Oleh: Musfirah Rahman
Kemilau senja dikaki langit tenggelam dimataku yang tengah duduk termangu ditepi pantai. Jilbabku terayun-ayun seolah melambaikan tangan pada bola kuning raksasa tersebut. Sudah menjadi rutinitasku untuk duduk menikmati pesona senja –kecuali ketika hujan. Dan ini kali pertama aku menikmati senja di sebuah pulau kecil, tempatku mengabdikan diri. Untuk kesekian kalinya aku memilih meghabiskan bulan Ramadan di pelosok Negeri selepas meraih gelar sarjana di Ibu kota.
Azan pun dikumandangkan, mengiring sang surya beranjak dari tahtanya. Seusai shalat magrib aku kembali kerumah Bu’de (seorang wanita beranak 2 yang sudah kuanggap ibu sendiri). Aku tinggal dirumah itu sampai kontrak mengajarku habis. Didalam kamar, tepat dibawah penerangan lampu belajar setinggi 40 cm dengan bohlam kuning, kubuka buku catatanku yang kumal. Tertulis nama-nama murid yang akan kuajar dipulau itu. Kuhitung jumlahnya, tidak banyak, hanya terdaftar 11 siswa dengan 3 orang diantaranya laki-laki, selebihnya perempuan. “sebelas anak, sebelas…”intonasi suaraku menurun kala mengucap angka setelah sepuluh tersebut. Aku menarik nafas panjang, mengantarkanku tenggelam dalam nostalgia angka yang bersejarah bagiku itu.
~~~
Sabrina kecil tak berkedip menunggu mesin mainan dihadapannya memuntahkan boneka. “Sudah berapa kali Abi gagal Umi ?” Tanyanya setelah menghitung sampai sepuluh koin yang masuk.
“11 kali sayang” jawab wanita yang juga mulai bosan disampingnya, namun tetap berusaha sabar untuk putri tunggalnya. Entah mengapa kali ini Sabrina si bocah kepo tak menanyakan berapa banyak angka sebelas itu. Hinggah Abinya memasukkan koin yang kedua belas. Akhirnya besi yang melengkung menyrupai capit kepiting itu menyekik leher boneka beruang cokelat muda. Membuat Sabrina histeris seketika.
“Angka sebelas itu angka setelah sepuluh” jelas Abi sambil menyerahkan boneka tersebut. “Nanti Sabrina lanjut belajar berhitung dirumah yah” Umi menambahkan. Sabrina mengangguk sambil memeluk bonekanya. Namun setibanya dirumah, ia langsung tertidur saking lelahnya.
Tiga hari kemudian Abi mengajak Sabrina dan Umi ke tempat pemacingan. Pasang umpan, lempar dan tunggu. Tak perlu waktu lama bagi Abi untuk mengisi penuh ember mereka dengan berbagai jenis ikan. Sabrina ikut senang, ternyata memancing lebih mudah dibanding bermain mesin penjepit boneka.
Akhir pekan Abi membawa jenika ke tempat bermain yang sama, dengan jenis permainan yang sama. Sangat berbeda dengan minggu lalu. Kali ini Abi hanya menggunakan 2 koin untuk berhasil mendapatkan satu jenis boneka keledai dengan dominan warna abu-abu. Sabrina begitu senang mendapat satu koleksi boneka lagi untuk dipajang di samping tempat tidurnya.
“Haha, padahal Abi udah siapin 12 koin loh” tawa Abinya meledak. “Itu berapa banyak Abi ?” Tanya Sabrina yang kebingungan. Tawa Abi terhenti mengingat ia lupa mengajarkan putinya angka setelah sepuluh. “Maaf sayang, Abi lupa ngajarin, nanti dirumah Abi kasi tau”. Namun, jangankan mendengar penjelasan tentang angka setelah sepuluh dirumah, celoteh Sabrina sepanjang jalan pulang pun tak ada. Sabrina tertidur pulas memeluk boneka keledainya dikursi tengah mobil.
Esoknya jenika meminta ikut Abi ke pemacingan, mengingat dulu mereka dapat banyak ikan. Namun, hasilnya tak seperti yang diharapkan. Ia menghembuskan nafas kecewa melihat ember hanya berisi dua ikan kecil saja. Itupun setelah menuggu berjam-jam. Rupanya sore itu ada banyak pengunjung yang datang.
“Nanti ikannya buat Sabrina semua” kata Umi mengemangati. “Horee…” teriak Sabrina mendengar perkataan memuaskan itu.
Semua manusia hanya dapat berencana, selebihnya tergantung Tuhan yang menentukan. Rencana Abi yang ingin mengajarkan Sabrina angka setelah sepuluh dan rencana Umi yang ingin memasakkan Sabrina dua ikan kecil tak kesampaikan. Mobil yang mereka tumpangi tertabrak truk besar yang menerobos lampu merah dipersimpangan dekat rumah mereka. Umi menghembuskan nafas terakhirnya hari itu juga dilokasi kejadian, dan Abi 2 hari setelahnya. Menyisakan perih yang mendalam bagi Sabrina kecil. Namun tanpa sadar menumbuhkan kekuatan bagi Sabrina sendri. Ia kemudian dibesarkan oleh neneknya, ibu dari Abinya. Sabrina si bocah kepo tumbuh menjadi gadis tangguh nan pemurah.
~~~
Keesokan harinya, di sebuah pos ronda yang kami anggap sebuah sekolah. Aku memulai dengan mengabsen. Meski tidak diabsen sekalipun, mudah saja mengetahui bila dari sebelas murid ada yang tak hadir.
“Dimana Abdi?” Tanyaku ketika mengabsen nama terakhir, namun tak ada yang menyahut.
“Dia.. dia kelaut Bu Guru. Membantu Bapaknya menjaring ikan” Ical menjawab dengan nada ragu-ragu. Bukan karna takut, hanya saja dia sedikit pemalu.
“Apa Abdi sudah tahu kalau hari ini kita mulai belajar?’
“Tadi sudah kuajak Bu, tapi katanya Bapaknya melarang” jawab Ical lagi. Aku diam. Aku memilih diam untuk tidak membahasnya saat itu dengan anak-anak. Haya tak ingin semangat belajar mereka menurun.
“Baik, nanti kita bicara selesai belajar yah?” tawaran yang kulontarkan pada Ical disertai senyum lembut demi mendapat jawaban “iya”. Namun kata itu dia ganti dengan sebuah anggukan.
Aku memulai pelajaran dengan materi-materi dasar untuk mereka. Kumulai dengan sangat pelan. Itu harus kulakukan untuk mereka (anak-anak yang tak sekolah karna dikampung ini serba kekurangan). Tak ada akses yang memadai, sinyal putus-putus, listrik pun hanya dapat dinikmati pada malam hari saja. Tapi inilah yang membuatku tertantang untuk jauh-jauh datang kesini. Meninggalkan nenek dirumah bersama Bibi Asih –Adik bungsu Abi.
Singkatnya, selesai belajar aku langsung menemui Ical.
“Ical tahu dibagian mana Abdi dan ayahnya menjaring ikan?” aku lagsung bertanya pada intinya. Lagi-lagi ia hanya bisa mengangguk.
“Baik, bisa antarkan Ibu kesana sayang?”
Angggukannya makin panjang. Kuraih tangannya yang penuh dengan noda pulpen. Kami beriringan kepantai. Dan benar, kami dapati Abdi dan Bapaknya sedang istirahat di tepi pantai. Ical memanggilnya, wajahnya mengisyaratkan bahwa Abdi akan kumarahi. Aku menyuruh Ical pulang duluan, sambil berharap semoga Abdi tidak ketularan mengangguk-gangguk seperti Ical.
“Mengapa Abdi tak kesekolah?” tanyaku.
“Hari ini Aswan sakit Bu. Aku harus membantu Bapak menarik jala” ia langsung menjelaskan keintinya. Seolah-olah aku sudah sangat dekat dengannya. Dan, siapa pula itu Aswan?.
“Baiklah, aku akan bicara dengan Bapakmu, agar besok kamu sudah bisa kesekolah”
“Tidak perlu Bu Guru, aku bisa saja kabur dari perintah Bapak untuk kelaut, sudah sering begitu. Tapi aku tak mau sekolah di pos ronda! Itu bukan sekolah sungguhan!” suaranya lantang. Aku merasa dimaki-maki olehnya.
“Dimana pun itu, asalkan kamu sungguh-sungguh ingin pintar, kamu tidak perlu gedung sekolah untuk giat belajar” aku berusaha menyemangati dengan nasehat.
“Ibu Guru tidak mengerti. Tahun lalu, Sepupuku datang berkunjung dari kota, ia menceritakan tentang sekolahnya. Aku iri Bu. Kupikir aku akan segera bangga bercerita padanya tentang sekolah baruku setelah mendapat kabar Bu Guru akan datang. Tapi bagaimana mungkin aku ceritakan bahwa sekolahku hanyalah pos ronda?” aku takjub, tak kusangka jawaban anak berumur 9 tahun ini setegas itu. Kurapatkan kedua lututku dipasir dan mendekap kedua pundaknya yang ringkih. Aku tersenyum padanya, berusaha semanis mungkin, sementara wajahnya masih terbakar rasa kecewa.
“Aku akan membangun sekolah untukmu dan teman-temanmu” kataku, masih tetap dengan senyuman.
“Sungguh?” matanya melebar, membuat alis tebalnya terangkat. “Tapi ada syaratnya” lanjutku.
“Akan kusanggupi” katanya tanpa ragu. Aku tertawa dibuatnya. “Syaratnya kamu dan teman-temanmu harus hadir setiap hari untuk belajar” kataku.
“Gampang, bila perlu kuajak semua warga kampung untuk belajar di pos ronda” katanya sambil menyilangkan kedua tangannya diatas dadanya. Kami tertawa. Dia tertawa bahagia, aku tertawa bahagia dan bingung. Bingung dimana aku bisa dapat dana? Hehe.
Malam harinya aku berpikir keras. Kesimpulannya akan kugunakan uang tabunganku. Sebenarnya tabungan itu kuniatkan untuk operasi mata nenek yang sudah buta sejak 3 tahun lalu. Tapi nenek tak tahu aku menabung untuknya. Karna Abdi telah menuntutku, dan nenek tidak. Maka kubulatkan keputusan ini. Meski hanya gedung sekolah kecil, Nenek selalu bilang “yang penting niatnya”. Malam itu tidurku pulas, karena merasa puas dengan keputusan ini,
Esoknya aku kerumah kepala desa membicarakan hal ini. Tentu mereka senang. Maka dibuatlah tim relawan untuk membangun gedung sekolah itu. Selepas mengajar anak-anak, aku sering bolak balik keluar pulau untuk belanja keperluan sekolah. Hinggah tiba saatnya aku pamit, meski bangunan sekolah baru setengah jadi, tapi telah kusiapkan semua keperluannya hingga selesai. Waktu itu 3 hari sebelum hari raya Idul Fitri. Anak-anak memelukku satu-satu, kecuali Abdi. Ia marah padaku setelah tahu aku tak lebaran bersama mereka disini. Setelah berjanji padanya bahwa aku akan berkunjung setelah sekolahnya jadi. Ia mulai luluh dan memelukku erat.
“Ibu Guru berjanji kan?” Sebelum sempat kujawab, ia berkata “yang kutahu, Ibu Guru tak pernah ingkar”. Aku amat terharu dibuatnya. Ia selalu berhasil membuatku kagum.
Sesampainya dirumah, aku langsung mencari nenek. Aku kaget ketika Bibi Asih bilang kalau nenek ada dihalaman belakang rumah memberi makan ikan-ikanku. Bagaimana cara nenek memberi makan ikan-ikanku? Bagaimana bila nenek malah jatuh kedalam kolam ikan? Kenapa Bibi begitu santainya mengizinkan nenek melakukannya?. Dan semua terjawab kala kudapati nenek tersenyum memandangku dari jauh.
“Jangan mondar mandir dalam rumah sambil bawa tas besar. Simpan dulu sana, dikamar!” nenek memarahiku, tapi dengan wajah bahagia. Ya Allah, keajaiban apa ini? Aku mengabaikan perintahnya dan langsung memeluknya. Setelah kutanya mengapa tiba-tiba ia bisa melihat, ia menceritakan bahwa 3 hari yang lalu, tepatnya malam jum’at, nenek bermimpi aku mendatanginya dengan membawa seorang anak laki-laki ber-alis tebal. Anak itu lalu mengusap kedua mata nenek, dan berlalu begitu saja. Pagi harinya Nenek langsung sujud syukur dapat melihat kembali.
Aku ingat, malam itu, ba’da shalat magrib di masjid, Abdi tergesa-gesa mendatangiku dan mengatakan bahwa ia telah memohon dalam do’anya untuk kebahagianku. Dan do’anya telah dikabukan malam itu juga. Terima kasih sayang, lagi-lagi kamu berhasil membuatku kagum.
Ketulusannya mengingatkankanku pada sosok Abi. teringat pesan terakhir Abi dihari kedua pasca kecelakaan, pesan yang belum kupahami saat itu “semakin banyak kita memberi, semakin banyak yang kita peroleh”. Itulah makna tersirat yang orang tuaku ajarkan dalam keseharianku diwaktu kecil –termasuk mainan penjepit boneka dan memancing bersama Abi. Bahwa dengan memberi kita takkan pernah kekurangan. Bahwa apa yang kita keluarkan dengan ikhlas akan menarik sesuatu yang lebih indah dan bantuan yang kita ulurkan pada sesama akan menjadi pemancing rezeki yang berlimpah. Karna semakin banyak kita memberi, semakin banyak pula yang kita peroleh. Entah itu dalam waktu yang lama atau tidak, dengan usaha yang kecil maupun besar. Allah tak pernah ingkar dari janji-janjinya.
Jangan takut memberi, bukankah kita hamba dari yang Maha Kaya?