Oleh: Nita Maediana Rusmawati
Seperti biasanya, stasiun Tanah Abang selalu padat. Terlebih ketika petang, pada jam-jam orang pulang kerja. Mayoritas pengguna commuter line menanti kereta tujuannya tiba dan langsung naik berhimpitan dengan penumpang lain. Tak terkecuali aku.
Hari ini adalah hari kelima puasa, namun hari pertamaku kembali masuk kerja setelah empat hari yang lalu libur awal Ramadhan. Begitu tukang ojek online menurunkanku di depan stasiun Tanah Abang, aku langsung cekatan, berlari-lari mengantre tiket commuter line jurusan stasiun Serpong.
Setelah tiket sudah dipegang, aku kembali berkejaran dengan penumpang lain menuju ke peron dua. Beruntung, kereta jurusan Serpong sudah tersedia di peron dua, jadi aku tak perlu menunggu lagi meskipun kondisi kereta sudah penuh sesak.
Di dalam kereta aku berjalan dari gerbong ke gerbong mencari celah bangku kosong untuk kududuki jika aku beruntung. Tapi sepertinya aku tidak seberuntung yang kukira. Akhirnya kuputuskan untuk berdiri di dekat pintu saja.
Puasa di hari pertama kerja sangat melelahkan. Sebenarnya kemarin aku sudah terserang flu selama dua hari. Tadi pagi setelah sholat Subuh, Ibu bilang sebaiknya aku istirahat dan tidak memaksakan masuk, namun pekerjaanku sudah menumpuk. Akhirnya, beginilah aku sekarang, dengan kondisi kepala yang cukup berat kupaksakan berdiri untuk perjalanan yang akan memakan waktu hampir satu jam ke depan.
HACHIM!
“Yarhamukillah,” seru seorang lelaki yang berdiri di sampingku. Aku menoleh ke arahnya, ia tersenyum. Karena wajahku tertutup masker, aku mengangguk pelan, sebagai tanda terima kasih.
Mataku teralih pada Macroad, TV yang terpasang di commuter line yang menyajikan banyak tayangan ringan. Saat itu tayangan yang disajikan adalah tentang lima makanan untuk buka puasa yang sehat. Sesaat kemudian aku baru sadar kalau lupa membeli makanan untuk berbuka di kereta, bahkan aku juga tak membawa air mineral kemasan gelas dari kantor. Tadi di stasiun Tanah Abang aku sudah kepalang buru-buru. Ah, bagaimana ini?
Tak berselang lama, tayangan pada TV mengumumkan sudah masuk waktu berbuka, diiringi adzan Maghrib wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Semua orang dalam kereta menyambut dengan senang dan mengucapkan hamdalah. Tak terkecuali lelaki di sampingku tadi. Tapi aku tak tahu harus bagaimana. Aku pasrah jika tak ada yang menawarkan makanan atau minuman, mungkin harus berbuka lebih telat.
“Buat berbuka, mbak,” kata lelaki tadi, memberikan air mineral kemasan gelas dan tiga biji kurma. “Nggak banyak, tapi cukup untuk membatalkan puasa,” tuturnya lagi.
Aku menerima pemberiannya, lalu membuka maskerku dan mengucapkan terima kasih.
“Saya lupa beli makanan untuk buka puasa tadi,” ceritaku.
“Biasa terjadi, mbak, apalagi kalau hari pertama masuk kerja, hehe…,” tuturnya.
“Iya, mas, makasih banyak ya.”
Obrolan ringan itu berlanjut. Kami berkenalan. Namanya Rudi, seorang staf di salah satu kantor tak jauh dari kantorku. Rumahnya di daerah Serpong juga.
Dua hari setelah kejadian itu, aku kembali bertemu Rudi di commuter line, persis saat perjumpaan pertama. Kami banyak berbincang satu sama lain. Ia orang yang humoris dan mampu membuatku tertawa karena lelucon ringannya.
Dari situ, perkenalan kami berlanjut lebih dekat. Minggu terakhir puasa, Rudi main ke rumahku, memperkenalkan dirinya pada orang tuaku. Tak tanggung-tanggung, ia membawa orang tuanya sekaligus. Ia melamarku tiba-tiba.
Setelah hari raya idul fitri, pernikahan kami berlangsung. Aku tak pernah tahu kalau Tuhan memberikanku jodoh dengan cara yang tak terduga sekali pun.
***
Kisah ini sudah berjalan dua tahun yang lalu. Pada Ramadhan tahun kemarin, aku dan Rudi membawa sepuluh bungkus air mineral dan kurma untuk dibagikan pada pengguna commuter line saat berbuka puasa. Ini rutin kami lakukan selama bulan Ramadhan. Aku merasa kebaikan yang dilakukan sekecil apa pun, akan mendatangkan kebaikan lain di kemudian hari. Kami berdua contohnya.