Cahaya di Balik Koko

Oleh: Mela Listi Rohmawati

“Bu, sarapannya mana?” bentak Rendy.

“Hari ini ‘kan puasa. Ya nggak ada sarapan.” Bijak ibu.

Dengan wajah penuh kekesalan, Rendy pergi meninggalkan ibu yang sedang asyik menyapu.

“Ya Allah, tunjukanlah jalan lurus untuk anakku, Rendy..” gumam ibu.

Bulan Ramadhan, bulan yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh umat Islam. Bulan di mana pintu ampunan dibuka selebar-lebarnya.

Udara yang sejuk di fajar yang sunyi telah membangunkan keluarga bahagia di sudut desa. Rendy masih terlelap dalam tidur panjangnya. Sementara adik kecilnya asyik membantu ibu menyiapkan menu sahur di dapur.

“Adek, bangunin kakak gih di kamarnya.” Perintah ibu.

“Siap !!!”

Suara pintu yang terus menerus diketuk oleh tangan mungil adik kecilnya telah mengganggu mimpi indah Rendy. Tak sabar dengan sang kakak, adik kecilnya pun mendobrak pintu kamar Rendy.

“Kakak, kakak, ayo bangun. Ayo kita sahur.” Teriak adik sambil meloncat-loncat di atas kasur Rendy.

“Ih, berisik. Bisa diem nggak sih? Masih ngantuk nih.”

“Kakak nggak sahur? Nanti kakak bisa lemes lho.”

Melihat sang kakak yang tak merespon apapun, adik kecilnya langsung menarik tangan Rendy dan dibawanya ke meja makan. Di sana telah siap menu sahur yang sederhana namun rasa kekeluargaannya masih kental terasa.

“Rendy, ayo dong dimakan.” Ucap ayah.

“Masih ngantuk yah.” Jawab Rendy dengan mata yang hampir tak bisa dibuka.

Dengan terus dipaksa, akhirnya Rendy mau makan juga.

Jam menunjukkan pukul 07.30 pagi. Rendy pun bangun dari tidurnya. Tampaknya Rendy mulai merasa lapar. Ia berjalan menuju kulkas dan dibukalah pintu itu. Dan yang terjadi …

“KOSONG ? Ibu, ibu …” teriak Rendy.

“Ada apa sih Rendy?” tanya ibu.

“Kok kulkasnya kosong. Aku lapar bu.”

“Kamu lupa, kamu ‘kan puasa.”

Mendengar hal itu, Rendy baru teringat bahwa dia tengah puasa. Rendy pun terduduk lemas di sofa depan televisi. Detik demi detik terus berjalan. Rendy yang sedari tadi duduk dengan tubuh tanpa daya terus melihat ke arah jam dinding yang saat itu menunjukkan pukul 12.30.

“Rendy, kamu ngapain nak? Daripada kamu diam nggak jelas kayak gitu, lebih baik kamu sholat dhuhur terus baca al-quran. ‘Kan lebih ada manfaatnya.” Jelas ayah yang mulai batuk-batuk karena usia yang sudah tak lagi muda.

“Ayah tahu apa sih? Ayah tuh sudah tua, sakit-sakitan. Mendingan ayah aja yang sholat. Bisanya cuma nyuruh aja.” Bentak Rendy kesal dan meninggalkan ayah.

“Astaugfirullahal’adzim. Ampuni anak hamba Ya Allah.”

Allahu akbar…Allahu akbar…

“Alhamdulillah, puasa hari ini lancar ya bu, yah.” Ucap Lila, adik kecil Rendy.

“Iya, besok adik puasa lagi ‘kan?”

“Iya dong. Adik mau puasa 30 hari full.” Kata Lila dengan ceria.

“Besok aku nggak puasa. Capek, lapar tau. Gara-gara bulan puasa, aku jadi nggak bisa makan-makan sama temen-temenku. Semua warung, rumah makan, bahkan tempat wisata pun ditutup. Nggak asyik banget.” Sahut Rendy dengan wajah muram.

“Kamu nggak boleh gitu. Anak laki-laki itu harus puasa. Apalagi yang sudah baligh sepertimu hukumnya wajib, Rendy.” Jelas ayah.

“Halah, pokoknya besok aku tetep nggak mau puasa.” Kukuh Rendy.

Melihat situasi seperti ini, ayah dan ibu Rendy merasa bimbang dengan kelakuan anak laki-lakinya yang telah berubah semenjak bergaul dengan teman yang salah.

“Bu, bagaimana dengan anak kita, Rendy? Akhir-akhir ini dia sering marah-marah bahkan dia juga sering membentak kita. Padahal, dulu dia sangat sholeh dan penurut. Apa karena teman-temannya?”

“Ibu rasa juga begitu yah. Yang terpenting sekarang kita benahi lagi Rendy. Kita didik lagi dia seperti dulu.”

“Iya bu. Tapi ayah tak bisa sepenuhnya mendidik Rendy seperti dulu karena sekarang ayah sudah sakit-sakitan.” Keluh ayah.

“Ayah jangan begitu. Ayah pasti sembuh. Percayalah. Ayah harus optimis.” Ucap ibu yakin.

Sahur … sahur … sahur … sahur … terdengar suara anak desa yang berkeliling sambil memukul kentongan untuk membangunkan warga agar menyiapkan makan sahur. Kali ini, ibu sengaja tak membangunkan Rendy karena takut dia akan berbuat yang lebih nekat lagi.

“Bu, adik mau bangunin kakak ya.”

“Jangan, nanti biar kakak bangun sendiri.” Larang ibu.

Semenjak sahur sampai pagi datang, ibu hampir tak beranjak dari tempat duduknya dan tak melihat apapun selain pintu kamar Rendy yang tertutup rapat. Ibu curiga, jika terjadi apa-apa dengan Rendy di dalam. Ibu pun mendobrak pintu kamar Rendy.

“Rendy, di mana Rendy?” tanyak ibu panik.

Ibu tak melihat Rendy. Namun ia menemukan secarik kertas di atas meja belajar Rendy. Kertas itu bertuliskan JANGAN CARI RENDY KARENA RENDY PASTI KEMBALI. Ibu jadi tambah panik dan gelisah.

“Ayah, Rendy yah.” Ucap ibu panik.

“Rendy kenapa?” tanya ayah.

“Rendy kabur yah.”

“Apa? Kabur?” ayah makin terkejut mendengar hai itu. Ia syok dan makin keras batuk-batuknya.

Satu minggu lamanya. Rendy tak memberi kabar apa pun kepada ayah dan ibunya. Mereka menjadi tambah panik.

“Bu, bagaimana ini? Rendy tak ada kabarnya. Ayah khawatir.”

“Iya yah, ibu juga khawatir. Yang penting sekarang kita berdoa saja supaya tidak terjadi apa-apa dengan Rendy.”

“Ayah, ayah, uhuk… uhuk …”

Batuk ayah makin parah dan mengeluarkan darah merah yang pekat.

“Ayah, darah yah. Sekarang kita ke puskesmas ya yah.” Ajak ibu.

Dengan kendaraan seadanya, ayah dibawa ke puskesmas. Dokter mengatakan penyakit yang diderita ayah sudah akut dan harus segeri diobati dengan dirawat di rumah sakit. Tak mau terjadi apa-apa dengan ayah, ibu mengiyakan saja apa kata dokter.

Kini rumah yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan itu berubah jadi rumah kosong tanpa penghuni. Rendy yang kabur dari rumah, ayah yang dirawat di rumah sakit, dan ibu dan Lila yang juga harus ikut menemani ayah di rumah sakit. Bulan Ramadhan yang harusnya penuh dengan keberkahan dan kebahagiaan itu kini tak seindah dengan apa yang dibayangkan.

“Bu, ayah kapan bisa pulang?” tanya Lila.

“Secepatnya dek. Kalo kakak sudah pulang, pasti kita pulang juga pulang ke rumah.” Jawab ibu dengan isak tangis.

