Inikah yang Dinamakan Kemesraan yang Sesungguhnya?

Oleh: Moh. Dzaky Amrullah

Setelah sekian lama aku menantikan hari-hari dimana aku bisa bermesraan dengan tuhan, sekarang aku kehilangan kemesraan itu, aku mau kemesraan itu kembali seperti dulu.

Mungkin karna pekerjaanku yang begitu banyak sampai aku tidak sempat berjumpa dengan-Nya. Aku kadang iri melihat mereka yang bisa bermesraan dengan Tuhan dengan lebih, mereka bahkan tidak pernah memikirkan hartanya untuk bisa bermesraan, mereka merelakan semua hartanya demi itu, bermesraan dengan Tuhan. Aku curiga apakah ada yang salah dengan diriku ini atau aku sudah tidak lagi diharapkan Tuhan.

Aku seorang penulis. Aku menulis di Koran, aku menulis berbagai Cerpen, artikel, essa dan beberapa tulisan lainnya untuk ku masukkan ke majalah bulanan yang sudah memberikan dua halaman tiap bulannya untuk ku isi dengan tulisanku. Aku merasa bahagia bisa berbagi lewat tulisan, karna semenjak aku Sekolah Dasar aku sudah bermimpi menjadi penulis yang handal. Mungkin ini bawaan dari ayahku dulu yang berprofesi sebagai penulis.

Di bulan yang suci ini banyak sekali tuntutan untuk menulis, mulai dari majalah yang awalnya hanya satu majalah yang memintaku menulis di halaman-halamannya dan sekarang bertambah menjadi lima majalah sekaligus, tuntukan temanku yang memintaku untuk mengisi blogku, tuntutan Koran yang mulai menumpuk, sampai pada keinginanku untuk mengirim tulisanku di lomba menulis Ramadhan kali ini.

Hari-kariku sekarang hanya ku gunakan untuk menulis. Sudah sebulan aku hanya duduk di depan computer memainkan keyboard sampai menghasilkan suatu kalimat, kemudian aku akan pergi makan setelah istri tercintaku menyiapkan makanan, setelah itu aku akan istirahat sebentar atau aku akan mendatangi istriku ke kamarnya untuk mencari inspirasi. Kalau aku belum menemukan inspirasi dari sana, aku akan keluar untuk menghabiskan segelas kopi pahit buatan istri yang selalu sabar melihatku duduk di depan computer. Itulah kegiatanku selama sebulan sebelum memasuli bulan yang penuh berkah. Aku hanya berharap itu bisa membantu penghasilanku buat ku sedekahkan, masalah istri dan anak-anak sudah cukup dengan gaji PNSku.

Malam yang begitu syahdu itu aku habiskan bersama istriku, aku harap malam itu bisa membuatnya senang setelah lama aku jarang berkumpul dengannya. Selain itu, karna besok adalah bulan Ramadhan, aku tidak tahan untuk tidak memesrainya malam itu. Benar memang, istriku terlihar bahagia setelah itu. Aku sangat merasa bersalah sama istriku, aku baru paham kenapa sebulan penuh istriku selalu mempercantik dirinya. Dan besok aku harus menahan untuk tidak melakukannya di siang hari.

Aku tidak mau seperti tahun kemarin yang tidak bisa menyedekahkan hartaku. Hartaku benar-benar habis, uang yang aku simpan hanya cukup untuk sebulan Ramadhan. Sampai aku membiarkan orang yang waktu itu kelaparan di pinggir jalan ketika aku belanja di pasar bersama istri. Saat itu istriku sedang pergi ke dalam pasar untuk membeli ta’jilan dan aku menunggunya di luar pasar. Ada dua otang yang keliahatan sangat lapar, namun kutahu mereka itu puasa, kukira itu adalah ibu dan anaknya.

“maaf buk saya tidak ada makanan” kataku menatap mereka yang tampak lusuh.

Mereka hanya menatapku dan berkata “saya tidak mengharapkan bantuan dari bapak, saya tau bapak adalah seorang PNS dan sekarang bapak sedang bersama istri belanja ke sini”. Aku heran denga ucapannya itu, bagaimana ibu itu tau keadaanku sampai ibu itu berkata lagi “bapak hanya akan bertemu dengan Ramadhan berikutnya setengah bulan, bapaklah yang harus membantu diri bapak sendiri”.

Aku hanya bisa tercengan melihat ibu itu berbicara, entah kenapa dadaku berdegub kencang, tubuhku seakan lumpuh, semuanya tidak bisa bergerak sesuai apa yang aku harapkan. Benarkan aku hanya akan merasakan Ramadhan setengah bulan saja?. Aku memalingkan wajahku pada istriku yang sudah memanggilku dan aneh, ibu dan anak itu hilang seketika ketika aku akan memberitahukan keadaan mereka pada istriku.

Dan sekarang adalah setahun pas setelah ibu itu merbicara seperti itu.

Aku hanya bisa menghabiskan 13 hari kemarin dengan bermesraan dengan Tuhan di masjid samping rumah. Aku juga berpesan pada istriku untuk menyedekahkan uang yang di kirim ke rumahku, entah itu uang kiriman majalah, Koran, dan semua hasil dari tulisanku. Dan 13 hari kemaren entah kenapa aku merasa hariku benar-benar lama, apa mungkin itu adalah berkah dari apa yang aku sedekahkan dari uang hasil tulisanku yang masuk, atau memang ini adalah berkahnya di bulan Ramadhan.

Dan hari ini adalah hari ke 14 Ramadhan, hariku benar-benar terasa lama. Sudah sekian lama aku mengaji di serambi masjid, namun maghrib juga tak kunjung datang. Istriku sudah dari tadi mengirimkanku makanan untuk berbuka puasa, tidak seperti biasanya, semuanya aneh, aku berteriak kencang namun tidak ada satupun yang menghampiriku, bahkan istriku menangis tersedu-sedu di sampingku, aku berusaha menggapai pipinya untuk menghapus tangisnya, namun tanganku tak bis ku gerakkan. Sekali lagi aku berusaha menenangkan istriku “sudahlah, kenapa kamu menangis sayangku?” kataku dalam diam

Namun tetap saja sia-sia, istriku hanya membalasku dengan ciuman, kemudian dia beranjak dan terlihat berusaha tegar “saya siap suamiku di kafani Ustadz”

1 thought on “Inikah yang Dinamakan Kemesraan yang Sesungguhnya?”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *