Oleh: Arin Khurota A’yun
Alkisah di suatu zaman Rasulullah SAW, hiduplah seorang pemuda dari kaum Bani Isroil. Pada awal bulan Ramadhan tahun 9 Hijriah, pemuda tersebut berjalan menyusuri jalan setapak dengan memikirkan sejuta beban hidupnya. Pemuda itu bertanya-tanya, Mengapa Allah memberikan cobaan yang begitu berat kepadanya. Ternaknya banyak yang mati, kebunnya banyak yang kering, dan untuk minum saja begitu sulit baginya.
Pemuda itu terus berjalan hingga tak sadar ia telah begitu jauh dari rumahnya. Karena kelelahan, ia berhenti sejenak untuk beristirahat. Masih dengan muka lesu dan letih, ia menatap ke arah langit berharap menemukan rizki baik dari Allah SWT. Tetapi, pada akhirnya ia bosan dan tertidur karena kelelahan.
Tak berselang lama, ia terbangun karena mendengar suara yang samar. Ia duduk memperhatikan sekitarnya dan mencoba mencari asal suara itu. Ternyata, suara itu berasal dari sebuah mendung yang berarak di langit yang mana mendung itu akan menurunkan hujan di sebuah kebun orang yang saleh. Karena penasaran, ia berjalan mengikutinya. Kemudian ia melihat mendung itu benar-benar berhenti di sebuah kebun. Sepintas ia merasa iri dengan kebun itu karena terlihat begitu hijau dan rindang, bahkan terlihat pula ternak yang gemuk di beberapa kandang. Keadaan yang sungguh berbeda dengan yang dimilikinya sekarang.
Namun, yang paling membuat ia keheranan adalah ketika mendung itu menurunkan hujan tepat di kebun tersebut. Ia semakin penasaran, kenapa kebun ini begitu diistimewakan oleh Allah SWT. Ia pun mencari si pemilik kebun hendak bertanya sesuatu. Setelah kesana-kemari mencari, akhirnya ia dapat bertemu dengan pemilik kebun itu. Dijumpainya pemilik kebun yang begitu ramah dan sopan. Tutur kata dan akhlaknya begitu mulia. Bahkan pemilik kebun itu mencerminkan banyak rasa syukur dalam dirinya.
“Ya rojul, Maa Ismaka ?” Tanya pemuda itu pada pemilik kebun.
“Kenapa engkau bertanya namaku, namaku bukanlah hal yang istimewa,” pemilik kebun itu menolak untuk menjawab tentang namanya.
“Baiklah, wahai Fulan, aku ingin bertanya padamu mengenai suatu hal, bolehkah ?”
“Insyaallah, selama aku mampu menjawabnya, maka akan aku jawab !”
“Ya fulan, aku penasaran dengan amalan yang telah engkau perbuat selama ini sehingga Allah menurunkan nikmat hujan tepat di atas kebunmu, bahkan kurasa Allah mengistimewakan engkau?”
“Wahai pemuda, selama ini yang kulakukan hanya mensodakohkan hasil panenku untuk Allah. Sepertiga untuk diriku makan, sepertiga untuk mengelola kebun, dan sepertiganya lagi kuserahkan untuk Fisabilillah.”
Mendengar jawaban pemilik kebun itu, sang pemuda merasa heran. Apakah pemilik kebun ini tidak mengambil sebagian harta untuk menabung. Apakah ia tidak khawatir apabila di masa depan ia mendapat kesulitan yang seperti dialaminya sekarang.
“Wahai pemuda, aku tidak ingin menyimpan hartaku terlalu banyak hanya untuk harta dunia, akan tetapi aku lebih senang apabila aku menyimpan harta untuk tabungan akhirat kelak. Aku yakin itu lebih baik dan tidak akan memelaratkan terhadap diriku sedikitpun. Kenapa ? Sederhana, Allah itu kaya, kaya ilmu, juga kaya harta. Bagaimanakah denganmu wahai pemuda ? dan mengapa engkau bertanya hal ini ?” sambung si pemilik kebun seakan membaca pikiran sang pemuda.
Mendengar jawaban pemilik kebun itu, si pemuda merasa dirinya begitu bersalah. Selama ini ia menyalahkan Allah bahwasanya Allah tidak adil terhadap dirinya. Padahal, selama ini sesungguhnya Ia yang salah. Sebelum kebunnya mengalami kondisi yang jelek seperti yang Ia alami sekarang, ia tidak pernah ingat untuk membela dalam jalannya Allah ketika ia dalam kenikmatan yang baik. Ia suka berfoya-foya dan menghamburkan harta. Ia menyimpan hartanya hanya untuk dunia, tanpa pernah menabung untuk kehidupan akhirat kelak. Namun, ketika Allah telah mengambil kembali nikmatnya, ia kembali mengingat pada Allah berharap agar nikmatnya dikembalikan lagi padanya. Hingga akhirnya, ia kufur nikmat dan menyalahkan bahwasanya Allah tidak adil.
“Sadarilah, wahai Pemuda, nikmat yang Allah berikan itu adalah cobaan pula bagi orang yang beriman. Mungkin ketika itu Allah sedang mencobamu dengan memberikan nikmat yang banyak padamu, untuk mengetahui apakah engkau akan bersyukur atau malah kufur dengan nikmat itu. Lagipula, dunia itu hanya bak setetes air dari luasnya samudra. Perbaikilah dirimu wahai pemuda, jangan terlena dengan nikmat dunia !” Pemilik kebun itu membuat hati sang pemuda tergerak. Semua yang ia katakan adalah jawaban atas keraguan yang selama ini menggunduk dalam hati pemuda itu. Tanpa sadar, pipi pemuda itu basah oleh tetesan air mata. Ia merasa terselamatkan karena selama ini ia belum sadar bahwa ia telah mengkufuri nikmat Allah. Namun, Allah masih menyayangi dirinya dan pemuda itu merasa bahwa Allah menegurnya dengan mempertemukan dengan pemilik kebun saleh ini.
Pemuda itu pun kembali ke rumahnya dan berusaha untuk memperbaiki dirinya. Ia berusaha agar kebun dan ternaknya kembali seperti semula dengan niat untuk beribadah kepada Allah. Ia bertekad untuk mensodakohkan setengah hasil panennya untuk Sabilillah dan seperempat untuk makan dan seperempatnya lagi untuk mengelola kebun seperti yang telah dikatakan oleh pemilik kebun waktu itu.
Akhirnya, apa yang dikatakan pemilik kebun itu adalah sepenuhnya benar. Allah mengembalikan semua nikmat yang semula diambil oleh Allah darinya. Bahkan, kali ini tak ada bentuk kemelaratan apapun yang menimpa terhadap dirinya. Bahkan, dalam hatinya terasa lebih tenang, walaupun tidak mempunyai simpanan harta yang banyak. Alasannya sederhana, Allah telah menjamin semua keperluan dunianya. Itulah yang ia yakini.
Tepat ketika malam qodar, ia berniat memberikan sedekah dan beberapa infaq untuk orang-orang dhuafa’ dari hasil panen kebun dan ternaknya. Karena di bulan penuh berkah ini adalah waktu yang sangat baik untuk melaksanakan kebaikan, sebab Allah melipatkan pahala kebaikan sepuluh kali lipat bahkan lebih baik daripada seribu bulan. Ia berencana mendatangi desa dimana ia dapat menjumpai rumah sang pemilik kebun dahulu yang telah memberikan nasihat padanya. Ia ingin mengucapkan banyak terima kasih karena telah memberikan nasihat yang bermanfaat untuknya.
Setibanya di desa, pemuda itu begitu bahagia karena menerima banyak senyuman dan terima kasih orang-orang yang begitu tulus menerima pemberiannya. Suasana ceria dan cerah menghangatkan bulan Ramadhan kali ini. Sepintas Ia bergumam,”sesungguhnya kaya yang hakiki itu bukan dari apa yang kita miliki ternyata, melainkan dari apa yang bisa kita beri”. Hatinya terasa lebih lega dan senang. Wajah pemuda itu terlihat cukup bahagia karena aura yang terpancar sungguh mencerminkannya.
Seusai itu, Pemuda itu berjalan menuju rumah pemilik kebun. Tetapi, ketika ia menjumpai pemilik kebun, ia keheranan karena pemilik kebun itu tidak mengenalnya. Bahkan itu adalah pertemuan pertama kali baginya dengannya. Kemudian, sang pemuda pamit untuk pergi. Ternyata beberapa bulan yang lalu, pemilik kebun yang asli sedang perjalanan ke luar desa untuk suatu kepentingan. Ia pun tambah heran. Lalu siapakah pemilik kebun yang ia jumpai beberapa bulan yang lalu. Jangan-jangan…. Tetapi, perjumpaannya dahulu dengan seorang pemilik kebun yang saleh itu adalah karunia dari Allah. Mungkinkah itu malaikat utusan Allah untuk memberikan nasihat kepadanya atas kekhilafan sang pemuda beberapa waktu lalu. Ia pun kembali ke rumahnya dengan tersenyum-senyum ria. Nampaknya, hatinya begitu bahagia dan lega. Allah benar-benar menyayanginya, walaupun ia banyak salah.