Hari demi hari berlalu dengan cepat. Tak terasa bulan Ramadhan akan segera berakhir.

“Bu, ayah ingin ketemu Rendy.” Pinta ayah.

“Iya yah. Rendy pasti pulang.”

Lama tak ada kabar, Rendy pulang ke rumah dengan pakaian yang tak biasanya. Dia tampak lebih rapi dengan rambut yang dipotongnya. Ketika sampai rumah, Rendy tak mendapati kedua orang tuanya dan adik kecilnya di rumah. Dia pun bertanya pada tetangga sekitar. Akhirnya dia mendapat informasi bahwa ayahnya sakit parah dan sekarang dirawat di rumah sakit. Ia pun terkejut dan langsung menuju rumah sakit untuk melihat kondisi ayahnya.

“Ayah,” ucap Rendy pelan.

Ia mendapati ayahnya sedang terbaring sakit di atas ranjang. Namun suasana saat itu sedikit berbeda dengan biasanya. Adiknya, Lila yang biasanya langsung memeluknya kini tak ia dapati lagi.

“Ada apa dengan semua ini?” gumam Rendy.

Tak ada senyum yang merekah di bibir mereka. Seperti yang pernah dibayangkan oleh Rendy sebelumnya, ketika Rendy pulang, ibu, ayah, dan Lila akan menyambut bahagia dirinya. Namun tidak pada kenyataannya.

“Ibu, mengapa semua diam? Ayah tidak apa-apa ‘kan? Ayah akan sembuh ‘kan?” ucapku bertanya-tanya dalam hati.

“Ayahmu sudah tiada.” Jawab ibu dengan meneteskan air mata.

Rendy tersentak kaget mendengar hal itu. Ia hampir tak bisa menerima semua ini. Bukan karena pa, tapi karena ia belum sempat meminta maaf atas apa yang pernah dilakukannya. Rendy kini menyesali perbuatannya.

“Ayah, maafkan Rendy. Rendy kabur dari rumah dan sempat membuat ayah khawatir. Maafkan Rendy, yah. Rendy melakukan semua ini karena Rendy ingin merubah sikap Rendy yang nakal ini.” Ucap Rendy penuh isak tangis dan sesal.

Sinar matahari yang bersinar terang menerangi seluruh kehidupan di bumi. Namun sinar di rumah Rendy kini tak ada lagi setelah ayahnya pergi untuk selamanya. Rendy hanya bisa berdiam diri menyesali perbuatannya.

“Rendy, sebelum ayahmu pergi, dia sempat membelikan ini untukmu.” Ucap ibu sambil menyerahkan sebuah bingkisan kepada Rendy.

“Apa ini bu?”

Rendy membuka bingkisan itu dan

“Baju koko?”

Baju koko putih bersih yang Rendy dapatkan.

“Ayahmu ingin sekali kamu memakai baju koko itu di hari raya Idul Fitri nanti.” Kata ibu terharu.

“Iya bu. Rendy akan memakainya di hari raya Idul Fitri nanti.” Janji Rendy. Baju koko itu kini terpajang rapi di kamar Rendy.

Kumandang takbir menggema di tiap-tiap masjid. Menandakan Idu Fitri telah tiba dan shalat Idul Fitri akan segera dimulai. Rendy mengenakan baju koko putih pemberian dari ayah tercinta.

“Wow, kakakku ganteng ya. Kayak ayah.” Ceplos Lila.

“Iya. Kakakmu persis seperti ayahmu.”

“Bu, Rendy sekarang jadi pengganti ayah. Menjadi imam di keluarga ini. Maafkan kesalahan Rendy bu, Rendy janji akan jadi anak sholeh seperti yang ayah dan ibu inginkan.” Janji Rendy.

“Iya Rendy, ibu sudah maafkan. Ibu percaya dan kamu harus tepati janjimu itu.”

“Siap !!!” jawab Rendy penuh semangat.

“Ayo kita nanti terlambat ke masjidnya.” Sahut Lila yang mulai rewel.

Mereka pun berangkat ke masjid bersama-sama dengan penuh kebahagiaan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *