Oleh: Hudaya Hasanah Rahmah
Namaku Dayu, Dayu Pratiwi. Aku memiliki sahabat, dia lucu dan selalu jadi mood boosterku, namanya Illy, Illy Rakhmadhani. Kita satu sekolah dari TK hingga SMA ini.
“Illy, yuk ke kantin,” ajakku.
“Aku mau nyapu dulu, Da, piket soalnya.”
“Oke deh,” aku pergi meninggalkan Illy karena sudah haus bukan main. “Mau nitip apa nih?”
“Air putih aja yang dingin, makasih ya, Da.”
Aku menuju kantin dan membeli apa yang aku inginkan. Aku melihat seorang lelaki yang tak pernah aku lihat sebelumnya di sekolah ini. Siapa dia?
Bel pulang sekolah berbunyi. Aku dan Illy pulang bersama seperti biasa. Rumah kami tak terlalu jauh. Rumah Illy belok kiri sedangkan rumahku masih lurus sedikit.
“Sampai besok, Da,” sapanya sambil melambaikan tangan.
“Iya, maaf ya ga jadi mampir makan bakso padahal aku sudah janji ke kamu.”
“Iya besok aja gapapa, mendung nih soalnya kan, daripada gabisa pulang nantinya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” aku tersenyum sambil melambaikan tangan juga.
Baru masuk perumahanku hujan sudah turun juga. Aku berteduh di bawah gapura tinggal beberapa meter lagi sih, tapi aku lagi malas basah-basahan. Aku melihatnya lagi, ya lelaki itu diseberang sana sedang menatapku tajam. Aku sedikit takut bercampur penasaran ingin tahu siapa lelaki tersebut. Dia mulai mendekatiku dan merogoh sakunya. Memberiku secarik kertas. Aku dipersilahkan untuk membukanya. Ada tulisan dan aku melihat lelaki itu lagi. Dia sangat tua ketika aku melihatnya dari dekat. Lelaki itu menyuruhku membacanya. Ini seperti mantra. Entah kenapa aku membacanya. Cahaya putih keluar dari dalam kertas dan aku seperti ditarik ke dalamnya.
Aku mengedipkan mata beberapa kali karena cahaya putih tadi. Aku memastikan keberadaanku sekarang. Lelaki yang tadi masih berada di hadapanku. Sebenarnya apa yang terjadi, semua masih menjadi pertanyaan dalam pikiranku. Lelaki itu mengajak ku menuju sebuah rumah. Rumah itu adalah rumah tetanggaku. Aku masuk ke dalam dengan hati-hati takut mereka tahu akan keberadaanku.
Prangg!!
Aku tak sengaja menyenggol kaleng yang terdapat di bawah. Mataku langsung menuju mereka. Mereka melihatku tapi anehnya mereka berkata mungkin itu hanyalah tikus atau angin. Aku memiliki kesimpulan bahwa mereka tidak bisa melihatku. Aku mulai sedikit tenang. Sepertinya aku kembali pada masa lalu. Mereka terlihat bahagia berkumpul melingkar di meja makan. Adzan maghrib terdengar dan mereka berdoa sebelum buka puasa. Aku mengambil kesimpulan lagi bahwa saat ini Bulan Ramadhan karena aku juga mendengar percakapan mereka bahwa mereka akan sholat tarawih bersama di Masjid Agung terkenal di seberang.
Mereka bersiap berangkat ke masjid terburu-buru karena sudah terlambat. Adzan isya sudah berkumandang.
“Yang terakhir kunci pintu rumah ya,” kata ayahnya.
“Ibu berangkat dulu ya. Alwan dan Aldi jangan lama-lama ya.”
Aku tahu mereka, Alwan dan Aldi anak kembar, umur mereka 13 tahun.
“Aldi jangan lama-lama dong, ayo, sudah telat nih.”
“Iya, kak Alwan, masih makai mukenah nih. Kakak duluan saja gapapa, nanti aku yang kunci pintunya.”
“Yauda, aku duluan.” Alwan berjalan tapi dengan ritme yang cepat.
Aku masih saja memandang mereka dari jauh. Kulihat Aldi kesulitan mengunci pintu karena tergesa-gesa.
Srek.. Srek.. Terdengar suara di balik rumput di depan rumahnya. Kebetulan rumahnya dekat dengan tanah yang lama tidak digunakan sehingga banyak rumput tumbuh disana. Aku mengecek ada apakah disana. Terdapat dua orang preman yang berencana menculik Aldi. Kulihat sekitar sini sudah terlihat sepi karena sudah pada ke masjid, sebagian ada yang sudah pulang kampung karena tiga hari lagi sudah lebaran. Aku ingin berteriak memanggil Aldi untuk cepat-cepat berlari ke masjid tetapi apa daya aku hanyalah sebuah bayangan disini. Aku bingung harus melakukan apa tapi melihat lelaki tua itu tenang-tenang saja akupun ikut menenangkan diri. Aku mulai sadar bahwa ini hanyalah kisah masa lalu yang aku tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Aldi berjalan setengah berlari ke masjid. Saat keluar rumahnya preman tersebut langsung melakukan aksinya yang barusan sudah direncanakan dengan matang. Mereka membekap mulut Aldi dan menutup mukanya dengan kain, tangannya ditali. Sebuah mobil melaju, aku bersyukur mobil itu berhenti, tapi Aldi dan preman tersebut masuk ke mobil itu dan mereka melaju. Bodohnya aku ternyata dalam mobil itu adalah teman-teman preman. Dalam sekejap aku berada dalam sebuah rumah tua dan disana terdapat Aldi disekap oleh dua orang preman tersebut. Mereka berkata jika menginginkan uang dari kedua orang tuanya. Aku berpikir bahwa itu bohong karena yang aku tahu orang tuanya hanya mengetahui bahwa anaknya hilang dan polisi masih mencarinya. Ini pasti kejadian tahun lalu, pikirku dalam hati. Aldi terlihat sangat takut. Disana juga terdapat anak-anak lain yang sepertinya juga disekap oleh preman-preman tersebut. Mereka hanya diberi jatah makan sedikit. Pagi hingga sorenya disuruh mengemis di jalanan.
Aku mencatat alamat rumah tua ini dalam pikiranku. Aku akan menyelamatkanmu. Tunggu saja. Lelaki tua itu mendekatiku dan memberikan secarik kertas padaku. Aku tahu bahwa itu adalah mantra untuk kembali ke masa ku yang sebenarnya.
Mataku melihat sekitar, hujan sudah reda. Sepedaku sudah masih berada di tempatnya samula. Aku pulang dengan pikiran yang bingung dengan apa yang telah terjadi padaku. Aku mengerti bahwa lelaki itu meminta bantuanku untuk menyelamatkan Aldi serta anak-anak lain yang ada disana.
Esoknya pulang sekolah aku memberanikan diri pergi ke rumah tua tersebut untuk memastikan kejadian yang terjadi. Aku sengaja tidak mengajak Illy, aku berbohong padanya kalau aku akan pergi ke supermarket sebentar untuk membeli peralatan mandi. Letak rumah tua itu lumayan jauh dari sekolah ku. Aku mengendap-endap mendekati rumah tua tersebut. Aku melihat preman-preman tersebut benar-benar ada. Aku juga melihat Aldi dan beberapa anak yang pernah aku lihat terdapat di pojok ruangan sedang makan seadanya sebagian memberika uang setoran hasil mengemis dan mengamen. Aku mundur karena tidak ingin mereka melihat keberadaanku.
Brakk!!
Aku menabrak meja yang berada di sampingku. Cerobohnya diriku ini. Aku memaki diriku sendiri. Cepat-cepat aku berlari untuk mencari tempat persembunyian. Aku bersembunyi di balik tembok.
“Dayu, apa yang kau lakukan disini? Tempat apa ini?”
“Illy, sedang apa kau disini? Kau diam saja para preman sedang mencariku,” aku menyuruh Illy untuk tetap diam. “Kau akan tahu sendiri nanti apa yang terjadi sebenarnya.”
Preman tersebut tidak menyadari persembuyianku dan Illy, mereka terus saja berlari lurus.
“Syukurlah..” Aku dan Illy merasa lega. Ketika aku dan Illy ingin pergi keluar, seseorang memegang tanganku dari belakang.
“Ada tikus yang terperangkap rupanya. Lumayan dapat dua sekaligus, bisa menambah penghasilan.”
“Lepaskan aku preman jahat. Illy cepat lari sebelum preman yang lain datang.”
“Tapi Dayu.. Aku akan mencari per-“
“Terlambat, aku sudah menangkapmu,” kata preman satunya.
“Angkat tangan,” terdengar suara keras dari kejauhan. Polisi. Untung saja tadi aku sudah menghubungi polisi saat aku sudah tiba disini.
“Lepaskan mereka,” kata para polisi dengan tegas.
Mereka melepaskanku dan Illy. Para preman itu ditangkap dan dibawa oleh polisi. Aldi dan teman-temannya juga terselamatkan. Orang tua Aldi datang dan memeluk Aldi. Ku lihat lelaki tua itu tersenyum padaku. Aku memberankan diri bertanya padanya.
“Kenapa kau memilihku untuk menyelamatkannya?”
“Aku lihat kau selalu memberikan makan pada para pengemis yang tidak punya saat Ramadhan. Jadi aku mengharapkan kau untuk menyelamatkan mereka. Lakukan kedermawananmu itu terus, nak. Semoga kau selalu diberi kenikmatan yang lebih banyak oleh Allah. Terimakasih sudah mau membantu permintaanku,” kata lelaki tua itu seraya menghilang perlahan dari hadapanku. Aku tersenyum pada diriku sendiri. Amin.. Kataku dalam hati.
“Dayu!” sahabatku mengagetkanku dari belakang, menghilangkan lamunanku saat membayangkan Ramadhan tahun lalu.
“Illy, ngagetin saja. Eh, ngomong-ngomong darimana kau tahu aku ada disini?”
“Kau tadi pamit untuk beli peralatan mandi padahal supermarket itu belok kanan, tapi kau malah belok kiri. Aku jadi mengikutimu karena penasaran.”
“Hehehe.. Maaf, Aku tidak pandai berbohong.”
Dua hari lagi Ramadhan tiba. Aku mengingat pesan almarhum kakekku untuk selalu memberi makan saat buka puasa pada orang-orang yang tidak mampu. Orang tuaku juga mengajarkan hal itu sejak kecil karena yakin pasti akan dibalas yang lebih besar oleh Allah di kemudian hari kelak. Hari pertama aku berencana membagikan makanan di panti asuhan dekat rumahku. Aku senang melihat mereka tersenyum dan tertawa.
“Kak, kapan-kapan kesini lagi ya.. Bawa makanan yang enak..” kata seorang anak kecil sekitar umur 5 tahun.
“Doakan saja kakak punya rezeki lebih biar bisa kesini lagi,” jawabku sambil tersenyum.
“Kakak pamit dulu ya, adik-adik, puasanya dijaga terus ya, usahakan puasa sampai maghrib dan ga bolong-bolong sholatnya, assalamualaikum.”
Aku dan keluargaku pulang ke rumah setelah sholat isya dan tarawih bersama di masjid yang terdapat di panti asuhan tersebut.
