Oleh: Epa Pauziah
Terik matahari menjelang sore yang masih menyorotkan seakan membuat orang -orang memicingkan mata saat menjebrang di pinggiran jalan yang akan menuju Stasiun Gambir yang letaknya tak jauh dari masjid Istiqlal. Terlihat Jalal persis seperti pegawai kantoran yang berpakaian sedikit kusut dengan stelan jas biru dan kemeja kuning dibalut dasi biru dengan sepatu hitam dan penuh keringat yang terburu – buru.Sambil menenteng sebuah dus dan kantong lalu menuju beberapa orang yang sedang berdiri di pinggiran stasiun dengan membawa beberapa katong dan beberapa buah koper salah satu dari orang – orang tersebut melambaikan tangan pada Jalal.
“Assalamu’alakum, maaf nih aku telat?’’ ucap Jalal dengan tergopoh gopoh.
“Wa’alaikumussalam, eh jalal. Ko iso telat? Abis darimana aja mas iki? Kita – kita pada nungguin sampeyan’’jawab Syam dengan penuh tanya dan sedikit keheranan.
“Mmm… tadi ana ada sedikit kendala di jalan pas mau kesini’’ balas jawab jalal kepada Syam.
“Yaudah yang penting sebelum kereta berangkat semuanya udah pada kumpul” timpal Fadhil sembari menyunggingkan senyuman.
“Sekarang cek absen dulu ya biar barang barang yang dibawa ga ada yang ketinggalan.
Ahmad ente bawa apa aja?’’ tanya Fadhil yang sedang memegang menulis di poket note.
“Ane bawa dua kardus dil sama satu keresek putih ” jawab Ahmad
“Kalo ente rul? Kim? Pada bawa apa?’’ tanya Fadhil pada Arul dan hakim
“Biasa cuma bawa satu dus aje nih, tau sendirikan Arul gitu loh si Mr.Simple haha’’ jawab Arul dengan tertawa ringan
“Haha ente bisa aja yaak, Satu dus juga besar bro, noh liat, beda sam punya ane cuma bawa satu dus kecil aja’’ gelak tawa hakim sembari menunjuk sebuah kardus besar yang berbeda dari yang lain.
“Dasar Arul kebiasaan beda dari yang lain hahaha..’’ tawa Jalal
Lalu Fadhil menanyakan bawaan milik Jalal, Syam“Nah kalo ente Syam,Jalal, bawa apa aja?’’ sambil melihat – lihat sambil meneliti barang bawaan mereka
“Ane bawa satu dus sama satu kantong, dil’’ jawabSyam
“Kalo ane sih, bawa tiga dus sama satu kantong, paket buat bibikemarin nitip dibeliin baju buat anak – anaknya hehehe ’’ jawab Jalal
“Ahmad, Arul, Hakim udah, terus Syam, jalal sama ane juga udah, tinggal berangkat dah, nih tiketnya’’ tukas fadhil sembari menyerahkan tiap – tiap tiket dengan riang.
“Oke berhubung semuanya udah beres, kita tinggal berangkat barang – barang kita kasihin ke kuli panggul aja biar kita ga kerepotan bawanya’’ usul jalal.
“Boleh juga tuh lal’’ respon setuju ahmad
Mereka pun menyerahkan semua barang bawaan kepada para kuli panggul yang berdiri di pinggiran kereta tersebut, Suara sirine pemberitahuan di stasiun membuat mereka langsung bergegas menuju gerbong kereta yang tengah bersiap untuk berangkat.
Teng…Bushh…grrdg.. grrrdg…. Suara kereta meluncur meninggalkan stasiun. Mereka duduk di gerbong nomor lima dan duduk berhadapan lalu memanjatkan do’a agar diselamatkan di tengah perjalanan hingga setibanya di kampung halaman. Begitu dengan jalal tak henti – hentinya bertasbih dan megucap syukur pada Allah karena akhirnya dia bisa pulang ke tanah kelahiran, bagaimana dia tak begitu bersyukur sebab tahun lalu dia tidak bisa pulang.
“Alhamdulillah bisa pulang ya lal, pasti ibumu seneng pisan ndo,’’ hibur syam di dalam kereta pada jalal dengan sedikit logat jawa,
“iya Alhamdulillah nih bisa pulang,’’ jawabnya dengan senyuman.
“Mas Jalal tadi ada kendala di jalan, emang ada apa?’’ tanya Arul
“Tadi di jalan ada yang kecelakaan rul”
“Innalillahi siapa yang kecelakaannya lal? ‘’ tanya syam dengan kaget
Lalu jalal bercerita pada semuanya ‘’tadi saat aku hendak menyebrang aku melihat bapa itu terjatuh dari motor yang dikendarainnya dikarenakan terserempet mobil yang sedang melaju dan kemudian kendaraannya terseret mobil truk, dan bapa itu terlentang dan berusaha bangkit lalu aku berusaha mencoba menghampiri dan membantunya dipinggir dekat trotoar. Kemudian datang pengendara mobil yang menyerempet bapa tadi dan malah memaki dan meminta rugi pada bapa itu dan mulianya bapa itu malah meminta maaf dan memberikan uang, namun aku cegah beliau memberikan uang itu, dan aku berbicara baik – pada orang yang hampir menabrak bapa itu dan kemudian orang itu meminta maaf padaku dan aku menyuruh orang itu meminta maaf pada bapa itu’’ semua nampak serius mendengarkan cerita jalal. “lantas setelah itu bagaimana keadaan bapa itu?’’ tanya fadhil.
“bapa itu penuh dengan lumuran darah di bagian tangan dan kaki namun bapa itu masih bisa tersenyum dan mengatakan dia baik – baik saja. Tetapi karena aku khawatir maka segera aku bawa bapa itu ke rumah sakit mengenakan motor miliknya. Sesampainya aku antar beliau ke ruang UGD dan benar dugaanku ternyata beliau luka parah dan bagian tangan dengan kaki harus dijahit. Namun bapak itu tidak ingin dijahit karena tidak mau merepotkan, lalu aku bujuk bapa itu hingga bapa itu akhirnya operasi jahitan dilakukan, dokter mengatakan bahwa jahitan ditangan sejumlah lima belas jahitan dan dua puluh tiga jahitan di bagian kaki. Setelah selesai dijahit lalu aku antar beliau menuju rumahnya di perjalanan tak hentinya bapa itu mengucap terimakasih padaku. Sesampainnya di rumah aku perhatikan depan rumah ternyata itu adalah panti asuhan yatim – piatu yang amat sangat sederhana dan disebelahnya ada mushola yang sederhan pula. Lalu memanggil istrinya dan beliau masuk dan membawa beliau duduk di ruang tamu lalu aku banyak menyaksikan anak – anak yang sedang mengaji kemudian menyambut kedatangan kami, anak – anak itu sangat manis dan lucu dan satu persatu menyalami tangan beliau, dan tanganku. Mereka memanggil bapa itu dengan sebutan Abi dan aku menanyakan pada bapa itu apakah mereka anak – anaknya namun bapa itu menjawab tidak memiliki anak. Beliau dan istrinya ditakdirkan tidak dapat memiliki anak, namun beliau sangat menyukai anak anak hingga hatinya terpanggil untuk merawat anak – anak jalanan dan yatim piatu. Dan kerapkali setiap bulan ramadhan beliau mengadakan tadarus dan buka bersama dan tarawih berjamaah dengan tetangga sekitar. Yang tak kusangka lagi meski hanya mengandalkan penghasilan sebagai penjual koran dan ojek online beliau bisa menghidupi kebutuhannya dan kebutuhan mereka dengan layak. Setelah berbincang sedikit dengan beliau lalu aku berpamitan’’jawab jalal melanjutkan ceritanya.
“Masya Allah yang Maha kuasa sungguh mulianya hati bapa itu’’ ungkap kagum Ahmad.
“masih ada juga ya orang yang hatinya mulia seperti beliau” timbal Arul
“Dermawannya beliau di jaman Rasul mungkin bagai seperti Khalifah Utsman bin Affan’’ sambung Fadhil.
“Semoga kita juga bisa sepeti beliau, mampu mensejahterakan orang di sekitar dengan kasih sayang dan rasa kepedulian kita. Aamiin” Arul
“Aamiin, gimana kalo kita pas nanti sesudah sampai kampung halaman, kita buat panti asuhan saja? Gimana? Setuju?’’ tanya Jalal dengan penuh senyuman.
Lalu mereka saling melirik dan tersenyum dan berkata setuju dengan mata berbinar. Dan memulai merealisasikan untuk kosep pembuatan panti asuhan nanti. Hingga tak terasa adzan maghrib menggema di tengah perjalanan. Mereka melakukan buka bersama dansholat di dalam kereta dan tiada hentinya menatap senja dengan decak kagum akan kekuasaan sang pencipta.