Living in the Future

Oleh: Laili Fauziyah

Ssttt!……, jangan bicara pada siapa-siapa karena ini rahasia.Ok!

Gadis kecil itu mendekatkan bibirnya tepat di depan telinga boneka beruang merah jambu yang warna bulunya telah memudar di beberapa sisi ditambah dengan noda coklat dan debu di bagian perut serta separuh wajah sang boneka teddy. Nyaris satu jam lamanya, bocah berusia lima tahun itu duduk bersila di atas kasur bersama mainan yang ia dapat setahun silam. Yeah.., tepatnya di bulan ini, Ramadhan yang selalu datang, rumah penampungan “Khazzana” selalu menerima barang-barang amal dari orang-orang ringan tangan di luar sana. Tidak melulu harus lembaran bergambar pahlawan dalam amplop, melainkan juga bisa pakaian bekas, sembako, dan.., mainan bekas yang jelas sekali disukai anak-anak. Dimana semua itu, tak lagi dianggapnya sebagai ronsokan kecuali barang berharga.

“Anisa!” seseorang pengasuh berseru dari balik pintu. “Orang baik itu sudah datang.”

Bocah itu cergas bereaksi dengan mengingsurkan tubuhnya dari ranjang dan berlari keluar. Anisa tak menyangka akan ada begitu banyak hadiah di ruang tamu saat ia tiba. Semua ini lebih dari perayaann natal yang sering dilihatnya di TV. Banyak dari teman-temannya yang sudah berkumpul untuk memilih hadiah, dan Anisa pun tak mau ketinggalan. Terlalu banyak warna dan pita dimana-mana, semuanya sangat menyedot perhatian.

“Saya sangat berterima kasih atas bantuannya.” Ucap wanita pemilik rumah penampungan kepada tamunya. Sejenak, wanita paruh baya itu berkerling ke arah anak-anaknya dan kembali lagi menatap dua orang baik di depannya, “Barangkali kalian ingin bermain dengan mereka?” ia menawarkan kegiatan yang hampir dilakukan pesinggah, “Saya yakin mereka akan sangat bahagia bisa bertemu dengan kalian.”

“Tentu saja, Ibu Ningsih.”

Kedua pria itu larut bersama anak-anak yatim piatu, berbagi tawa dan mengajari arti kehangatana serta kebersamaan, hingga waktu satu setengah jam yang segera berlalu, membuat keduanya harus kembali pada rutinitas. Semua penghuni rumah penampungan mengantarkan kepergian kedua orang baik itu, dan…, kembali pula ke dalam dunia lama.

Anisa masih di ambang pintu untuk memperhatikan angin di antara udara. Ia memikirkan banyak hal di dalam otaknya yang kecil. Setiap Bulan Ramadhan selalu ada orang hilir mudik di rumah ini, memberikan barang-barang tak terpakai mereka, menyumbang sebagian uang dari saku mereka, dan…., berlalu. Orang lama pergi dan orang baru datang. Mereka adalah orang baik, begitulah sebutannya. Anisa baru menyadari kalau ia mendekap banyak mainan di tangannya. Hari ini tony si beruang teddy pasti akan senang kedatangan kawan baru. Namun entah mengapa, Anisa tidak sungguh memikirkan kawan baru. Rencana itu seolah ditepis oleh keinginannya menjadi seperti orang baik itu. Suatu hari nanti, ia ingin pula memberikan benda-benda miliknya untuk orang lain. Suatu hari nanti.

***

Masa tidak akan pernah berhenti, takkan pernah bisa tertunda dan kembali. Tidak ada kata seandainya yang menjadi kenyataan saat semua ini sudah menjadi penyesalan. Namun Anisa tidak menyesal, hanya saja ia ingin tinggal lebih lama–masa lima belas tahun yang menyenangkan, menyedihkan, mengharukan, dan membosankan–Dan sekarang ia tengah duduk pada kursi di samping jendela dalam sebuah perjalanan menuju hidup baru. Anisa berencana untuk menikmati pepohonan sembari mereka ulang perpisahannya dengan para penghuni rumah satu jam silam. Mendadak senyumnya melengkung begitu mendapati wajah Suster Jannever yang kian menua dengan garis keribut di sana-sini, wanita mantan biarawati itu memang berhati lembut pada hampir semua anaknya. “Selamat tinggal, Suster Jan!” gumam Anisa kepada sosok pengasuh di otaknya.

Satu tahun setelahnya……,

Kehidupan memang tidak selalu berjalan seperti apa yang dikonsepkan. Harapan memberikan gambaran baik untuk masa depan. Namun terkadang, kenyataan menampar kuat pipi seseorang agar bangun dari imajinasi harapan mereka..

“Anisa,“ satu suara terdengar selepas bunyi klik kunci pintu bergeser, “kau sudah membersihkan kamarnya?” ia adalah wanita paruh baya dengan bulu mata badai dan lipstik semerah delima. Perhiasan yang bertengker di tangan, telinga juga lehernya sudah cukup mengisyaratkan bahwa ia adalah orang bakir yang mempekerjaan Anisa di rumahnya. “Sebaiknya kau segera melakukannya sebelum para pelanggan itu datang.” Lantas beranjak pergi, “Oh, aku lupa sesuatu.” Ujar wanita itu, “Setelah pekerjaanmu selesai, temui aku di ruangan.” Dan kini, wanita itu benar-benar pergi.

“Baik, Madam.” Patuh Anisa yang lekas bangkit dari kursi meja riasnya dan mulai menjamah sapu serta kemoceng yang sudah menjadi si loyal dalam debu, berjalan di lorong remang, dan berbelok menuju satu demi satu nomor pintu. Hanya menyapu, mengelap meja, menyingkirkan debu dan membuang sampahnya, apa yang berat dari rangkaian pekerjaan itu. Memang tidak ada. Namun hal itu bukan hanya perihal pencaharian kasap mata, Anisa harus bisa menahan perasaan jijik, bergidik, dan kegelian lainnya kala menemukan pakaian dalam yang berserakan di atas ranjang, berceceran di atas lantai keramik, botol minuman bir yang masih menebar aroma bau di atas meja, dan terkandang, yang lebih menyedihkan dari semua itu, ia pernah memergoki pasangan tengah bercumbu tanpa acuh menggembok pintu. Anisa sudah cukup bertahan, dan selama masa itu pula, ia selalu berdoa atas dosa-dosanya yang menggunung.

Anisa menghela napas panjang kemudian membuangnya seiring dengan bahunya yang merendah. Tepat di pukul tujuh malam, pekerjaannya telah usai. Inilah saatnya ia harus menemui sang majikan. “Assalamualaikum!” sapa Anisa dari balik pintu sembari menunggu perintah dari seseorang di dalam.

“Masuklah!”

Gadis dewasa itu menjalankan seperti apa yang diintruksikan oleh madam. Anisa duduk pada kursi kayu dnegan kaki jenjang menghadap majikannya yang turut memandang dirinya.  Wanita itu menautkan kesepuluh jarinya untuk diletakkan di atas meja sebagai penopang, “Aku terkesan dengan hasil kerjamu.” Ia memulai dengan pujian, “Mungkin selama ini aku tidak pernah menggajimu plus uang bonus. Aku hanya memberikan waktu kerja yang singkat. “ ia mengubah posisinya menjadi sedikit congdong ke depan untuk menjangkau sebuah gelas dan mulai mengisinya dengan cairan bening, “Ini, minumlah!” jari berkuteknya menyodorkan gelas kecil ke hadapan Anisa. “Anggap saja ini sebagai imbalan.” Interval dua detik, wanita itu beranjak dari sofa linennya, “Sebentar lagi akan ada seseorang yang ingin bertemu denganmu.” Langkahnya pun santai berjalan meninggalkan Anisa.

Keheningan malam mendadak menyeruak. Anisa tahu apa isi dari gelas itu, dan dirinya jelas yakin kalau tidak akan pernah meminumnya. Sudah cukup dosa baginya lantaran tidak mengenakan hijab. Ia memilih diam, menyerap bunyi-bunyian samar dari hewan nokturnal, detik jarum jam, dan…, menunggu. Tak berselang lama, kala jenuh mulai melanda, terdengar decit pintu dari balik punggungnya. Sontak, Anisapun menoleh. Sesosok laki-laki dengan tuxedo yang tak begitu tua, berkisar dua-tiga tahun lebih tua darinya, berdiri dengan mulut bungkam di depan pintu. Ia tidak bereaksi.

“Anda mencari saya?” tanya Anisa seraya bangkit.

“Entahlah….,”

Anisa kembali berkata, “Anda seorang pelanggan?”

“Yeah, wanita yang tadi memberitahuku untuk masuk ke sini.”

“Anda salah ruangan.” Tukas Anisa sembari memasang penjagaan terhadap orang asing, kebanyakan pria bernafsu liar suka menyergap. Langkahnya pun nampak hati-hati dengan tidak mendekati pria itu, “Maaf, saya harus segera keluar.”

“Aku tidak tahu apa yang kucari disini.” terangnya, “Maksudku…, “ ia menggeser tubuhnya menjauhi pintu, “Oh, maafkan aku. aku sungguh membuatmu takut.”

“Anda mabuk?”

“Oh Ya Tuhan!” ia menutupi sebagian wajahnya dengan telapak tangan kemudian mengusapkannya pada rambutt seolah hendak mengusir beban. Matanya ikut memecam seiring dengan tarikan napas dalam, “Aku sangat frustasi.” ujarnya selepas membuang karbondioksida. “Aku terlalu buta sampai tidak bisa melihat sendiri apa yang kulakukan.”

“Hampir semua orang mengatakan itu padaku. Tapi bukan berarti alasan itu mendorongmu melakukan hal gila.” tangan Anisa meraih kenop pintu, “Pulang dan berdoalah! sebelum kamu sungguh menyesal.”

***

Sejak malam itu, Anisa sudah tidak lagi bekerja di rumah bordil milik Madam Rose. Ia lebih memilih menjadi pengasuh di rumah penampungan dengan gaji rendah atau bahkan tidak digaji. Itu jauh lebih baik dan nyaman. Ia kembali menaiki bus yang sama untuk membawanya ke kampung halaman. Wajahnya pun nampak sumringah di sepanjang perjalanan. “Terima kasih!” ujarnya pada Pak Kernet. Ia melanjutkan langkahnya menuju barat, berbelok pada pertigaan pertama, dan berhenti tepat di sebuah bangunan terbengkalai yang telah reut. Jendela yang dulunya setiap hari dilap, kini memburam seburam mendung kumulus, cat memudar disana-sini dengan gawangan pintu yang sebagian bobrok. “Astaga!” gumam Anisa mengomentari, Apa badai sudah melindas bangunan ini?, tanyanya dalam batin. Anisa perlahan membuka gerbang besinya, bagian penguncinya sudah berkarat.

Ia kian melangkah lebih jauh menuju halaman rumput yang setinggi betis, membuka pintu yang tak lagi dapat dikunci dan berbaur dengan debu beterbangan yang mengganggu pernapasan. Penampakan dalamnya masih sama seperti dulu, tidak banyak renovasi yang dilakukan. Mendadak, intuisi Anisa menyuruhnya menapaki lorong dan masuk ke sebuah ruangan lazim. Kamar masa lalunya. Ia masih ingat dengan jelas dimana menyimpan benda-benda sumbangan—tersimpan dalam sebuah kotak di lemari pakaian—boneka teddy, alat-alat menggambar lengkap dengan buku sketsa, selebihnya ia tidak tahu mainan apa itu. Ia mengeluarkannya satu demi satu.

“Barang-barang berharga?”

Jelas sekali mimik wajah cantik Anisa terkejut dengan sosok yang berdiri di ambang pintu. Mulutnya pun hanya bungkam sebagai tanggapan.

“Maaf, aku sudah mengikutimu hingga kesini.” Ia adalah pria malam itu.

Selepas pertemuan yang telah digariskan oleh takdir itu. Mereka menjadi sering bertemu dan akrab satu sama lain, berbagi cerita tanpa tahu nama masing-masing. Dan sampai akhrinya, layaknya kehidupan dalam negeri dongeng, keduanya memutuskan untuk menikah. “Mungkin sebaiknya kita juga harus membangun panti asuhan untuk anak-anak terlantar.” Ujar Anisa sebagai mimpi pernikahan mereka di bulan penuh berkah, Ramadhan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *