Oleh: Dinita Dwi Hariani
Sore ini aku mengajak Dani pergi mencari takjil disebuah pasar ramadhan. Dani adalah adik laki-lakiku yang baru berusia 8 tahun. Seperti biasa, rutinitasku ketika mendekati waktu berbuka adalah jalan-jalan yang mungkin bisa dibilang ngabuburit. Pasar itu buka pukul 4 sore sampai menjelang buka puasa di bulan ramadhan. Karena jarak dari rumah ke pasar tidak begitu jauh, aku mengajak Dani berjalan kaki menuju pasar. Sepanjang jalan banyak sekali penjual yang menawarkan dagangannya.
Pasar ini adalah sebuah jalan kecil yang jarang dilewati oleh kendaraan. Karena suasananya yang bagus ketika sore, banyak para pejalan kaki tertarik untuk mampir membeli sekaligus menikmati suasana pasar. Maka dari itu para pedagang lebih memilih berjualan dipinggir jalan di bawah pepohonan yang rindang, karena banyaknya para pembeli yang lalu lalang membuat para pedagang mendapatkan keuntungan dua kali lipat.
Ramdhan memang bulan penuh berkah. Nyatanya banyak sekali penjual yang kehabisan barang dagangannya sebelum waktu buka tiba. Ada juga penjual yang tidak terlihat saking banyaknya pelanggan yang mengantri membeli makanan untuk berbuka.
Saat aku sedang berjalan melihat para pedagang disisi kanan dan kiri jalan, adikku tiba-tiba mengilang dari sampingku. Ku arahkan pandangaku ke sekitar mencarinya tapi tidak ada. Ku tengok ke arah belakang, ditengah-tengah kerumunan orang lalu lalang, ternyata dia berdiri disana. ku hela nafasku lega melihatnya. Ternyata Dia sedang memberikan uang untuk ibu tua yang duduk dibawah pohon dengan uang yang diberi bunda tadi. Aku tidak bisa bilang ibu-ibu itu pengemis, gembel atau gelandangan. Yang jelas, dia fakir miskin yang membutuhkan uluran tangan dari kita semua. Dani memberikan uangnya ke dalam kantung yang ditadahkan ke arahnya. Aku tersenyum melihatnya. Hati ku terenyuh melihat kemurahan hatinya diusia dini seperti ini. Dia memang mudah iba melihat orang yang sedang kesusahan. Setelah memberi, ia pun lari ke arahku.
Sepanjang jalan kami melihat kanan kiri, mencari takjil yang pas untuk buka puasa dirumah. Tiba-tiba Dani menarik ujung bajuku, ternyata dia memintaku untuk dibelikan es cincau kesukaannya. Tapi sebelum itu, aku mengajaknya membeli kue basah pesanan bunda dulu, karena pembeli es cincau masih begitu banyak.
Setelah membeli kue basah, aku langsung mengantri untuk membeli es cincau kesukaan Dani. Banyaknya pelanggan, membuatku harus menunggu giliran. Saking lamanya aku menunggu sampai-sampai waktu buka puasa sudah begitu dekat. Jika aku tidak membelikannya, Dani akan menangis tanpa henti.
Saat aku hendak membayar, adzan magrib pun berkumandang dengan jelas karena posisi pasar bersebelahan dengan masjid raya. Segera aku mencari tempat duduk dan membatalkan puasa dipasar itu. Aku meminum es cincau yang kubeli bersama Dani.
Setelah membatalkan puasa, aku mengajak Dani pulang kerumah. Saat diperjalanan, aku melihat seorang anak kecil yang mungkin seumuran dengan Dani berdiri di depan penjual kue basah langganan bunda. Aku terus mengamatinya karena gerak-geriknya begitu mencurigakan. Ternyata diam-diam dia hendak memasukkan kue kedalam kantongnya tanpa sepengetahuan penjual.
‘ehem’ dehemanku membuatnya melihat ke arahku. Dengan cepat dia langsung lari, bersembunyi di belakang tenda para penjual. Aku dan adikku segera lari menyusulnya kebelakang. Terlihat dia sedang duduk disamping karung besar dan meneggelamkan wajahnya di kedua lututnya. Iya, dia sedang menangis.
Aku dan Dani berjongkok di depannya. Saat aku mulai menanyainya, dia seperti ketakutan. Dia terus menangis karena ternyata dia belum membatalkan puasanya. Mendengar itu, Dani langsung merampas kantung kue basah pesanan bunda yang ku genggam sedari tadi dan memberikan pada anak itu tanpa berpikir panjang. Aku hanya melihat anak itu tersenyum sumringah sambil memakan kue basah itu dengan lahap. Ia menawariku dan Dani, tapi kami menolak. Beberapa saat, ia pun berterima kasih dan pamit padaku untuk pergi sambil membawa karung besar yang sedari tadi berada disampingnya. Bisa kutebak dia adalah seorang pemulung.
Saat punggungnya mulai hilang dari pandanganku, saat itulah terbesit rasa bersalah karena tidak memberi sedikit uang untuknya. Tetapi Dani bilang padaku, bahwa dia sudah memberi uang didalam kantong berisi kue basah tadi. Aku semakin salut dengan Dani, karena dia selalu memberi kejutan-kejutan dalam hal kebaikan. Aku bangga padanya.
Sesampai dirumah adikku meceritakan semua pada bunda dan juga ayah. Bunda tidak marah padaku juga Dani karena telah memberikan kue basah pesanananya pada orang lain.
Sore harinya, aku tidak pergi ke pasar ramadhan karena bunda mengajakku membuat kolak pisang kesukaan ayah dan beberapa pisang goreng. Kali ini bunda membuatnya agak banyak karena ingin membagikannya ke TPQ sebelah yang sedang mengadakan acara buka bersama dimasjid dekat rumah. Setelah matang, ibu menaruh sisanya dibeberapa mangkuk karena sisanya memang sangat banyak dan menyuruhku untuk membagikan ke tetangga. Membagikan kolak sudah menjadi kebiasaan ibuku di bulan ramadhan. Bukan hanya bulan ramadhan saja, jika ada rezeki lebih hari-hari biasapun begitu.
Aku juga mengantar kolak untuk saudaraku yang rumahnya memang tidak jauh dari rumahku. Aku pergi naik motor bersama Dani. Ditengah perjalanan aku bertemu dengan anak kecil di pasar ramadhan kemarin. Ku hentikan laju motorku dan mengajaknya untuk buka bersama dirumah karena aku kasihan padanya, tapi dia menolak. Akupun menawarinya kolak, dan kali ini dia mau. Aku memberinya segelas kolak untuk buka puasa nanti. Dia pun berterima kasih dan pamit untuk pergi. Dalam hati aku terus bertanya apakah dia hidup sebatang kara. Aku benar-benar kasihan padanya.
Tidak terasa lebaran kurang satu hari lagi. Aku mengajak Dani pergi ke pasar ramadhan karena ini adalah hari terakhir pasar tersebut buka. Seperti biasa, aku membeli kue basah langganan bunda. Dani pun tidak lupa membeli es cincau kesukaannya. Kami berjalan keliling pasar sambil membawa takjil yang tadi di beli sembari menunggu waktu buka. Aku dan Dani akan berbuka dipasar seperti kemaren, mengingat malam ini adalah malam terakhir pasti akan sangat menyenangkan dengan ditemani suara takbir yang menggema juga bunyi petasan yang bersahut-sahutan..
Adzanpun mulai berkumandang. Segera aku dan Dani mencari tempat duduk dan membatalkan puasa. Kami berbuka dengan menu seperti kemaren, kue basah dan es cincau. Walaupun hanya makananan ringan tapi itu cukup untuk mengganjal perut. Setelah berbuka, aku dan Dani langsung melaksanakan sholat maghrib di masjid raya dekat pasar, Jadi aku dan Dani tidak perlu pulang ke rumah dan menikmati malam takbiran yang indah.
Kami melihat banyak rombongan takbir keliling melantunkan takbir-takbir merdu dijalanan. Mereka membawa beberapa bedug-bedug besar. Ada yang membawa obor, ada juga yang membawa lampion. Menyenangkan sekali.
Aku terus berjalan menelusuri jalanan pasar yang makin ramai. Aku melihat seorang yang familiar didalam pasar. Itu anak kecil kemarin. Segera aku dan Dani menghampirinya. Dia agak begitu kaget ketika kami berada didepannya secara tiba-tiba. Ku tanya apa dia sudah berbuka, ternyata dia belum buka. Dia berkata tadinya dia mau mencuri, tapi dia mengurungkan niatnya karena takut dipukuli orang. Dia beruntung kemarin bertemu denganku, karena aku tidak melakukan kekerasan padanya.
Akhirnya dia sadar kalau perbuatannya yang kemarin akan merugikan dirinya sendiri. Aku langsung memberi uang dan menyuruhnya membeli makanan disalah satu warung terdekat karena kulihat dia sudah sangat lapar. Dengan langkah cepat, dia segera berlari menuju warung pecel lele.
Setelah dia membatalkan puasa, dia kembali lagi untuk mengambil karungnya dan berterima kasih padaku untuk ketiga kalinya lalu pergi. Dia benar-benar begitu malang. Diusia belia dia sudah banting tulang untuk menghasilkan uang tanpa kenal waktu.
Hari kemenangan telah tiba. Aku merasa sedih karena bulan ramadhan telah berakhir. Tapi aku juga senang karena banyak kerabat jauh datang kerumah.
Sebelum aku dan keluarga pergi bersalam-salam, aku, ayah, dan bunda juga Dani pergi nyekar ke makan nenek, ibu dari ayah. Suasana makam begitu ramai. Saat itu juga, aku melihat anak kecil itu sedang nyekar juga. Aku juga merasa lega, pemikiranku selama ini salah, karena ternyata dia masih mempunyai keluarga. Aku hanya tersenyum bahagia melihatnya.
Hari kedua lebaran. nuansanya masih seperti lebaran pertama. Saat aku sedang membersihkan meja makan, ibu memanggilku dari depan karena ada tamu datang. Aku segera keluar. Aku terkejut karena anak yang belum ku ketahui namanya hingga sekarang ini datang kerumahku. Ia tidak datang sendiri, melainkan dengan ibunya. Ibunya membawa bingkisan yang berisi kue basah, katanya untuk menggantikan kue basah yang dimakan anaknya kemarin. Aku tertawa melihat ibu itu juga Indra, anaknya. Aku juga bertanya pada Indra bagaimana dia bisa tau rumahku. Dia bilang kalau dia mengikuti ku saat di makam kemarin. Kami terus berbincang-bincang. Setelah ibunya bercerita banyak tentang Indra, aku baru tau kalau Indra anak yatim. Ternyata kemarin ia nyekar di makam ayahnya. Pantas saja dia bating tulang untuk mencari uang. Aku tersentuh melihat perjuangannya di usia belia.
Kulihat Dani dan Indra semakin akrab. Ayah dan ibuku pun begitu pada ibunya. Kami merasa sudah seperti keluarga padahal baru beberapa menit yang lalu kami bertemu, kecuali dengan Indra. Aku bahagia memiliki keluarga baru tanpa terlintas dipikiran sebelumnya. Bersedekah dengan orang yang tidak kita kenal itu membuat kita memiliki saudara sekaligus keluarga baru tanpa adanya hubungan darah.