Oleh: Lina Triwahyuni
Dua minggu lalu kunikmati lembutnya sinar purnama dibawah naunagan jembatan perkasa. Sinarnya mempesona memanjakan netra seraya membuaiku memberikan semangat untuk merealisasikan impian. Aku ingin mengubah ironi itu menjadi kenyataan yang membanggakan. Walau dengan tangan yang kotor dan lemah tapi aku yakin pasti bisa menaklukkannya. Kini kidung merdu suara ayat-ayat suci ramai terdengar. Menjadi pengalun pengantar tidur untuk menggapai cakrawala impian.
Bulan tipis mengembang temaram pertanda bulan lalu telah usai kini aku akan bergelut di bulan yang suci, bulan Ramadhan. Ucapan syukur mengalir merdu, Allah Sang Pemilik Nyawa masih memperkenankanku untuk melewati bulan yang penuh berkah. Semua umat muslim tersenyum merekah menyambut bulan ramadhan. Mereka bersemangat menjalaankan amalan-amalan. Mengejar Lailatul Qodr adalah tujuan. Paling utama adalah mendapat keridhoan dari Allah serta syafaat Rasulullah.
Usai sholat tarawih pada Ramadhan pertama aku duduk dibawah langit kelabu. Aku tak tau harus sedih atau berbahagia. Bibirku ingin merapal kata lelah namun kalbuku melarangnya.
“banyak orang yang jauh lebih sengsara ketimbang aku dan adikku, aku harus kuat dan selalu bersyukur “ ujarku meyakinkan hati.
“kak, kakak kok disini. Kakak gak tidur? “ senandung tanya adikku mengejutkan
“mmm kakak belum ngantuk “ kataku dengan sunggingan senyum menutupi kesedihanku.
Kami adalah dua orang anak perempuan yatim piatu yang berjuang dalam terpaan badai kehidupan. Tidak ada tangan kokoh yang melindungi raga mungil kami. Terluka, terisak, ketakutan acapkali menjadi bagian hidup kami. Kami berjuang mengisi perut kecil supaya esok bisa bangun menikmati hari. Begitulah seterusnya hari-hari kelabu kami lewati.
“adekkk… Bangun! “ seruku pada Rani adikku.
“iya kak” jawabnya malas diatas lapisan kardus yang kami gunakan sebagai alas tidur.
“ayok sahur, kita sholat shubuh bentar lagi” pintahku sambil menarik lengannya.
“emang kita punya makanan kak. Kalau kita puasa apa kita kuat kak dibawah lampu merah jualan koran belum lagi kita harus ngamen” sambung Rani
“Allah yang kasih kita tenaga. Kita pasti bisa, yuk makan kakak udah beli roti” sahutku lembut menasehati.
Kami makan dengan lahapnya. Aku tak kuasa melihat adikku yang makan begitu lahap pasti dia amat kelaparan. Tubuhnya dekil bajunya kotor karena debu jalanan. Setelah makan kami tunaikan sholat shubuh di mushoka dekat gubug kami. Lepas sembayang ku ajarkan adikku mengeja huruf-huruf hijaiyyah dan menghafalkan surah pendek sebisa kami. Kami tidak pernah mencicipi bengku sekolahan, aku bisa membaca dan menulis karena dulu ada teman yang senasib sama dengan kami mengajarkannya. Sekarang ia sudah hidup dengan layak karena ada orang yang berkenan mengangkatnya menjadi anak angkat. Sedangkan kami berdua masih setia menghirup debu jalanan dan bersahabat dengan dinginnya udara malam. Di mushola kecil ini aku belajar mengaji dan ilmu agama lainnya. Aku dapatkan ilmu itu secara Cuma-Cuma karena ada seorang ustadzah berhati malaikat mengajarkan kami dengan penuh kesabaran. Dan sekarang giliranku, walaupun tidak banyak yang kutahu setidaknya aku dapat membaca buku-buku dan menuliskan apa yang ada dipikiranku di dinding kardus tempat tinggal kami. Aku belajar sholat, hukum-hukum islam dan aku juga mengetahui kisah-kisah nabi terdahulu.
Aku suka matematika tapi sangat sulit bagiku untuk mendapatkan pelajaran matematika dibangku sekolah dan aku berfikir itu hanyalah delusi belaka yang tak akan terwujud. Aku terapkan ilmuku dalam kehidupanku yang bertabur debu. Kuajarkan adikku mengenal bagaimana mulianya Islam. Aku terapkan ilmu matematikaku saat berdagang koran. Walaupun umurku hanya 12 tahun aku tidak dapat dibodoh-bodohi saat pelangganku kurang dalam memberikan kembalian uang.
Aku tersenyum bersemangat menyongsong sang fajar yang jingga dan menakjubkan. Hari ini aku dan adikku harus kembali melalangbuana dijalanan untuk mengumpulkan recehan rupiah. Tanpa alas kaki kapi tapakkan kaki diaspal yang panas, keringat bercucuran menguras tenaga. Ketika adzan dzuhur berkumandang aku berhenti dan berteduh dibawah pohon rindang. Rasanya dahagaku kering kerontang karena matahari sanagt bersemangat bersinar menghangatkan bumi. Beberapa lembar rupiah dan kepingan receh berhasil aku kumpulkan.
“Alhamdulillah bisa membeli makanan untuk berbuka nanti “ ucapku senang.
Ada keramaian yang menarik hatiku untuk mencari tahu ada apakah geranagan disana. Ku ayunkan kakiku menuju ke keramaian itu.
“ada pengajian” gumamku.
Aku senang sekali karena dengan mendengatkan kajian aku dapat ilmu baru. Diam-diam aku bersembunyi dibalik semak mendengarkan kajian yang dipimpin oleh seorang ustadz.
“ibu-ibu, bapak-bapak kenakanlah jilbab pada anak-anak perempuan kita. Biasakanlah anak-anak kita menutup aurat. Jika selangkah saja anak perempuan kita keluar tidak menutup aurat maka selangkah pula bapaknya jatuh ke neraka” ujar sang ustadz pada hadirin kajian.
Aku sontak terkejut mendengar hal tersebut. Menyadari hak itu aku merasa menjadi manusia yang palinh berdosa karena aku pergi kemana-mana tanpa mengenakan jilbab. Ya Allah ampunillah aku.
Setelah berbuka aku menceritakan hal yang kudengar tadi pada adikku.
“kita kan tidak punya uang kak, baju saja hanya punya 2. Setelah dicuci kita gunakan lagi. Lihat baju Rani sudah bolong kak. Rani mau baju baru buat lebaran nanti “ ringiknya pelan.
Aku semakin kebingungan, bagaimana membeli baju membeli jilbab satu saja sangat berat bagi kami. Mungkin jika kami menahan lapar berhari-hari maka kami akan dapatkan baju.
Pagi ini matahari redup menyinari sepertinya ia sedang pilu sama dengan denganku yang sedang sendu. Pikiranku tak henti-hentinya memikirkan kata-kata ustadz tadi.
“ah apakah nanti kajian itu ada lagi ya aku kesana lagi deh” kataku dengan senyuman.
Diam-diam aku mengintip dan melihat apakah ada kajian seperti kemarin atau tidak.
“aaa ada kajian lagi yeeeey” teriakku senang.
Dibalik semak aku diam-diam mendengarkan.
“jadi bersedekah itu hal yang baik. Allah sayang pada orang yang bersedekah. Pada rezeki yang kita dapatkan ada terselip rezeki orang lain. Apakah hal otu juga berlaku padaku” tanyaku keheranan memaknai ucapan sang ustadz.
Diperjalanan pulang aku menggenggam beberapa receh dan helaian rupiah. Aku bingung apakah aku harus bersedekah dulu atau aku menabung mengumpulkan uang untuk membeli baju baru di lebaran nanti. Aku tersentak melihat seorang nenek tertatih lemah
“nek saya bamtu ya” lataku menawarkan bantuan.
Sepertinya nenek ino snagat kelaparan. Wajahnya pucat sekali.
“nenek lapar ya? “ tanyaku pada nenek tersebut
Nenek itu tidak menjawab ia hanya memandangku dengan linglung. Sebenarnya aku cukup takut tapi apakah nenek yang lemah seperti ini bida mencelakakan pikiranku demikian. Aku melihat recehan yang sedang ku genggam dan teringat akan kata-kata ustadz tadi.
“nenek tunggu sebentar ya” kataku sambil menyandarkan nenek di bawah pohon.
Aku pergi ke warung terdekat membeli minum dan beberapa roti. Lalu keberikan nenek itu minum. Ia terlihat sangat kehausan belum lagi kutawarkan roti ia sudah menyambar roti itu kemudian melahapnya. Derai air mataku mengalir melihat nenek yang malang ini. Ia sudah tak berdaya dan harus menahan lapar yang menyiksa. Tidak ada lagi rupiah yang kugenggam berarti tak ada makanan kami untuk berbuka nanti. Aku berharap pada adikku mudah-mudahan ia pulang membawa makanan.
Adzan berkumandang berarti waktu buka sudah tiba. Aku meneguk air dari kran mushola yang sering kami kunjungi. Walaupun waktu berbuka disana sangat ramai, ternyata ada buka bersama disini gumamku sepi. Perutku sangat lapar sekali dan adikku tak kunjung pulang. Saat melangkahkan kaki hendak menyusul adikku ada yang memanggiku.
“dek mau kemana mari berbuka bersama “ kata seorang ibu berjilbab biru.
Aku melihat bagaimana tubuhku yang kotor dan harus menginjakkan kaki di tempat suci itu. Aku menolaknya
“maaf bu badan saya kotor” kataku lesu.
Ibu berjilbab biru memandangku danengatakan tunggu sebentar. Ia kembali lagi membawakan bungkusan nasi dan aneka takjil. Aku senang sekali menerimanaya. Aku mengucapkan terima kasih pada ibu berjilbab biru. Saat hendak melangkahkan kaki beranjak meninggalkan mushola ibu tersebut menarik lenganku. Ia memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab. Hatiku amat bahagia sekali menerimanaya. Ribuan terima kasih kuucapkan pada ibu. Aku bersujud bersyukur pada Allah telah melimpahkan rezeki tanpa disangka-sangka.
“Ya Allah tetima kasih. Berarti bener kata pak ustadz Allah pasti gantikan semuanya bahkan berlipat – lipat.. Alhamdulillah “ kataku bersyukur.
Aku pulang menuju gubug kami dengan hati yang riang. Kulantunkan sholawat nabi berharap mendapatkan syafaat dari rasulullah untukku dan adikku.