Keikhlasan Hati

Oleh: Ela Nurlaela

Jam menunjukan pukul 02.00 dimana udara dingin yang kurasa serasa menusuk tulang, seakan menembus hati yang kian kini tumbuh dengan semangat yang baru. Orang-orang mulai berada di sekitaran masjid di dekat rumahku, entah apa yang mereka lakukan? Aku berfikir tentang apa yang mereka lakukan. Tak lama kemudian ada suara yang terdengar dari masjid di dekat rumahku, bahwa adanya pemberitahuan waktu makan sahur dan shalat tahajud, dan ternyata aku baru ingat kalau hari ini adalah hari pertama mengawali puasa di bulan ramadhan kali ini. Aku bergegas membangunkan ibu yang masih tertidur pulas. Ibu segera bergegas ke dapur untuk menyiapkan sahur pertama, ayah dan adikku segera menuju ke kamar mandi. Terlintas dalam fikiranku apakah ibu dan ayahku lupa bahwa hari ni adalah hari pertama puasa di bulan ramadhan. Entahlah, akupun mengabaikan fikiranku. Aku bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan melaksanakan shalat dua rakaat.

Tak lama kemudian ibu selesai masak dan kami berempat melaksanakan sahur bersama. Waktu menunjukan adzan subuh, dengan tergesa gesa aku menghabiskan makan sahurku dan tak lupa berniat puasa. Ayah dan adikku menunaikan shalat subuh di mesjid sedangkan akau dan ibu shalat subuh di rumah. Setelah shalat subuh aku membereskan tempat tidur dan rasanya sangat malas sekali untuk pergi ke sekolah, ingin rasanya aku tertidur kembali karena jika puasa itu, rasanya lemas. Berbagai halangan menerpaku, tetapi ibu tetap menyuruhku untuk pergi ke sekolah. Ya, aku nurut saja! Toh ini juga untuk kebaikan aku juga. Aku bergegas mandi dan menyiapkan apa yang akan dibawa ke sekolah. Ayah bersiap-siap untuk pergi bekerja, ayahku ada;ah seorang tukang bangunan, begitu juga dengan adikku yang bersiap siap untuk pergi ke sekolah. Setelah semuanya siap, kami berangkat. Adikku diantar ayah ke sekolah dengan sepeda motor yang masih tua, sedangkan aku berangkat ke sekolah naik angkot yang jaraknya tidak begitu jauh dengan rumahku. Tidak lama kemudian angkot yang aku tunggu datang, dan akupun naik. Ketika di angkot, terlintas dalam fikiranku ingin rasanya aku memberikan sepeda motor baru kepada ayah agar sepeda motornya tidak mogok lagi. Tapi kapan? Dengan cara apa? Otakku terasa pusing memikirkan hal tersebut. Ketika angkot yang aku naiki melewati suatu jalan dekat sekolahku, ada seorang bapak-bapak yang berjualan mainan tradisional anak-anak (wayang berbentuk gajah terbuat dari kertas karton) yang usianya lebih tua dari ayahku. Kasihan sekali, aku tak tega melihatnya. Dalam usianya yang tidak lagi muda, dia masih semangat dalam bekerja demi mencukupi keluarga.

Aku teringat ayahku, jika dia nanti tua harus berhenti bekerja dan aku saja yang menggantikannya. Tak terasa angkot yang akau naiki sampai di depan gerbang sekolah, aku stop angkot tersebut dan turun dari angkot dengan begitu saja, aku lari menuju gerbang sekolah. Tiba tiba pengendara angkot memanggil “neng ongkosnya belum”, aku menengok ke belakang dan tersenyum tersipu malu, “o iya maaf bang, saya lupa” akupun bergegas membayar angkot tersebut. Pak satpam yang menjaga pintu gerbang sekolah seketika akan menutup gerbang sekolah karena waktu telah menunjukan waktu masuk kelas, aku lari dengan cepat menuju gerbang dan Alhamdulillah masih diberi masuk oleh satpam. Setelah sampai di kelas aku duduk di bangku paling depan, ketika hari itu pelajaran agama yang dibahas. Guruku menjelaskan mengenai puasa, karena hari ini adalah hari pertama puasa. Entah apa yang dijelaskan oleh guru. Aku tetap memikirkan bapak yang tadi, bagaimana nasibnya jika mainan tradisionalnya tidak ada yang membeli. Zaman sekarang ini, anak-anak jarang sekali memainkan mainan tradisional. Entah apa yang akan terjadi, aku tidak tega melihatnya jika tidak ada orang yang mau membelinya sedangkan keluarganya perlu uang untuk memenuhi kebutuhan sehari harinya. Sudahlah, semoga saja ada yang membelinya. Aku pun fokus kembali ke pelajaran yang dibahas oleh ibu guru, bu guru menjelaskan tentang keutamaan-keutamaan di bulan ramadhan. Dengan penjelasan tersebut aku pun tertarik hati untuk memberikan sesuatu yang berhaga kepada bapak penjual mainan tradisional tadi.

Aku berniat memberikan uang walaupun nilainya tak seberapa, dengan uang tersebut semoga bisa membantu ekonomi keluarganya. Tapi aku bingung, aku tak punya uang sebanyak itu untuk memberi bapak tadi. Akhirnya aku punya ide untuk menabungkan uang jajan ku yang diberikan ayahku, walaupun tak banyak. Tak lama kemudian bel berbunyi, menandakan waktunya pulang. Aku masih berfikir, apakah uang yang aku sisihkan dari uang jajanku cukup untuk memberikan ke bapak tadi? Sepertinya tidak akan cukup. Lebih baik setiap hari uang yang ayahku kasih untuk jajan aku tabungkan semuanya untuk bapak tadi, semoga saja cukup. Aku pun menunngu angkot yang menuju ke rumahku. Aku lihat di sisi jalanan tadi, masih ada bapak penjual mainan tradisional tadi, dagangannya belum ada yang laku, kasihan sekali. Aku semakin sedih melihatnya. Tak lama kemudian akupun sampai di rumah. Sesampai di rumah, aku dan adikku membantu ibu membuat takjil untuk dijual dan dititipkan di warung-warung dekat rumah, ya walaupun tak seberapa penghasilannya tetapi setidaknya dapat membantu ekonomi keluarga. Aku ingin sekali bercerita ke ibu soal bapak tadi, tetapi sepertinya tidak mungkin aku cerita. Yasudah biar aku saja yang tahu soal itu. Lagian ekonomi keluarga kami pun pas pasan untuk kehidupan sehari hari. Setelah takjilnya siap, ibu menyuruhku untuk mengantar kue tersebut ke warung dekat rumah. Ketika sampai di warung, aku melihat bapak yang tadi berjualan, hendak aku mendekatinya dan ingin sekali bertanya dan mengetahui keadaan ekonominya. Aku mencoba mendekatinya dan bermaksud untuk membeli mainan yang ia jual, barang kali adekku suka dengan mainan tersebut. Aku mencoba berjalan ke arah bapak itu, nampaknya dia sedang beristirahat, “Pak, saya mau beli mainan tradisionalnya 2 (mainan wayang)?” ucap saya. “ Iya boleh nak, harga satuannya lima ribu rupiah”. Kalau boleh tahu bapak berjualan dari pagi sudah laku berapa pak?”, “Baru 4, untuk mainan seperti ini sangat susah yang beli nak, mereka inginnya mainan yang modern, bapak tidak punya keahlian lain selain membuat mainan ini” ujar bapak tersebut. Hatiku berkata, dalam seharian ini dia baru dapat uang dua puluh ribu rupiah. Uang segitu mana cukup untuk makan sehari, apalagi sekarang lagi bulan ramadhan dimana harga sembako naik melambung tinggi. Hatiku semakin yakin kalau uang yang aku niatkan untuk dikasih ke bapak tadi semoga dapat membantu ekonominya dalam kesehariannya. Tapi di sisi lain aku juga ingin membantu ayah untuk mempunyai sepeda motor baru agar ayah tidak terlambat lagi ke tempat kerja. Masalahku semakin bertambah, aku bingung. Apa yang harus aku lakukan. Semalaman aku memikirkan hal itu. Keesokan harinya aku berangkat lagi sekolah seperti biasa, aku lihat bapak tersebut masih ada di tempat dagangnya yang biasa. Aku salut sama bapak tersebut walaupun yang belinya hanya sedikit tapi semangatnya luar biasa. Setelah beberapa minggu, Alhamdulillah uang yang aku kumpulkan untuk bapak tersebut terkumpul, aku berniat untuk memberikannya pada sore hari dimana dekat warung tempat aku menitipkan takjil ibu.

Pada sore itu, seperti biasa aku mengantarkan takjil ke warung tempat penitipan takjil, karena takjil buatan ibuku sering dibeli untuk berbuka puasa. Pada saat itu ada bapak penjual mainan ltradisional, aku berniat untuk membeli mainan tersebut dan berniat untuk memberikan uang yang aku kumpulkan dari uang jajanku, walaupun tak seberapa. Aku menghampirinya, “mau beli mainan nak?” Tanya bapak tersebut. “iya pak” jawab saya. Aku pun membeli mainan seperti biasa 2 mainan. Dan mencoba memberikan uang yang aku kumpulkan. Ketika aku memberika uang tersebut, bapak itu keheranan da bertanya “Ini apa nak?”, “Ini ada sedikit rezeki buat bapak, semoga dengan ini dapat membantu ekonomi keseharian bapak” ucapku. Begitu bahagianya bapak tersebut, hatiku pun tenang karena bisa berbagi sedikit rezeki. Di fikiranku masih terlintas dengan sepeda motor ayah yang sudah lapuk itu, Bagaimana caranya aku bisa memberikan sepeda motor baru kepada ayah, uang jajanku masih diberi oleh beliau. Ketika di warung tempat aku menitipkan takjil ibuku, aku melihat sebuah bungkus makanan yang bertuliskan hadiah sepeda motor, itu pun jika beruntung. Apa salahnya jika aku mencoba membeli produk tersebut, semoga saja beruntung. Aku pun mencoba membelinya, tetapi ketika di kemasannya di buka tidak ada kata kata hadiahnya. Mungkin belum saatnya aku memberikan sepeda motor ke ayah. Tapi nanti ketika aku sudah punya uang sendiri dan bekerja mungkin bisa membelikan sepeda motor baru buat ayah. Setiap hari ketika mengantar takjil, aku terus mencoba untuk membeli produk tersebut siapa tahu keberuntungan berpihak padaku. Setelah beberapa hari aku membeli produk tersebut, pada hari ke 16 aku membeli produk tersebut ternyata ada tulisan “selamat anda mendapatkan sebuah sepeda motor”, sontak akupun kaget membacanya, benarkah ini atau hanya sekedar mimpi saja. Aku berlari dengan cepat pergi ke rumah dan berbicara pada ibu mengenai hal tersebut tanpa memberi tahu ayah terlebih dahulu karena ayah masih di tempat kerja. Tak lama ibu menyuruhku untuk menghubungi nomor yang tertera di dalam kemasan tersebut. Tanpa berfikir panjang, aku langsung menghubungi nomor tersebut dan memberi tahu alamat rumahku, tetapi pemberian sepeda motor tersebut dalam jangka waktu satu minggu dari pemberian informasi mengenai hadiah tersebut.

Setelah satu minggu kemudian, tepat pada sore hari menjelang berbuka puasa, ada dealer motor yang mengantarkan sepeda motor menuju rumah kami. Ayah terheran-heran dengan kejadian ini, ayah kaget karena ayah tidak pernah memesan sepeda motor baru. Selepas dealer tersebut sampai di rumah kami, dealer tersebut menjelaskan bahwa sepeda motor tersebut adalah hadiah dari produk yang dibeli oleh putri bapak, pada minggu yang lalu dan bapak berhak mendapatkan sebuah sepeda motor baru. Ayahku kaget mendengar pernyataan itu, ibu pun menjelaskan kembali kepada ayah mengenai apa yang terjadi pada saat itu. Tak lama kemudian, aku pun bercerita kepada ayah mengenai apa yang ingin aku berikan kepadanya dan aku ceritakan pula mengenai pedagang yang aku kasih uang tersebut. Semoga hadiah sepeda motor tersebut dapat menjadi hal yang paling berharga di bulan ramadhan kali ini, dan semoga hadiah sepeda motor tersebut dapat bermanfaat bagi keluarga kami terutama ayah yang sedang mencari nafkah.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *