Mbah Misni

Oleh: Nurilla

Kali ini, wajah Mbah Misni terlihat begitu lusuh. Tak menyapa siapa saja yang lewat depan rumah. Aku sendiri yang datang dari warung Miryah, tak disapa. Padahal, dia paling senang mengajakku mampir ke rumah berdinding gedhek itu.

“Mbah kok sedih gitu?” sapaku ke Mbah Misni yang duduk di kursi rotan, di teras rumahnya itu.

“Ah, tak apa. Hanya pusing. Kamu sekolah hari ini?”

Bagi orang kampung, tak ada kata kuliah. Yang ada kata sekolah. Kendati aku pergi ke kampus, mereka tetap menyebutnya pergi sekolah. Seakan-akan lidah terasa kelu mengucap kata kampus atau kuliah.

“Libur, Mbah. Dosennya ke luar negeri.”

“Kenapa dosenmu itu suka jalan-jalan? Kamu bayar mahal-mahal, malah keluar negeri.”

Aku tersenyum mendengar penuturan Mbah Misni. “Kadang dosen ditugaskan ke luar negeri, Mbah.”

“Eh, kamu mau masak? Sebentar lagi adzan maghrib. Waktunya buka,” ujarnya setelah melihatku yang tengah memegang sayur kol.

“Saya pamit dulu ya, Mbah.”

Sudah hampir lima tahun Mbah Misni tinggal sendiri. Semenjak sang suami meninggal dunia, ia terpaksa bekerja seorang diri. Beruntung sekarang Mbah Misni menerima bantuan dari pemerintah. Setiap bulan, si Mbah mendapat uang sebesar enam ratus ribu. Dan selalu aku yang mengantar ke kantor pos. Kadang, kalau aku sedang kuliah, Ibu yang mengantarnya. Meskipun rumah kami berdekatan, Mbah Misni jarang bertamu. Malu katanya bertamu ke orang yang lebih kaya. Padahal keadaan kami tak sekaya yang diucapkan Mbah Misni.

“Bu, kenapa si Mbah melamun, ya?”

Ibuku yang menunggu sayur untuk dimasak, tak menjawab.

“Mbah jawabnya cuman pusing,” imbuhku lagi.

“Mungkin dia memikirkan malam nuzulul qur’an.”

“Buat slametan?”

Ibu tak lagi memotong kol. Ditaruhnya pisau, lalu menatapku lekat.

“Ibu sudah memberi tahu Mbah, kalau slametannya bakal Ibu tanggung. Tapi, si Mbah tetap bergeming. Dia mau pakai uangnya itu.”

“Lah, biasanya kan setiap tahun begitu? Atau, setiap ada slametan, selalu kita beri.”

“Mbah cuman bilang malu kalau minta terus. Padahal Mbah tak minta.”

Setelah selesai membantu Ibu, sengaja aku pergi ke rumah Mbah Misni lagi. Aku ingin meyakinkan, agar slametan besok malam, yang biasanya membawa kotakan berisi nasi dan buah, biar Ibu yang menanggung.

“Mbah kepikiran slametan, ya?” tanyaku kepada Mbah yang tengah mengambil tabungan dari bambu.

“Aku malu minta terus.”

“Kata siapa Mbah minta? Daripada dibuat slametan, mending uang tiap bulan itu ditabung saja.”

“Tak apa. Mbah bakal beli sendiri pakai uang ini,” jawabnya sambil mengangkat celengan. Padahal aku tahu, celengan itu sengaja diisi setiap bulan untuk membeli pejing kuburan suaminya. Mbah Misni merasa, sudah sepantasnya makam suaminya itu tak cuman dikasih batu sebagai pertanda nisan. Tapi, makam keramik.

Semenjak percakapan sore itu, aku tak lagi bertamu ke rumah Mbah. Esok sudah ujian akhir semester, tugas kuliah selalu menumpuk. Padahal, seandainya tugas-tugas itu diberikan jauh-jauh hari, tentu takkan banyak tugas. Entahlah, biarkan saja tradisi semacam ini tetap dipertahankan. Aku sendiri tak terlalu memusingkan banyaknya tugas. Toh, semua ujian akan berakhir tiga hari sebelum lebaran. Aku hanya sedikit kepikiran Mbah. Ya, barusan aku mendengar suara percakapan. Entah dengan siapa si Mbah bicara.

“Mau kemana?” tanya Ibu yang mendapatiku berjalan mengendap-ngendap.

“Mau ke rumah Mbah, Bu,” jawabku sambil menyeringai.

“Mau nguping?”

“Cuman penasaran si Mbah bicara dengan siapa.”

“Itu si Maryam. Anaknya.”

Aku sedikit kaget mendengar penuturan Ibu. Aku tahu, Mbak Maryam bukan anak kandung Mbah. Konon, sewaktu suaminya masih ada, mereka mengadopsi anak. Entah soal apa, akhirnya si anak tahu kalau mereka bukan orang tua kandungnya. Tetapi, dia tetap menganggap Mbah Misni sebagai ibunya. Kendati semenjak itu pula, dia tinggal bersama suami setelah menikah.

Aku yang melihat Ibu pergi ke teras depan, tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Lewat pintu dapur, aku pergi ke rumah Mbah Misni dan mengintip lewat lubang di bilik.

“Mak tak perlu beli pejing itu. Lebih baik buat makan.”

“Tak apa. Setidaknya, makam babahmu sama dengan yang lain.”

“Ah, Emak selalu begini. Tinggal sama aku tak mau. Selalu kuburan Babah yang mau dikasih pejing.”

“Bagaimanapun juga Babah itu suamiku. Dia suamiku,” ujar Mbah dengan suara sedikit gemetar.

“Meksipun Emak selalu dipukul, dihantam dan dicaci karena tak punya anak sendiri?”

Mbah Misni diam. Matanya menatap Mbak Maryam lekat-lekat.

“Sebenarnya, bukan aku yang mandul. Kamu tahu, sudah belasan perempuan yang menjadi istri simpanan babahmu, tapi tak satupun yang hamil. Barangkali ini terkesan menduga saja, tetapi setelah diperiksa ke dokter, memang babahmu yang tak bisa punya anak.”

“Astaga, Seta! Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan ikut campur urusan orang. Ayo, pulang!” tiba-tiba saja Ibu menenteng telinga kananku. Padahal aku belum selesai mendengar percakapan keduanya.

“Harusnya kamu itu belajar. Sudah tahu kamu ujian.”

Aku tak pedulikan ucapan Ibu. Ibu memang begitu. Cerewetnya minta ampun. Padahal aku bukan anak kecil lagi yang selalu dimarah-marahi.

“Bu, kenapa Mbah tidak ikut Mbak Maryam saja? Dia kan sudah nikah. Sudah punya rumah sendiri juga.”

Mata Ibu melotot lebar. Sudah ketebak apa yang bakal diucapkan.

“Belum cukupkah aku marah padamu? Sudah, belajar sekarang!”

Ah, Ibu tak pernah berubah. Sedari aku lahir, Ibu kerapkali marah saat mendapatiku tak menurut. Kalau sudah begini, lebih baik aku belajar saja. Tak baik mendengarkan ceramah Ibu yang bakal panjang lebar nantinya.

***

Kendati jarak rumah dan kampus hampir memakan waktu empat puluh menit, aku sendiri tak memilih ngekos. Kalau ada acara atau kuliah malam, sering aku menumpang tidur di kosan teman. Tentu, aku izin dulu. Kalau tak memberi kabar, alamat Ibu bakal marah. Seperti semalam. Aku tak memberi kabar kalau tak pulang. Dan hapeku berdering puluhan kali, sampai aku selesai mengerjakan ujian terakhir. Sekarang, aku merasa was-was mau pulang. Di sepanjang jalan, aku berdizikir banyak kali. Meminta kebaikan Tuhan agar Ibu tak marah sampai menyentuh urat nadi. Setibanya di pos ronda, aku melihat jalanan menuju rumah penuh sesak. Terpaksa aku turun dari sepeda. Sementara kumpulan orang-orang semakin penuh. Sepertinya, mereka sedang menata jalan untuk pawai obor di malam takbiran.

Sayangnya, Ibu melihatku yang tengah menuntun sepeda. Lalu cepat-cepat menyuruhku pergi ke rumah Mbah Misni. Katanya, si Mbah sudah meninggal. Kata Ibu, tadi pagi Mbah membeli dua pejing. Satu untuk suami, dan satu untuk dirinya. Seakan-akan, Mbah sudah tahu kapan meninggal. Seakan-akan, kedua pejing itu harus bermotif sama. Padahal, selama hidup, si suami tak pernah libur memukul Mbah. Menuduhnya tak bisa punya anak, padahal dirinya sendiri yang tak bisa punya anak, dan mati di pelukan perempuan lain.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *