Oleh: Deni
“Perbekalan sudah siap, pancing ada, umpan juga banyak. Umpan sekarang mahalnya minta ampun lho, Mas! Tadi aku beli umpan berupa udang dan cumi. Udang yang biasanya itu Mas, biasanya 2.000 dapat sekantong plastik. Eh sekarang harganya naik dua kali lipat! Cumi apalagi. Dulu aku selalu bawa uang 5.ooo ke pasar, pulang-pulang sudah dapat satu plastik. Sekarang, aku harus merogoh 12.500! Bayangkan Mas! Makanya, memancing kali ini harus dapat. Dapat ikan sebanyak-banyaknya, kan rugi kalau tidak dapat ikan?”, ujar wanita itu di atas perahu.
Sang lelaki hanya diam membisu, sedangkan kedua tangannya aktif memindah perlengkapan untuk memancing itu ke atas perahu.
“Perahu yang kita sewa ini masih normal, kan? Tidak ada yang bocor? Nanti kalau dasarnya bocor, air bisa masuk dan kita akan tenggelam, Mas! Mas sampeyan dengar perkataanku nggak sih, Mas?” tanya wanita itu dengan nada menuntut.
“Ya Allaaahhh…” gumam lelaki tersebut.
Lelaki tadi turun dari atas perahu kecil yang memiliki luas 2 x 5 meter tersebut. Kemudian, sambil membawa ember kecil ia menuju lautan dan mengambil beberapa ciduk air laut, lalu kembali.
“Buat apa kamu ambil air laut? Kamu haus? Itu ada minuman botol.”, kata wanita itu mengingatkan.
Lelaki tadi menamparkan tangan kanannya kepada angin, tanda menyuruh sang wanita yang dari tadi duduk di atas perahu untuk segera turun.
“Mau apa kamu Mas?”, tanya si wanita dengan tatapan menyelidik.
Lelaki itu membisu, melangkah ke samping perahu dan mengguyur air dari dalam ember kecilnya, dan menumpahkannya ke dasar perahu.
Air menggenangi dasar perahu kayu yang berbentuk cekung tersebut, membuktikan bahwa perahu itu tidak bocor.
“Nah, gitu dong. Kalau perahunya tidak bocor kan kita dapat memancing dengan nyaman?”, kata wanita tadi lega.
Lelaki tadi hanya menghembuskan napas panjang.
“Ayo kita berangkat!” ajak wanita itu kepada sang lelaki.
Sepasang suami istri itu pun menaiki perahu motor tersebut untuk memancing.
“Asyik, aku sudah nggak sabar melihat pancing kita menarik ikan lemuru, ikan pedang, syukur-syukur ikan pari. Kan enak kalau dapat ikan pari, bisa dijual, harganya mahal lho Mas. Sekarang kalau tidak salah harganya naik hampir dua kali lipat! Kalau kita dapat 1 ekor saja, kita bisa dapat banyak uang Mas!”, sang istri berbicara dengan penuh semangat, memasang harapan tinggi.
Sang suami yang diajak bicara kembali mematung. Ia hanya fokus menarik tuas mesin motor dan seketika bunyi khas mesin perahu terdengar disertai dengan aroma solar. Mereka siap untuk menjemput ikan mereka, namun sepertinya itu tidak mudah.
***
Mereka mengarungi lautan Hindia yang seakan tak bertepi itu, menuju spot di tengah laut yang katanya banyak ikannya. Spot itu kira-kira jauhnya 5 kilometer dari bibir pantai tempat mereka berangkat.
Dua pasang mata itu dimanjakan dengan lautan biru muda, yang semakin jauh semakin berubah warna menjadi biru tua. Di kejauhan, tampak sebuah garis lurus horizontal, memanjang, dan di atasnya terlukis hamparan langit biru cerah. Tidak lupa, sekumpulan awan putih membalut lembut sebuah pulau kecil yang berada di dibawahnya. Sepasang manusia di atas perahu itu juga merasakan angin laut bertiup sepoi-sepoi, menyibakkan rambut mereka, dan menyeka kulit mereka. Untuk sejenak, sepasang suami istri itu hening karena takjub melihat karya Allah yang begitu mempesona.
Mereka pun tiba di spot yang mereka tuju. Sang suami menarik tali berikatkan batu besar untuk kemudian dilemparkan ke dasar laut sebagai jangkar.
Setelah jangkar terpasang di dasar laut, otomatis perahu tidak bisa bergerak, dan tertambat di tengah-tengah samudera.
Tanpa pikir panjang lagi, sang istri yang dari tadi bersenandung riang mulai mengambil alat-alat pancing beserta umpannya. Sang suami pun demikian.
Mereka lantas melemparkan kail pancing ke lautan lepas, seraya berdo’a agar dapat tangkapan ikan yang melimpah.
10 menit, 20 menit, hingga satu jam berlalu, harapan mereka berdua belum juga terwujud. Tidak ada ikan yang menempel di pancing mereka. Hanya selembar kain yang mereka dapatkan, dan itu adalah kain kolor yang sudah usang dan berubah warna karena terlalu lama berada di dalam air.
“Aduuuhhh bagaimana ini? Sudah sejam lebih tapi belum dapat ikan!”, sang istri pun mulai berceloteh, dan mengeluh kesana kemari. Sementara sang suami dengan anggun masih memegang pancingnya.
Tiba-tiba mendung menghampiri langit di atas mereka berdua, disertai dengan angin yang berhembus kencang, dan ombak yang mengamuk dengan ganas. Sudah tidak dapat ikan, kali ini mereka juga menghadapi badai di tengah samudera.
Blaaarrr!!! Jutaan kubik ombak menghantam perahu motor yang ditumpangi oleh suami istri itu.
“Ya Allah…” kata suami itu sambil berpegangan di pinggiran perahu.
Blaaarrr!!! Ombak kembali mengguncang perahu minimalis itu.
“Ya Allah…” kata sang suami lagi, kali ini tangannya mencengkeram pinggiran perahu lebih kuat. Setiap kali ombak mengombang-ambingkan perahunya, ucapan “Ya Allah…” selalu keluar dari mulut sang suami.
Sementara itu, sang istri dari tadi memeluk erat suaminya dengan mimik ketakutan, dan setengah menangis.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara sangat keras, dan menghempaskan perahu motor itu ke arah selatan, menjauhi bibir pantai. Ketika ombak datang, perahu itu semakin terseret ke arah selatan. Dan celakanya, tali berkaitkan batu besar yang berfungsi sebagai jangkar itu putus karena dorongan ombak.
Sementara itu, kincir motor yang berfungsi untuk mendorong perahu juga patah tak bersisa kena hantaman ombak. Akhirnya, sepasang suami istri itu pun harus rela perahu dikemudikan dengan auto pilot, maksudnya terserah kemana perginya, tergantung ombak membawanya kemana.
Untunglah, badai itu tidak lama.
20 menit kemudian, langit kembali cerah, angin berhembus lembut, dan ombak sudah menjinak. Masalahnya sekarang, perahu yang mati itu masih ada di tengah lautan, terus menuju ke arah selatan mendekati sebuah pulau kecil berpohon kelapa sangat banyak dan tak berpenghuni.
Di pulau tersebut, terdapat sebuah papan bertuliskan “Selamat datang di Pulau Tawon”.
“Aduuuhhh, sudah tidak dapat ikan, kena badai, sekarang terdampar di pulau yang banyak tawonnya. Aku tidak mau tersengat tawon (lebah)!” kata sang istri mulai mengeluh lagi.
Tiba-tiba di depan perahu mereka terdengar suara seperti sesuatu yang jatuh ke dalam air.
Plung… plung….
Penasaran, mereka melongok ke arah suara tersebut, dan terkejut ketika tahu suara itu berasal dari kawanan ikan kecil melompat keluar lalu masuk ke dalam air lagi. Seperti lumba-lumba, tapi ini ikan kecil.
Si istri pun melonjak kegirangan, lupa bahwa dirinya sedang terdampar di dekat pulau tak berpenghuni, sedangkan si suami tidak mau kehilangan kesempatan emas. Ia segera melemparkan kail pancingnya, lengkap dengan umpan yang mereka bawa.
Satu ekor, dua ekor, lalu puluhan ekor ikan telah mereka tangkap. Tidak hanya ikan kecil itu saja, tapi juga puluhan ikan lemuru, beberapa ikan pedang, dan yang paling membuat mereka berdua senang adalah: tiga ekor ikan pari berukuran sedang!
Mereka pun pulang dengan hasil tangkapan ikan yang melimpah, dengan disusul oleh orang yang menyewakan perahu. Si penyewa perahu khawatir karena suami istri tidak kunjung kembali sehingga dia memutuskan untuk menyusulnya dengan perahu motor miliknya yang tidak dipakai.
Sang istri pun gembira dapat tangkapan ikan sesuai dengan yang diharapkan.
“Mas, ini nanti ikan-ikannya kita bawa ke pasar, lalu kita jual. Pasti laku, karena sekarang pasokan ikan di pasar sedang sepi. Jadi nanti 2,5%-nya kita sedekahkan kepada masjid ya Mas. Sisanya kupakai untuk belanja dan beli kalung emas.”, semangatnya kembali menggelora disertai dengan mata berbinar.
Sang suami diam saja.
“Emmm… tidak. Karena kita dapat ikan pari yang sangat jarang, sebagai gantinya 10% untuk sedekah dan 90% untuk belanja.”, kata sang istri meralat ucapan sebelumnya. Sang suami masih tidak menunjukkan respon.
“Emmm… begini saja. Karena kita sudah selamat dari badai, dan kita juga jalan-jalan di sekitar Pulau Tawon yang eksotis, kita sisihkan 50% untuk sedekah, dan 50% untuk belanja.”, ujar sang istri sambil menyunggingkan senyum syukur.
Sang suami tersenyum dan menjawab, “Ya Allah…”