Celengan Alif

Oleh: Reza Agustin

Terik di tengah siang terasa begitu sepi. Biasanya masih kutemui anak-anak yang saling berkejaran, memanjat pohon mangga milik Pakdhe Supri, atau bermain bola di lapangan dekat rumah. Siang ini semuanya tampak lengang. Ah, wajar saja. Sekarang sudah memasuki bulan puasa. Pasti mereka lebih memilih berlindung dari terik matahari sambil menonton televisi atau tidur siang. Pun si sulung yang tak melakukan apa pun selain menonton kartun di ruang tengah.

“Buka nanti Alif mau apa?” tanyaku sambil melirik dari balik laptop.

Ia melongok ke arahku, telunjuknya menempel di dagu. Memasang pose berpikir sebelum akhirnya ia menjawab ingin makan telur balado favoritnya. Di usianya yang masih enam tahun ia masih sering puasa setengah hari, tapi hari ini ia bertekad puasa sehari penuh. Maka aku memutuskan untuk memberikan apresiasi atas niat baiknya. Ya, walaupun dia mau berpuasa sehari penuh setelah ayahnya memberi iming-iming uang sepuluh ribu jika puasanya penuh. Aku sebenarnya juga mau minta jatah seperti itu. Ada gamis yang incar sejak meluncur kemarin lusa, dan ayah Alif sama sekali tidak ada niatan untuk membelikannya.

“Bajumu ‘kan masih banyak, bagus-bagus pula. Kenapa tidak pakai itu saja, toh makna lebaran bukan sekadar baju baru.” ujarnya singkat. Dia memang orang yang pelit kalau urusan begitu. Apa susahnya sih seklai-kali menyenangkan hati istri? Apalagi banyak uangku habis dipinjam tetangga sana-sini. Bu RT yang pinjam dua ratus ribu untuk membuat takjil ramadan untuk anak-anak pengajian. Pakdhe Supri yang pinjam lima puluh ribu untuk salam tempel cucunya yang kemarin datang secara tiba-tiba. Terakhir Bu Irma yang pinjam seratus lima puluh untuk bayar uang sekolah anak bungsunya, Fahmi. Fahmi adalah teman sekelas Alif, selama ini mereka berteman dengan baik. Karena Fahmi juga termasuk anak yang penurut dan tidak nakal. Senang rasanya melihat Alif punya teman yang baik.

***

Sudah lima hari ini Alif puasa sehari penuh. Aku sempat heran, apa yang membuatnya bertekad untuk puasa penuh? Padahal ia kerap kelelahan sesampainya di rumah, terlebih lagi dia juga ikut pengajian. Aku sering khawatir ia akan pingsan di tengah perjalanan pulang atau berangkat ke masjid. Hari ini aku mengantarkannya ke masjid naik motor, aku masih khawatir kalau dia pingsan nantinya. Setelah pamit dan mencium tanganku, Alif segera bergabung bersama teman-temannya. Aku harus bergegas pulang, si bungsu Ayana masih aku titipkan pada Pakdhe Supri. Aku takut membuat kakek tua itu kerepotan.

Aku mampir dulu menjemput Ayana. Sesampainya di rumah aku mendapati ayah Alif telah pulang dari kerja. Dia menyelipkan beberapa lembar uang dua ribuan ke dalam celengan kaleng punya Alif. Ia menulis sepasang sandal gunung dan baju koko yang dipajang di toko depan sekolah. Ayah Alif berinisiatif menggendong Ayana, sejenak melepas penatnya bekerja.

“Baru pulang Yah?” aku melipir menuju kamar dan menyalakan laptop. Masih ada beberapa bab yang harus kurevisi sebelum kusetor ke editor besok malam.

“Cuma mau mampir sebentar, nanti masih mau balik. Masih ada patroli di sekitar alun-alun kota menjelang waktu berbuka.”

Aku melirik-lirik, lebaran masih dua minggu lagi. Tapi stok gamis itu tinggal sedikit, aku harus pinjam uang dulu sebelum mendapat honor minggu depan. Jangan sampai aku kehabisan stok.

“Yah, bisa pinjam dua ratus ribu dulu nggak? Gamis yang kemarin stoknya tinggal sedikit. Kalo ayah nggak mau beliin setidaknya pinjamin uang dulu, nanti diganti pas honornya udah cair.” akhirnya aku meminta juga, padahal aku bisa beli dengan uang sendiri. Hanya saja aku khawatir stok gamisnya habis sebelum honorku cair.

Ayah Alif menghela napas, ia menyetujuinya saja. Ah, lega rasanya. Akhirnya uang dua ratus ribu itu sudah ada di tangan. Seperti suara azan yang begitu merdu di telinga, aku begitu senang. Mungkin hari ini aku akan masak semur daging kesukaan ayah Alif. Aku harus buat pesanan dulu.

***

Satu minggu kemudian gamisku sudah sampai di depan pintu rumah. Pun tabungan Alif sudah cukup untuk membeli barang-barang yang ia inginkan. Hari ini aku mengajak Alif ke toko pakaian di depan sekolahnya. Alif kelihatan sangat senang setelah bungkusan pakaina dan sepatu barunya ia terima. Kami segera pulang sebelum jalanan semakin macet karena banyaknya pengendara. Baik yang mau mudik atau pun yang baru pulang kerja.

“Bu, mampir dulu ke rumah Fahmi ya.” Alif berpesan padaku. Menunjukkan jempol sebagai tanda persetujuan, aku memacu motorku menuju arah pulang. Rumah Bu Irma pun hanya berjarak satu rumah dari temnpatku. Yaitu di samping rumah Pakdhe Supri.

Fahmi melesat turun, ia berlari mengetuk pintu rumah yang hanya terbuat dari kayu tripleks. Baru aku sadari beberapa dindingnya yang juga terbuat dari tripleks mulai rapuh. semenjak suami Bu Irma minggat tiga bulan yang lalu, Bu Irma harus banting tulang menghidupi tiga anaknya.

“Ada apa Lif?” kepala Fahmi menyembul dari balik pintu.

Hatiku seakan jatuh saat melihat Alif menyerahkan bungkusan pakaian dan sandal barunya pada Fahmi. Anak itu hanya menatap Alif bingung, lalu balas menatapku.

“Ini buat kamu Fahmi, kamu ‘kan sedih sudah nggak punya uang buat beli baju. Jadi aku belikan baju buat kamu.”

Fahmi menerimanya dengan senang hati. Ia pun merangkul Alif sebagai ungkapan terima kasih. Entah kenapa aku merasa begitu malu. Pulang ke rumah aku masih tak bisa melepas pandangaku dari Alif.

“Kenapa Alif beli baju dan sandal baru buat Fahmi?” tanyaku lembut. Alif memiringkan kepala mencoba mencari jawaban.

“Ya anggap saja sedekah Bu. Soalnya Fahmi sudah nggak punya ayah. Ibunya juga selalu nggak punya uang. Alif ‘kan kasihan. Kata ayah kita sesma manusia harus saling membantu, makanya Alif membantu.”

Sebuah kata-kata bijak meluncur dari bibir anak berumur enam tahun yang begitu polos. Sedangkan aku yang sudah dewasa tak bisa melepaskan pikiran bagaimana menagih hutang tanpa membuat mereka sakit hati. Aku benar-benar malu memiliki pikiran seperti seorang anak kecil. Lebih baik aku segera memperbaiki diri, lebaran masih seminggu lagi.

“Ya udah, nanti kamu juga anterin ke Fahmi baju-baju lama ibu ya. Mau ibu kasih ke ibunya Fahmi. Oke?”

Alif memberikan jempolnya senang. Ah, nanti aku harus berbagi kolak pada Pakdhe Supri yang terus-terusan ak titipi Ayana. Juga sepatah kalimat,”Uangnya Pakdhe simpan aja.”
S

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *