangun dari semenjak masuk SMA harus terputus ditengah jalan, tahapan akhir itu memebuat Ia kecewa, dan terus memikkirkan nasib Ibunya.
“lanjutkan penidikanmu Nak, biar Ibu yang memikirkan bagaimana cara membayar uang semestermu untuk yang pertama. Ibu tidak ingin Kamu bersedih, mungkin itu bukan rezeki kita, Allah telah menunjukan jawabanya.” Mencoba menenangkan.
Ia menangis mendengar jawaban Ibu Sri, hati Nabila tersayat bagai sembilu, bagaimana bisa Ia besedia melajutkan pendidiakanya, sedangkan Ibu Sri hanya seorang pedagang nasi yang penghasilanya terbilang hanya cukup untuk makan sehari-hari, Ia tak tega bila ibunya harus berhutang kepada saudaranya lagi, agar Ia bisa melanjutkan pendidikan.
“Nabila jangan sedih, sekolah yang rajin, rezeki bisa dicari, Ibu akan berusaha, kita punya Allah, yang selalu siap membantu kita. Nabila baik-baik disana, jangan lupa mengaji untuk bapak, dan solat tepat waktu” Ibu mencoba menenangkan
Akhirnya Ibu Sri memutuskan berhutang kepada saudaranya untuk membayar uang pertama yang harus dibayarkan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri itu. Hati kecil Nabila terus menolak, namun Ibu Sri tetap pada pendirianya, Ia harus menyekolahkan ke empat anaknya, meski itu harus dilalui dengan cara berhutang. Baginya pendidikan adalah yang terpenting, karena tidak ada batasan untuk menuntut ilmu, Ia tidak ingin bila suatu hari anaknya harus menanggung nasib yang sama bekerja sebagai pembantu di rumah majikanya. Ia sungguh tak tega jika melihat anaknya harus hidup dalam kesusahan.
Anak ke empat Ibu Sri masih duduk dibangku sekolah Menengah Atas (SMA), tepatnya di SMA Negeri 1 Pagerbarang. Anak keempat dari Ibu Sri ini tergolong pintar, Mulya selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Tak heran jika Mulya disegani banyak teman di sekolahnya karena kepintaranya. Semenjak ketiga anak Ibu Sri tinggal di kota orang untuk menempuh pendidikan. Ibu Sri sekarang hanya tinggal berdua bersama anak terakhirnya.
Hampir setiap hari Mulya membantu ibunya berjualan, Ia terlahir dari keluarga yang tidak berkecukupan. Namun, dengan semua itu tak membuat dirinya merasa tak percaya diri dan patah semangat. Ia bangun pada jam 04.00. setelah melakukan solat, mulya dengan sigap membantu ibunya berjualan , melayani setiap pembeli. Baginya hal tersebut adalah kewajiban, sebagai bakti atas apa yang ibu lakukan terhadapnya.
Penjualan yang dilakukan Ibu Sri sebelum ramai pengunjung juga memiliki problematika tersendiri. Dimana saat pertama kali Ibu Sri berjualan, masakanya tidak selalu habis bahkan hal itu pula yang menyebabkan kerugian. Untuk mengatasi kerugianya tersebut biasanya Ibu Sri harus berhutang kembali. Kini hutang Ibu Sri semakin banyak dan menumpuk.
”Hidup untuk berjuang dan terus semangat”. Ibu Sri membatin
Prinsip inilah yang Ibu Sri ajarkan kepada keempat anaknya. Agar selalu berjuang dalam segala hal tanpa pernah mengeluh, tetap bersemangat menjalani aktifitas dengan penuh keyakinan bahwa semua yang ia jalankan insyaallah akan di restui oleh allah jika kita niatkan dengan ikhlas.
“Meskipun saya sudah tidak memiliki seorang suami, saya akan terus berjuang menyekolahkan ke empat anak saya, jika kita berjuang pasti Allah akan memberkan jalan. Jika niattan kita baik maka akan dapatkan hasil yang baik pula. Dan jika kalian memiliki masalah dalam hidup kalian jangan hanya diam terpaku dan memikirkan, serahkan saja semua pada Allah melaui doa, dan selebihnya kita harus usaha dan berjuang untuk mendapatkanya” lagi-lagi ibu Sri menyemangati dirinya, mencoba menenangkan karena hutang yang semakin banyak.
***
Tanggal 3 februari 2017 tak terasa Ibu Sri telah berjualan selama 10 tahun, sejak itu pula Ia tak pernah melupakan berkah sang fitri pada bulan Ramadhan. Karena jika bulan Ramadhan tiba, dagangan yang dijual oleh Ibu Sri laris tak tersisa. Ibu Sri berjualan lauk untuk saur, dan pada sore harinya berjualan takjil untuk berbuka puasa. Tak lupa Ia selalu membagikan bubur kepada para pembeli secara gratis setiap hari jumat dibulan Ramadhan.
“Bu, Sri ini bayar buburnya” salah satu pembeli yang menggendong bayi menyodorkan uang kepada Ibu Sri.
“tidak usah dibayar, Aku ikhlas” Ibu Sri menjawab pertanyaan sambil tersenyum ramah. Mengingatkan kembali bahwa apa yang dilakukan semata-mata hanya untuk Allah.
“Terimakasih bu Sri” membalas dengan senyum ramah
Berkah dibulan Ramadhan dirasa menjadi berkah yang luar biasa bagi Ibu Sri, terutama pada hari jumat, pembeli berbondong-bondong datang ke warung Ibu Sri, hanya sekedar ingin menerima bubur gratis yang dibagikan, atau sekedar mampir dan membeli takjil buatan Ibu Sri, berkah sang fitri pun turut menyertai keempat anaknya, mereka pulang kerumah dengan sumringah, karena sang fitri menjadi momen istimewa bagi keluarga Ibu Sri untuk berkumpul bersama keluarga kecilnya, Dan momen tersebut selalu terjadi setiap tahunya dibulan Ramadhan. Berkah sang fitri terus mengalir pada Ibu Sri, sepuluh tahun berlalu seakan-akan tak hentinya Allah menganugrahkan nikmat bagi keluarga kecilnya. Dari mulai tawaan pesanan kue takjil, kue lebaran, kue oleh-oleh khas Tegal, pesanan masakan warung yang dipesan oleh tetangganya dianggapnya menjadi berkah, Ada juga pesanan yang jauh dari luar kota. Namun dengan sigap anak pertama Ibu Sri mengantarkan pesananya.
Kini berkah sang Fitri itu semakin nyata, dan mulai nampak setiap tahunya, terbukti dengan anak-anaknya yang sudah lulus dan kini sibuk bekerja. Gaji pertama yang diperoleh anaknya digunakan untuk membeli mesin cuci untuk Ibunya, dan sebagian gajinya digunakan untuk menyicil rumah yang layak untuk diberikan kepada Ibunya. Bagi anaknya semuanya itu adalah berkah yang luar biasa yang layak Ibu Sri terima, karena berkat perjuangan Ibu Sri yang tak pernah lelah mengajarkan arti perjuangan, belajar Ikhlas, tegas, tegar, dan menerima kondisi apapun tanpa ada rasa putus asa, bersikap bijak, mendidik anaknya dengan penuh tanggung jawab, berperan ganda menjadi seorang ayah yang bekerja keras sebagai tulang punggung keluarga demi anaknya, itu patut diapresiasi sebagai bentuk balas budi anak terhadap Ibunya.
Hutang kepada saudaranya dari tahun ke tahun, sedikit demi sedikit telah terlunasi oleh jerih payah tangan Ibu Sri sendiri yang terus berusaha berjualan selama sepuluh tahun, sekarang Ia juga bisa menabung dan menyisihkan sebagian tabunganya untuk keperluan biaya pendidikan anaknya yang terakhir, yang sebentar lagi akan masuk ke perguruan tinggi. Ia juga tak lupa mengajarkan kepadaa anaknya untuk bersedekah kepada sesama.
Setiap tahun ketika bulan Ramadhan tiba Ia selalu menerapkan prinsip pada usahanya yang diberi nama “jumat berbagi” usaha yang awalnya diperintis dan dibangun sejak sepeninggal mendiang suaminya, dan kini usahanya semakin berkembang dari tahun-ketahun dan mulai dikenal oleh banyak orang dengan sebutan “Warung Bu Sri”
Kini berkah Ramadhan semakin lengkap dirasakan oleh Ibu Sri, keempat anaknya sudah tumbuh dewasa, Ia jug berhasil menyekolahkan ke empat anaknya melalui kerja keras dengan tanganya sendiri. Bagi Ibu Sri, itu semua adalah karunia yang akan selalu Ia syukuri. Baginya, tak ada sesuatu yang tidak mungkin kita capai, jika seorang hambanya masih bertekad untuk berjuang, maka Allah akan memberikan jalan yang luar biasa hebatnya.
Kini Berkah sang fitri hadir dalam keluarga Ibu Sri
Sang fitri hadir mewarnai bumi pertiwi.
Dilihatnya hilal menampakan cahaya kesucian
Sebagai bentuk pengabdian
Terang- benderang, bagai ilham yang menyejukan
Sang fitri hadir dengan damainya
Membawa seluruh umat dalam suasana teduhnya,
Membawa berkah luar biasa bagi umat yang merayakan.
Menghadiahkan sebongkah rezeki, bagi mereka yang mau memberi
Mengadiahkan sebuah Mimpi, bagi mereka yang berani
Menghadiahkan sebuah karunia, bagi mereka yang berusaha
Kini hadirmu membawa sejuta harapan
Saling beradu dalam kebaikan
Berlomba mencapi kemenangan
Tanpa kenal lelah, aku terus memikirkan
Wahai engkau jiwa sang pencipta diri
Allah huu Rabbi yaa Allah.