Nah, gengs, kali ini kita coba bahas mengenai beberapa hal yang umum dan barangkali bisa dijadikan bahan evaluasi dari penulisan cerpen kemarin ya. Yuk kita simak satu per satu;
1. Kesesuaian dengan Tema
Hal yang menjadi masalah bagi beberapa peserta kemarin yaitu ketidaksesuaian dengan tema lomba. Seperti yang kita ketahui, bahwa tema lomba menulis cerpen ini adalah “Bederma di Bulan Penuh Berkah”. Nah, ada dua kata kunci di sini, yaitu ‘bederma’ dan ‘bulan penuh berkah (Ramadan)’. Jadi dalam penulisan naskah cerpen haruslah kedua hal tersebut dijadikan inti dari cerita.
Tak sedikit dari para peserta yang hanya bercerita tentang hingar bingarnya Ramadan, tapi tidak sedikit pun membahas tentang bederma. Ada juga yang sebaliknya, menceritakan soal bederma, tapi tidak ada nuansa Ramadannya. Ada pula yang menulis cerita Islami tanpa menyinggung soal bederma dan Ramadan. Malah, ada pula yang cuman curhat. Wkwkwkwk
Nah, yang demikian cukup fatal ya gengs. Sebagus dan sedramatis apa pun ceritamu, kalau tidak sesuai dengan tema ya … you know lah. Heheheh
2. Penokohan
Penokohan merupakan aspek yang teramat penting untuk diabaikan dalam menulis cerita. Konsistensi dalam menentukan sifat/karakter, penamaan tokoh, serta peran tokoh dalam cerita menjadi hal yang banyak mengganjal para penulis yang ikut serta dalam lomba kemarin.
Konsistensi dalam penyifatan tokoh dalam cerita, misalnya, jika penulis hendak menghadirkan tokoh anak-anak di dalam cerita, maka tokoh tersebut haruslah disifati seperti anak-anak. Tokoh anak tersebut terutama dalam hal tingkah laku dan gaya bicaranya haruslah sesuai dengan usianya. Ada beberapa yang menghadirkan tokoh anak-anak, tapi kerekter dan sifatnya terlalu dewasa, bicaranya terlalu bijak melebihi umumnya anak-anak. Bukan tidak mungkin jika anak-anak berbicara atau berperilaku melebihi orang dewasa, tapi ini cerita pendek dan Anda tidak akan cukup hanya dengan 5 halaman untuk menjelaskan bagaimana si anak bisa sedewasa itu.
Selain itu, konsistensi dalam menamai tokoh juga jadi hal yang perlu diperhatikan. Jika penulis hendak memberi nama Bejo pada si tokoh, maka pakailah nama itu sampai akhir cerita. Ada beberapa penulis yang di bagian awal cerita, tokohnya bernama Bejo, tapi di tengah-tengah cerita nama tokohnya jadi Paijo, nanti di akhir cerita namanya jadi Bejo lagi. Nah, ini yang benar namanya Bejo apa Paijo? Ya, mungkin bisa jadi penulis salah ketik atau lupa dengan nama tokohnya sendiri. Tapi ketahuilah, yang demikian ini sangat mengganggu pembaca ya gengs.
3. Penggunaan Sudut Pandang
Yang satu ini juga banyak jadi masalah dan pantas untuk dijadikan bahan evaluasi. Kebanyakan penulis dalam lomba kemarin memilih menggunakan sudut pandang orang pertama (Aku). Masalahnya adalah banyak yang mengalami ‘kebocoran’ dalam menggunakan sudut pandang ini. Bocor bagaimana maksudnya? Seharusnya, ketika menggunakan sudut pandang pertama (Aku), penulis jadi tidak memiliki akses untuk menceritakan kejadian di mana tokoh ‘Aku’ tidak berada.
Contoh:
Aku memilih untuk tetap mengurung diri di kamarku yang berada di lantai dua sampai saat ini. Sedangkan ibu dan ayahku yang saat ini berada di ruang tengah di lantai satu, tak henti-hentinya mengkhawatirkan keadaanku, “Ayah, gimana nih? Arin dari kemarin gak keluar dari kamar. Makanan yang ibu bawakan juga gak dimakan. Nanti kalau dia sakit gimana Yah?” Keluh ibuku yang sedari pagi tak berhenti menangisiku yang terus-terusan mengurung diri di kamar.
Nah, coba perhatikan contoh di atas. Bagaimana mungkin tokoh Aku (Arin) bisa menceritakan dengan detil apa yang terjadi di ruang tengah, di lantai satu, sedangkan tokoh Aku di waktu yang sama sedang mengurung diri di kamar jauh di lantai dua? Hal seperti inilah yang dimaksud dengan ‘kebocoran’. Jadi berhati-hatilah dalam menggunakan sudut pandang orang pertama (Aku).
Selain masalah ‘kebocoran’, konsistensi penggunaan sudut pandang juga jadi masalah. Sama seperti penamaan tokoh, jika hendak menggunakan sudut pandang Aku, maka sebaiknya tetap begitu hingga akhir cerita. Ada sebagian penulis yang menggunakan sudut pandang Aku, kemudian ia bermaksud menceritakan masa lalu dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Yang seperti ini juga mengganggu ya gengs. Jadi, konsisten saja menggunakan satu sudut pandang.
Terkait dengan penggunaan sudut pandang, sangat dianjurkan–terutama bagi penulis pemula–untuk menggunakan sudut pandang orang ketiga (Dia). Sudut pandang orang ketiga memungkinkan penulis untuk ‘tahu segalanya’. Artinya penulis jadi lebih bebas dalam mengolah cerita. Ia bisa menceritakan kejadian-kejadian di mana tokoh utamanya tidak berada.
Muncul pertanyaan, “Apakah bisa mengungkapkan perasaan tokoh utama dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga?” Jawabannya, SANGAT BISA! Sekali lagi, dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga, penulis jadi serba tahu. Jangankan mengungkapkan perasaan terdalam dari tokoh utama, mengungkapkan perasaan terdalam dari tokoh lain selain tokoh utama pun bisa. Ingat ya gengs, ceritamu adalah semestamu. Kaulah yang berkuasa atasnya. Mau diapakan cerita itu, terserah padamu.
Lanjutan …
Berikut contoh penggunaan sudut pandang orang ketiga,
Contoh 1:
Tibalah mereka di pelataran Manbudh. Wajah cantik yang tadinya kusut, kini berubah merona terhias senyuman anggun nan berseri. Siapa tak senang merasakan keletihan yang terbayar lunas dengan tegaknya bendera merah Harqan di atas gerbang Manbudh. Rasanya ingin turun saja dari tunggangannya dan berlari kencang menjemput dan memeluk tembok kokoh tersebut. Andai saja ia bukan seorang pemimpin kerajaan, pastilah ia akan melakukannya. Namun, Nuala tetap menjaga wibawanya. Ia bersikap tenang dan wajar meskipun rasa bangganya meledak-ledak. Kebahagiaan terasa bergejolak di dalam relung hatinya, ini adalah prestasi pertama di awal pemerintahannya. Sebuah penalukan penting yang akan mengantarkan ia melaksanakan wasiat kakaknya. (Dalang)
Contoh 2:
Malam itu Nuala berjalan ke atap kastilnya, berdiri dengan wajah setengah mendangak menatap rembulan. Langit Manbudh sangat cerah malam itu. Ia menghabiskan waktu cukup lama di atas atap hanya sekedar untuk menatap bulan. Kadang-kadang ia juga melihat sekitar, tepatnya melihat keindahan Manbudh dari atas atap. Ia kemudian memikirkan keponakannya, Arthas, bayangannya seketika datang menginvasi bumi khayalan yang telah ia bangun di benaknya. Ini bukan pekerjaan gampang, bagaimana nanti Arthas dapat melakukan ini? Sedangkan sekarang ia belum bisa lepas dari pelukan ibunya. Apa yang harus ia lakukan kepada bocah manja itu supaya kelak dapat berbuat lebih dari yang telah ia capai? Lantas setelah ia digantikan oleh Arthas, apa yang akan terjadi padanya? Apakah ia akan disingkirkan? “Tidak mungkin!” katanya. Nuala segera menyingkirkan pikiran negatifnya tersebut. Setelah lelah berandai-andai, ia pun turun dan menuju ke pembaringan dan tidur dengan nyenyak. (Dalang)
Nah, begitulah kiranya penggunaan sudut pandang ketiga yang menunjukkan bahwa si penulis serba tahu. Dari mulai pikiran tokoh, isi hatinya, sampai apa pun yang dilakukan si tokoh, penulis tahu semua. Ya iya lah, orang dia yang buat cerita. Wkwkwk
4. Ide Cerita dan Kronologi
Nah, yang ini nih yang menyebabkan banyak peserta tidak lolos. Apa sih masalahnya?
Ide cerita yang banyak diangkat oleh para peserta adalah; memberi pemulung, memberi pengemis, baksos di panti asuhan, membeli dagangan yang tidak laku.
Kronologinya kebanyakan begini;
* Ngabuburit –> ketemu pemulung –> kasihan –> beri uang/makanan
* Masuk bulan Ramadan –> susun acara –> baksos di panti/bagi takjil
* Beli takjil –> ketemu pengemis –> kasihan –> takjil satu-satunya diberi ke pengemis
Dan seterusnya … dan seterusnya …
Bayangkan, jika semua penulis punya pemikiran yang sama dan mengangkat ide cerita dan kronologi di atas, bagaimanakah respons pembaca? Dapat diasumsikan bahwa pembaca akan merasa BOSAN. ‘Ah, ceritanya pasti begini’, ‘Ah, akhir ceritanya pasti begini’, ‘Ah, habis ini pasti begini’, ‘Ah, nanti pasti bakalan begini’. Intinya, pembaca akan merasa bosan dan tidak tertarik. Soalnya ceritanya gitu-gitu aja.
Apa tidak boleh mengangkat ide cerita dan kronologi di atas? Boleh, sangat boleh! Namun, jika hendak membawa ide cerita dan kronologi di atas, penulis membutuhkan kreatifitas yang lebih supaya cerita yang sama tetap terasa beda. Pokoknya tinggal bagaimana bungkus dan pembawaannya deh. Namanya juga cerita inspiratif ya gengs, kalau ceritanya ‘mainstream’ ya jadi gak instiratif lagi.
Maka, tak ada salahnya jika penulis mencoba untuk ‘thinking outside the box’ dalam menulis ceritanya.
Demikian catatan lomba yang dapat kami utarakan, semoga bisa dijadikan bahan evaluasi. Sebenarnya masih banyak hal lain yang perlu juga untuk dijadikan perhatian, namun poin-poin di atas adalah yang paling pokok.
Kolom komentar terbuka lebar bagi teman-teman yang hendak memberi tambahan.
Cukup sekian
Salam literasi!