Mbok Bubur

Oleh: Achmad Taufik Budi Kusumah

Sebagai guru SD yang hidup membujang saya memang kurang perhatian dalam sarapan. Sampai suatu waktu saya dipindah tugaskan ke suatu kampung kecil di Jawa Tengah. Di tempat baru inilah saya punya kebiasaan baru, yakni sarapan sebelum pukul 6 pagi. Baik itu dihari kerja maupun hari libur. Semua ini terjadi karena seorang wanita tua penjual bubur. Mereka memanggilnya Mbok Bubur.

***

Suatu waktu saya melakukan interview kecil-kecilan pada Mbok Bubur. “Mbok, sekarang umur berapa?” tanya saya menyelidik. “Wah, Mas Guru ini sudah kayak Pak RT saja tanya-tanya soal umur. Kalau di KTP aku lahir tahun 1960. Tapi waktu geger tahun 65 itu, masih ingat itu tahun pertama kali aku datang bulan alias haid. Jadi tahun lahir yang sebenarnya aku juga ndak tahu, Mas Guru. Orang tua ndak bisa baca tulis, Mas Guru. Jadi surat lahirpun dibikin waktu sudah besar. Dan tahun lahir 1960 itu juga cuma kira-kiranya bapakku saja, Mas Guru.”

“Benar juga ya, Mbok! Mana ada anak umur 5 tahun sudah haid?”

***

Kampung ini letaknya jauh dari kota. Sebenarnya kampung ini adalah kampung tua. Artinya kampung ini termasuk lebih awal berdirinya dibandingkan dengan kampung-kampung di sekitarnya. Namun pada masa orde baru, adanya bedol desa atau transmigrasi seluruh desa membuat desa ini seperti kampung yang baru dihuni. Sepi. Tinggal 4 orang yang tidak ikut transmigrasi. Yang 3 orang adalah keluarga Sartono, istri dan anaknya semata wayang. Satu orang lagi adalah Mbok Bubur. Konon Mbok Bubur muda ngeyel tidak ikut transmigrasi bersama keluarga dan warga yang lain karena gebetannya juga tidak ikut transmigrasi. Ya, gebetannya adalah anaknya Sartono. Malang tak dapat ditentang, begitu nasib Mbok Bubur muda. Belum sempat janur kuning melengkung sang pujaan hati meninggal kena malaria.

Dalam keadaan sakit yang semakin parah, Sang Kekasih berpesan kepada Mbok Bubur muda: “Isi kembali hatimu.” Singkat saja wasiat itu, nyatanya Mbok Bubur tak kuasa mewujudkannya. Ia kesulitan mengisi kembali hatinya.

Hati dan kepala Mbok Bubur selalu saja terisi bayangan seorang lelaki saja. Kalau saya gambarkan kenangan Mbok Bubur muda kurang lebih begini:

“Dalam dingin malam yang gerimis. Saat itu adalah “jawah salah mongso” kata orang Jawa, artinya hujan salah musim. Hujan dikala kemarau. Candlelight dinner Mbok Bubur muda bersama kekasihnya di alun-alun kota. Dengan sebuah meja payung di bawah pohon waru. Masing-masing semangkok wedang ronde yang dicicip dikit-dikit. Lebih banyak diaduk dari pada dituang ke mulut. Bukan tidak enak, tapi takut nikmatnya segera lenyap. Habis bersama ronde yang habis. Dan sebuah lagu keroncong yang romantis mengalun dari radio si penjual wedang ronde. Rasanya sepasang kekasih itu tidak sadar kalau sedang musim ulat bulu. Tapi pohon waru itu bersih dari ulat bulu atau mungkin perasaan mereka saja. Berdua mereka bicara hal yang indah-indah. Tentang masa lalu dan masa depan, namun lebih banyak bicara masa depan. Alangkah indah jika masa depan itu disongsong berdua.”

Kenangan pada hal-hal sederhana di masa lalu demikian merasuk bagi Mbok Bubur. Sampai terkadang saya menilainya bukan lagi merasuk tapi sudah sampai merusak. Tapi setiap orang bebas menentukan jalan hidupnya sendiri. Ini negara merdeka, Bung! Begitulah Mbok Bubur memilih jalan hidupnya dengan tidak mencintai pria lain dan memilih mengangkat seorang anak. Anak angkatnya ini didapatinya ketika menjadi suka relawan membantu korban gunung meletus di Jawa. Si anak angkat sudah kelas 5 SD ketika bencana gunung meletus itu merenggut seluruh anggota keluarganya. Tinggallah si anak angkat hidup sebatang kara. Dan Mbok Bubur menjadikannya anak, untuk selanjutnya dibawa hidup bersama di kampung.

Limpahan kasih sayang yang diberikan Mbok Bubur menjadikan anak angkatnya tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tekun. Betapa bahagia Mbok Bubur menghabiskan waktu dengan mengasuh dan mendidik sang anak.

Saban hari Mbok Bubur bekerja sebagai penjual bubur keliling. Caranya berjualan persis seperti penjual jamu gendong tradisional. Menggunakan tenggok (keranjang bambu) diikat dengan selendang dan ditahan di belakang punggung. Berjalanlah ia membawa bungkusan-bungkusan bubur yang telah dikemas rapi menggunakan daun pisang. Ada 3 varian dalam bungkusan bubur itu. Ukuran banyak, sedang, dan sedikit. Ukuran sedikit biasanya untuk anak kecil atau balita dan ukuran banyak atau jumbo untuk siapa saja yang nafsu makannya besar alias rakus.

Dahulu ketika baru pindah di kampung ini saya sempat heran. Pagi-pagi buta ada suara: “Saaa… raaa… paaannn! Buuu…!” Dengan suara melengking serak yang lebih mendekati seram menurut saya dari pada mengundang orang untuk membeli. “Suara apa sih itu?” tanya saya dalam hati. Setelah saya perhatikan ternyata ada penggalan kata yang diucapkan dengan nada dan volume rendah, yaitu “bur”. Jadi suara panggilan itu lengkapnya adalah “saaa… raaa… paaannn! Buuu…! ….bur.” Lebih aneh lagi ketika saya keluar rumah dan mencari di mana sumber suara itu, tidak terlihat ada penjual bubur. Saya tak melihat ada orang bawa gerobak bubur, atau sepeda dengan dagangan bubur. Tapi mata saya melihat suara itu diucapkan dari seorang perempuan tua dengan tampilan penjual jamu gendong, dengan tenggoknya.

“Mbok jualan jamu, jualan apa?”

“Bubur… Mas. Niki Bubur!” kata Mbok Bubur menimpali pertanyaan saya. Begitu kesan pertama saya pada Mbok Bubur. Aneh. Dan lebih aneh lagi jalan hidupnya, hal-hal yang diyakininya.

***

Ada sesuatu yang selalu membuat saya merenung ketika mengingat Mbok Bubur. “Hidup itu harus dijalani dengan keyakinan. Tidak peduli keyakinan itu pada akhirnya benar atau salah. Mungkin pada akhirnya kita benar dan mungkin pada akhirnya kita salah. Kita hanya bisa meyakini bahwa kita sudah memilih yang paling benar menurut kita sendiri,” begitu kira-kira saya menyimpulkan kehidupan Mbok Bubur.

***

Ketika calon suami Mbok Bubur meninggal, keluarga Mbok Bubur yang telah transmigrasi ke Sumatera membujuk agar turut serta tinggal di Sumatera. Namun Mbok Bubur merasa ini adalah konsekuensi yang harus ditanggung pada keyakinannya. Ia menolak ajakan itu. “Mungkin ini hukuman yang harus aku jalani karena selalu ngeyel pada bapak,” begitu suatu kali Mbok Bubur bercerita pada saya.

Mbok Bubur juga sering menceritakan betapa ngeyel-nya dia pada bapaknya. Mbok Bubur dilarang sekolah oleh bapaknya. Menurut bapaknya, anak perempuan itu pada akhirnya hanya akan mengurusi kasur, dapur, sumur, pupur (kosmetik) jadi tidak perlu sekolah. Cukup belajar dari ibunya dan keluarganya saja. Tapi Mbok Bubur ngeyel tetap sekolah sampai SMA. “Biar bapak hidup dengan keyakinannya dan aku mau hidup dengan keyakinanku sendiri. Kartini saja sudah susah payah menyadarkan orang sejak jauh-jauh hari, masak kita masih tidak sadar juga,” begitu kata Mbok Bubur mengingat ke-ngeyel-lannya.

Mbok Bubur pernah sukses dalam pekerjaan. Ia pernah memiliki peternakan burung puyuh petelur. Dalam kesuksesannya itu ia investasikan hartanya dalam bentuk asuransi pendidikan untuk anak angkat semata wayangnya. Hal yang luar biasa untuk ukuran orang desa. Dalam membangun usaha Mbok Bubur pernah menasihati saya dengan nada berseloroh, “Kalau Mas Guru mau berhasil dalam membangun sesuatu, Mas Guru harus kuasai segala hal dari hulu hingga hilirnya. Seperti usaha ternak puyuh itu, aku membikin sendiri bibitnya, pakannya, pengolahannya, produk jualnya, distribusinya. Jadi pengaruh harga di luar tidak banyak berdampak pada usaha kita. Mandiri semaksimal mungkin.”

Kata para tetangga Mbok Bubur itu sempat gila. Tapi cuma beberapa bulan kemudian sembuh. Saya kaget mendengar cerita itu. Setelah saya telusuri, kira-kira begini ceritanya: Mbok Bubur pernah akan diboyong ke luar negeri oleh anak angkatnya. Di luar negeri anak angkatnya itu menjadi ahli nuklir dan bekerja pada suatu perusahaan nuklir. Mbok Bubur menolak permintaan itu. Ia justru menyuruh anaknya pulang dan angon bebek saja dari pada pindah menjadi warga negara lain. Tapi anaknya beralasan masalahnya tidak sesederhana itu. Bidang nuklir yang digelutinya memaksanya bekerja di sana. Akhirnya Mbok Bubur larut dalam kesedihan memikirkan anaknya. Usaha peternakannya hancur. Mbok Bubur sempat masuk rumah sakit jiwa. Hingga beberapa bulan kemudian dalam perawatan penuh kasih sayang sang anak angkat, Mbok Bubur sembuh. Akhirnya Mbok Bubur berdamai dengan keyakinan anaknya yang mengatakan: “Di negeri sana aku bisa berguna bagi lebih banyak manusia, dibandingkan di negeri sendiri. Di sana aku bisa berderma bukan hanya bagi satu bangsa, satu negara, tapi di sana aku bisa berderma bagi dunia, bagi manusia dan peradabannya. Di sini mungkin aku cuma bakal menjadi jenis manusia yang hidupnya hanya menambah jumlah tinja di muka bumi ini. Tidak menambah baik juga tidak membikin buruk, sebuah nihil yang besar. Biar aku mengabdi pada dunia.”

Mbok Bubur akhirnya berjualan bubur dari tahun ke tahun. Dari rumah ke rumah. Ia hanya ingin menghabiskan masa tuanya dengan melihat senyum orang sarapan. Sebagaimana ia selalu terkenang pada senyum anaknya ketika sarapan. “Nak, senyum itu sedekah! Mulailah harimu dengan senyum! Sederhana memang senyum itu, tapi itu juga sedekah,” kata yang sering diulang-ulang Mbok Bubur dahulu.

Umurnya semakin tua, langkahnya berat, aksen suaranya aneh, dan kisah hidupnya bicara tentang derma, membikin saya semakin merasa aneh setiap kali sarapan dan mendengar suara: “Saaa… raaa… paaannn! Buuuu…! ….bur.”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *