Kejutan Tuhan

Oleh: Muhammad Ahlun Nazar

Derit suara engsel pintu kamar kos yang mulai menua, membuyarkan konsentrasi Dimas yang sedang menyelesaikan pekerjaan di depan laptop. Ia spontan menoleh ke arah pintu dan mendapati seorang pemuda berusia 21 tahun dengan muka kusut masuk ke dalam kamar, lalu membanting kembali pintu dari dalam. Pemuda bermata sipit itu mendekat lalu merebahkan tubuh di tempat tidur yang berada persis di sebelah Dimas yang sedang keheranan melihat tingkahnya yang tidak jelas.

“Kamu kenapa sih, Han? Kebiasaan banget. Nggak pulang kuliah, nggak pulang kerja, sama saja selalu dengan wajah cemberut!” tanya Dimas jengkel.

“Bagamina nggak bete? Baru bulan kemarin gajiku di potong gara-gara pendapatan toko menurun. Malah sekarang ada pengurangan karyawan dan aku yang menjadi korbannya!” cerita Yohan bersungut-sungut.

“Sudah-sudah, tidak perlu marah-marah, nanti puasamu batal! Lebih baik kamu berdoa saja, semoga mendapat pekerjaan baru yang lebih baik!” hibur Dimas mendoakan yang spontan diamini Yohan, “aku saja yang setiap hari ditolak penerbit, tidak pernah emosi. Kenapa kamu yang baru menghadapi masalah seperti ini saja sudah seperti orang yang habis kebakaran jenggot! Hidup itu butuh perjuangan, Guys!” lanjutnya memotivasi.

Yohan mengangguk dan tersenyum lega. Seperti ada sesuatu yang kembali membakar semangatnya yang telah padam. Matanya berbinar-binar umpama bulan purnama temaran. Ia mendudukkan badannya dan merapat ketubuh Dimas lalu menepuk-nepuk pundak teman karibnya itu, “terima kasih,Guys. Kamu adalah the best motivatorku!” ujarnya penuh keriangan.

Dimas tersenyum geli melihat tingkah sahabatnya yang tiba-tiba berbalik 180 derajat, “lebih baik kamu sekarang mandi deh! Badanmu bau banget! Terus nanti habis kamu mandi, kita keluar mencari makanan untuk berbuka puasa. Aku mau menyelesaikan ceritaku dulu, sedikit lagi beres!” sarannya yang langsung di respon Yohan dengan acungan jempol tanda setuju, lalu bangkit dan pergi ke kamar mandi.

aaaaa

Lembayung sore menyapa hari, mengguratkan garis-garis indah keemasan di langit peraduan. Tiupan angin senja pun berhembus mengiringi langkah dua orang pemuda di depan toko swalayan kota yang mulai dipadati oleh pembeli.

BRAAKK…

“Suara apaan tuh, Han?” Dimas mengentikan langkahnya.

Yohan ikut berhenti dan mengedikkan bahu tanda tak tahu.

Astaghfirullah…!” Dimas terkejut saat menoleh ke belakang dan mendapati seorang pria paruh baya tergeletak di tengah garis zebra cross yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Yohan ikut terkejut dan lebih reflek mengejar mobil penabrak yang melarikan diri, “berhenti woi…!” teriaknya. Namun mobil Kijang putih itu tak menghiraukannya dan justru semakin cepat menjauh. Ia memutuskan berhenti dan kembali.

“Kita harus membawanya ke rumah sakit, Han. Cepat cari taksi!” perintah Dimas dengan wajah cemas.

Setelah Yohan kembali dengan membawa taksi, mereka langsung memasukkan tubuh pria paruh baya yang tak sadarkan diri itu dengan dibantu oleh beberapa orang lainnya.

“Kamu pakai motor ke rumah sakit. Aku akan ikut taksi ini!” ujar Dimas yang ikut masuk taksi dan menutup pintu.

“Oke!” Yohan mengangguk.

Dan taksi pun langsung melesat dengan cepat.

aaaaa

“Bagaimana, Mas?” Yohan datang dengan membawa bungkusan plastik di tangannya lalu duduk disebelah Dimas di kursi tunggu ruang UGD, “ini makanan untuk buka puasa!” ia memberi bungkusan itu kepada Dimas.

Dimas menerimanya, “masih dalam pemeriksaan dokter!” jawabnya.

“Sudah kamu hubungi keluarganya?”.

Dimas mengangguk, “istrinya akan kemari!”.

“Mas, kenapa sih kita yang harus menolongnya?” Yohan mengalihkan topik pembicaraan.

Astaghfirullahaladzim…kenapa kamu bertanya seperti itu?” Dimas menatap kawannya itu. Heran, “kita saat ini sedang dalam posisi berbuat kebaikan, kenapa harus disesalkan. Apalagi sekarang kita di bulan Ramadhan. Bulan dimana semua pahala dilipat gandakan, apakah kita akan menyia-nyiakannya? Ingatlah Allah selalu bersama hambanya yang suka berbuat ihsan” jelasnya panjang lebar.

Yohan mengangguk faham.

Pintu ruang UGD dibuka dari dalam dan muncul seorang pria berkacamata dengan seragam putihnya.

“Bagaimana keadaannya, Dok?” Dimas menghampirinya.

“Pasien mengalami cedera di otaknya karena benturan keras di bagian kepalanya dan harus segera di lakukan operasi untuk terjadinya kelumpuhan pada tubuh pasien. Silahkan mengurus administrasi terlebih dahulu untuk biaya operasi!” jelas Dokter tenggang itu.

“Baik, Dok!” Dimas mengangguk lalu kembali ke kursi.

“Bagaimana, Mas?” Yohan penasaran.

“Akan dilakukan operasi karena terjadi cedera pada otaknya!”.

Belum Dimas melanjutkan penjelasannya, namun seketika seorang wanita berkerudung biru muda dan berbusana muslimah menghampirinya. Wajahnya teduh dan matanya sepertinya habis menangis. “Benar dengan dik Dimas?” tanyanya memastikan.

“Iya saya Dimas,Bu!” jawab Dimas sambil tersenyum, “Ibu istrinya bapak Bambang Prihadi, benar?” lanjutnya bertanya.

Wanita itu mengangguk dan mengajak Dimas dan Yohan berjabat tangan.

Dimas langsung menceritakan kejadian kecelakaan hingga membawanya ke rumah sakit kepada wanita tersebut.

“Terima kasih, Dik Dimas!” wanita itu tampak menahan kesedihannya dan memaksakan untuk tersenyum kepada Dimas.

aDimas mengangguk,”sudah jadi kewajiban kami sesama muslim untuk saling menolong!” ujarnya.

Wanita itu kembali mengangguk dan tersenyum, “kalau adik-adik mau pulang, gak apa-apa! Biar ibu sendiri! Kalian pasti memiliki pekerjaan lain!” wanita itu mengambil kartu putih dan beberapa lembar uang, “ini kartu nama ibu, jika perlu apa-apa silakan hubungi ibu dan ini ada beberapa uang, ambillah!”

“Tidak, Bu, kami menolongnya dengan ikhlas. Simpan saja uang untuk pengobatan pak Bambang!” Dimas hanya mengambil kartu namanya, “ini nomor saya! Jika ibu butuh sesuatu silakan hubungi saya, Bu!” Dimas menyodorkan sesobek kertas.

Wanita itu menerima sesobek kertas itu dan kembali memasukan uangnya, “sekali lagi terimakasih, Dik!”

Dimas dan Yohan mengangguk dan pamit pulang.

aaaaa

Seminggu setelah Idhul Fitri.

“Aku bingung, Mas, bagaimana harus mendapatkan uang. Sebentar lagi ujian akhir semester dan aku belum melunasi tunggakan kampus!” keluh Yohan, “Kenapa Allah selalu memberikan cobaan ketika kita mendapat kesusahan. Sawah Ambu di kampung sedang terserang hama hingga gagal panen, dan aku disini kehilangan pekerjaan. Apakah aku harus melakukan cara haram?” lanjutnya bersungut-sungut.

“Astagfirullah… Allah tidak sejahat itu, Han! Percayalah Allah memberikan cobaan tidak melebih batas kemampuan hambanya. Allah akan menolong kita jika kita tetap berusaha lurus pada jalan-nya!” tipal Dimas menasehati.

“Terus kita harus bagaimana?” tanya Yohan.

“Berdoalah kepada Allah agar kita  selalu diberikan kemudahan dalam mengatasi setiap masalah yang kita hadapi. Innallaha ma’as shobirin!” Dimas menepuk pundak sahabatnya itu, “Yuk , kita sholat isya’ dulu!” lanjutnya mengajak.

Suasana kamar kos kala itu begitu suntuk.

Setelah menunaikan sholat isya’. Tiba-tiba ponsel Dimas berbunyi diatas meja. Dimas meraihnya dan melihatnya. Satu panggilan dari bu Risma, istri pak Bambang. Dimas mengangkatnya dan mengucap salam. Sekitar sepuluh menit Dimas berbincang-bincang dengan suara di seberang telepon.

Alhamdulullah!” Dimas tersenyum-senyum bahagia setelah menutup telepon itu, “Alhamdulillah, Han! Kita mendapat pekejaan baru!” ujarnya. Yohan menatap tidak mengerti, “?”

“Pak Bambang, orang yang dulu pernah kita tolong. Menawari kita untuk berkerja di kantornya. Aku ditawari menjadi editor di toko percetakanya, kamu di tawari menjadi karyawan di toko bukunya!” cerita Dimas.

Yohan tetap tak percaya dengan berita itu, “benarkah?”

Dimas mengangguk, “Itu pun kalau kita mau. Kita disuruh untuklangsung ke rumahnya besok pagi!”

Yohan tersenyum. Di hatinya berbunga-bunga, “tentu saja aku mau. Kamu benar Mas, Allah akhirnya membantu kita. Ini adalah kejutan, tuhan yang telah dipersiapkan untuk kita. Kini aku yakin bahwa Allah selalu membantu hambanya yang mau meminta pertolongan padanya. Alhamdulillah…!”

Alhamdulillah...!”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *