Oleh: Anisa Rochim
Lebaran hampir tiba, kira-kira tujuh hari menjelang. Sedang aku masih saja membisu ketika teman-teman sekolahku berbisik tentang baju-baju baru yang telah dibelikan orang tua mereka. Kuperhatikan wajah-wajah ceria itu, tampaknya teman-temanku begitu bersemangat menyambut lebaran tahun ini.
Wajar memang, tetapi bagiku, memiliki baju baru itu hampir mustahil, karena untuk makan sehari-hari keluarga kecil kami saja, bapak harus bekerja serabutan. Sesekali menjadi pesuruh di sekolah, dan terkadang menjadi buruh tani di sawah milik pak RT. Apapun bapak lakukan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga kami, termasuk menyekolahkanku di Madrasah Tsanawiyah satu-satunya di desa kami, yang terletak di lereng gunung Wilis.
Meski bangunan masjid terhitung jarang ditemukan di desa kami, tetapi jiwa muslim kami tetaplah dalam nadi, termasuk kerinduan kami pada bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Buktinya, lantunan-lantunan kalam-Nya terus menggema ke seluruh penjuru desa, seperti aliran sejuk yang kian merabuk dalam darah dan memberi nyawa bahagia di setiap jiwa.
Apalagi, sekardus air mineral dan puluhan takjil di atas loyang besar yang selalu menunggu, setiap kali aku selesai bertadarus bersama teman-temanku di masjid, menjelang berbuka. Dan tiap usai berbuka, aku kerap kali melihat sekardus botol bekas air mineral yang terbuang begitu saja.
“Him, kira-kira kamu mau tidak membantuku membawa botol-botol bekas minuman itu ke rumahku, usai sholat jamaah nanti?,” tanyaku pada Fahim yang masih menikmati takjil di sampingku.
Fahim sedikit terhenyak, sebelum ia merespon ocehanku.
“Baiklah akan kubantu, tetapi untuk apa dibawa ke rumahmu?,” tanyanya dengan heran.
Aku menghela napas dalam-dalam, kucoba mengumpulkan kepingan kata yang sempat menari di udara.
“Aku ingin menjualnya Him, agar aku dapat membelikan bapak baju koko yang baru, karena sepanjang lebaran aku tidak pernah melihat bapak memakai baju baru, berbeda denganku yang dulu sering dibelikan baju oleh bapak.”
Mendengar ucapanku, Fahim tersenyum tipis, seraya menepuk-nepuk pundakku. Dan perbincangan kami pun berakhir, saat iqomah dikumandangkan.
***
Keesokan harinya, aku menunggu pembeli rosokan yang kerap kali melintas di depan rumah kami. Aku menyandarkan diri di teras seraya berpikir keras, dan mencoba menerawang kemungkinan yang terjadi apabila botol-botol bekas yang beberapa hari ku kumpulkan dari masjid dan sekolah itu tidak laku.
Lima menit kemudian, pembeli rosokan itu muncul di depan rumah kami, dengan keranjang bambu lusuh yang diikatkan di belakang sepeda ontel jaman dulu.
Pembeli rosokan itu lebih sering muncul di berbagai sudut kota kami pada bulan-bulan tertentu, seperti bulan Ramadhan, tahun baru dan lain sebagainya. Aku pun segera memanggil pembeli rosok itu untuk menawarkan barang bekas yang kupunya, dan kali ini aku betul-betul mengamati, begitu besar perjuangan pembeli rosok ini ketika sedang mengayuh sepeda tuanya untuk merayapi berbagai sudut desa.
Dari rumah ke rumah tentunya, bersama dua keranjang yang bertengger di sisi kanan dan kiri sepeda, yang diikat dengan karet hitam yakni bahan pembuat ban, yang dipercaya mampu mengikatnya dengan kuat.
Kupandangi wajah teduh pembeli rosok itu yang dengan dengan menghampiriku dan menyunggingkan senyum hangat kepadaku. Hingga akhirnya, aku pun membalas senyumannya dan memberanikan diri menawarkan barang-barang bekas yang kupunya.
“Semuanya berapa pak?,” kataku dengan hati berdebar.
“Dua puluh lima ribu nak,” jawabnya singkat.
“Tidak bisa dilebihkan sedikit, pak?” Protesku.
“Wah, maaf ya nak, saya hanya berani membeli dengan harga tersebut, tidak bisa dilebihkan,” Jelasnya seraya menatapku dengan penuh perhatian.
“Baiklah pak, saya menerima”.
Kuiyakan tawaran pembeli rosokan itu, aku pun bersyukur setidaknya hasil jerih payahku mengumpulkan barang-barang bekas selama beberapa hari terakhir ini tidak sia-sia.
Perlahan tapi pasti, pembeli rosokan itu berlalu di hadapanku, tubuhnya yang terlihat kurus dan semakin menua itu mengingatkanku pada bapak, yang masih berada di sawah usai sholat shubuh tadi. Biasanya, aku yang mengantar makanan pada bapak sepulang sekolah, tetapi karena ini bulan puasa aku hanya bisa membantu ibu, dengan menjaga kedua adikku yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan Taman kanak-kanak itu.
“Buk… Ana lapaaar,” keluh Ana, adik keduaku.
“Sabar ya nak, ini masih dzuhur belum waktunya berbuka,” kata ibu seraya mengelus rambut Ana.
“Iya na, kamu tidak boleh iri sama Rara, karena ia masih kecil, dan baru belajar puasa,” kataku pada Ana yang sedari tadi memandangi Rara yang tengah berbuka puasa dengan sepotong tempe dan sayur asem itu.
“Anak-anakku, ibu bersyukur mempunyai anak-anak seperti kalian, yang insyaAllah menjadi anak yang shalih dan shalihah,” kata ibu dengan lembut.
“Amin. O iya bu, kenapa kita harus berpuasa?,”
“Anak-anakku, puasa mengajarkan kita tentang sabar dan ikhlas, bagaimana tidak? Selain kita menahan lapar dan dahaga, kita juga harus menahan amarah, emosi dan nafsu yang seringkali membuat kita lalai untuk beribadah pada Allah subhanahu wata’ala, untuk itu puasa di bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan ini, diharapkan kita dapat meningkatkan ibadah kita dan meminta ampunan pada Allah, supaya kita semua selamat di dunia dan akhirat”.
Ibu pun menjelaskan panjang lebar tentang hal-hal yang belum aku dan Ana ketahui, hingga perbincangan kami berakhir ke alam mimpi yang berada entah di rimba mana.
***
Malam itu, gema takbir mulai berkumandang ke seluruh penjuru desa kami. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku dan teman-teman berkumpul di halaman masjid menunggu pak Ustadz untuk melaksanakan takbir keliling, dengan bekal lampu obor dari bambu yang ku pegang erat di tangan kananku. Aku mencoba mencari sosok Fahim yang belum juga muncul di sela-sela puluhan santri yang juga membawa obor di tangannya.
Sampai beberapa menit kemudian, pak Ustadz pun datang dan memimpin kami untuk melakukan takbir keliling di desa kecil kami, dengan penuh suka cita. Selama perjalanan, aku pun melihat orang-orang desa di pinggir jalan, ikut menggemakan takbir bersama kami yang terus menapak di sepanjang jalan.
Begitu antusiasnya, hingga tak segan-segan sebagian dari mereka ikut berbaris di belakang kami untuk mengucap takbir hingga ujung desa. Bersama hembusan angin, hatiku mulai berdesir, aku merasa beruntung dilahirkan di desa kecil ini, meski jalan yang kami lalui lumayan terjal dan berliku karena berada di dekat gunung Wilis, tetapi Ramadhan tetap di dermakan dengan penuh cinta disini.
Takbir terus berkumandang, hingga tiba waktu pulang untuk mempersiapkan Syawal esok hari. Aku pun segera membawa beberapa lembar uang yang sudah kubawa, dari hasil menjual barang-barang bekas, dan uang jajan yang berhasil kusisihkan ke sebuah toko baju sederhana tak jauh dari masjid.
Kulihat beberapa potong baju koko yang dipasang di gantungan paling depan, bersama busana muslimah yang lucu seusia Rara. Ingin rasanya kubelikan baju baru untuk adik bungsuku itu, tetapi tentulah uangku jauh dari kadar cukup. Oleh karena itu, aku hanya melihat-lihat baju koko putih seukuran bapak.
Sebelum aku terkejut, karena harga baju yang jauh lebih mahal dari perkiraanku. Sampai akhirnya, aku pun menyerah, dan memutuskan untuk kembali pulang karena uangku terhitung hanya separuh dari harga baju koko itu.
Di tengah perjalanan, aku pun melihat sorotan cahaya yang begitu terang, yang ternyata berasal dari lampu sebuah mobil mewah di hadapanku.
“Dek, numpang nanya, apa benar ini desa Kenanga? Perkenalkan saya pak Budi, kerabatnya pak RT yang datang dari Jakarta,”
“Oh iya pak, perkenalkan saya Abdul, anaknya salah satu buruh tani di sawah pak RT,”
“Maaf nak, bisakah bapak minta tolong diantarkan ke rumah pak RT?,”
“Oh, iya pak bisa”.
Aku pun hendak menapak, tetapi pak Budi menghentikan langkahku dan menyuruhku ikut masuk ke dalam mobilnya, hatiku berdebar bukan main. Spontan kuteringat pesan ibu, untuk tidak mudah percaya pada orang asing begitu saja, apalagi dalam suasana malam seperti ini.
Melihat reaksiku yang masih ragu-ragu, pak Budi pun menunjukkan KTPnya, dan memperlihatkan anak dan istrinya yang berada di dalam mobil. Sebelum aku mulai percaya, bahwa pak Budi bukanlah orang yang perlu dicurigai macam-macam.
Ini bukan kali pertama aku menjumpai warga kota yang tengah mudik di desa kami menjelang lebaran, akan tetapi perbedaan pola hidup seringkali membuat kami sulit menyesuaikan diri berinteraksi pada mereka. Meski pada akhirnya, kesempatan luas bersilaturrahmi pada idul fitri kami gunakan untuk menjalin kekeluargaan satu sama lain.
Mobil mulai melaju, hingga kami tiba di rumah pak RT. Tanpa berpikir panjang aku memutuskan untuk segera pulang. Tetapi, pak Budi malah memberiku beberapa lembar rupiah, sebisa mungkin aku mencoba menolak dengan halus, tetapi pak Budi terus memaksa, hingga aku luluh juga.
Malam itu, aku mendapatkan pelajaran yang berharga, bahwa bila diri ikhlas menerima sebuah keadaan, walau itu menyakitkan atau tidak sesuai dengan yang di inginkan, maka Allah akan menggantinya dengan beribu kebaikan dan kebahagiaan.
***
Kini, aku berada di sela-sela puluhan jamaah yang berpakaian serba putih, di atas sajadah, untuk mendermakan cinta pada-Nya, lewat untaian doa dan dzikir yang tak henti-hentinya dilantunkan.
Setelah kemudian, tradisi bermaaf-maafan sesama umat pun dilakukan, hingga tangis haru bahagia pun pecah membawa berbagai suasana. Termasuk beberapa saat ketika aku pulang ke rumah dan meminta maaf kepada bapak dan ibu.
“Buk, pak, Abdul minta maaf atas semua kesalahan Abdul pada ibu dan bapak,” kataku menahan isak.
“Iya le, sama-sama, ibu dan bapak juga minta maaf sama kamu, Ana dan Rara karena selama ini mungkin ibu dan bapak tidak bisa memberikan kebahagiaan materi untuk kalian,” kata ibu seraya mengusap kepalaku.
Tak lama ketika bapak duduk di samping ibu, aku pun mengeluarkan sebuah tas blanja dari toko baju yang kubeli tadi malam dan kuberikan kepada bapak.
“Apa ini le?,” tanya bapak penasaran.
Bapak sedikit terkejut melihat baju koko baru yang kini dipangkuannya, kedua matanya menatapku dengan penuh perhatian. Nampaknya, rasa haru mulai membuncah di sela-sela batin kami. Apalagi, ibu yang langsung memelukku dan kedua adikku saat itu juga. Keluarga kami kalut dalam haru biru cinta lebaran idul fitri.
Disela-sela para tetangga yang mulai berdatangan mengunjungi rumah kami untuk menyambung silaturrahmi. Para tetangga terlihat bahagia ketika duduk bercengkrama bertukar pikiran mengenai kehidupan desa kami, tetapi meski begitu mereka tidak pernah protes tentang sulitnya hidup di desa terpencil kami yang terbilang cukup sulit untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Air misalnya, bagaimana tidak? Air yang menjadi sumber kehidupan manusia itu hampir sulit ditemukan di daerah kami, hingga kami tentu saja harus mempergunakan air dengan sebaik-baiknya.
Pada hari Lebaran, pembeli maupun penjual rosok di desa kami ternyata semakin berkurang, termasuk pembeli rosok yang seringkali melintas di depan rumahku. Entah mengapa aku tiba-tiba teringat padannya, sempat kulihat gurat ketulusan dan kegigihan dalam raut wajahnya, sama seperti bapak yang berjuang dengan ikhlas untuk mengais sesuap nasi agar dapat menghidupi keluarga kami.
“Assalamu’alaikum,” ucap seorang pria setengah baya yang kini terlihat berdiri di ambang pintu rumah kami.
“Wa’alaikumsallam,” jawab kami sekeluarga hampir bersamaan.
“Pak Rahmat, silahkan masuk minal aidzin wal faidzin,” kata bapak menyalami para tamu.
Pak Rahmat beserta rombongan keluargannya datang mengunjungi rumahku, termasuk Fahim anaknya yang selama ini kuanggap sebagai sahabat baikku.
“Dul, aku minta maaf atas segala kekhilafanku selama ini ya,” kata Abdul seraya memelukku.
“Sama-sama Him, aku juga minta maaf,” balasku.
Kami berdua pun melanjutkan perbincangan di teras, sambil membahas kerja kerasku dengan bantuan Fahim yang terbayar dengan nuansa bahagia idul fitri. Kami berdua sepakat untuk mendatangi rumah pembeli rosok yang berada di ujung desa, untuk menjalin silaturrahmi.
Karena ibu selalu bilang, bila diri tidak punya apapun untuk diberikan pada orang lain, maka hal yang perlu dilakukan adalah berbuat baik dan senantiasa mendoakan yang terbaik terhadap orang lain.