Oleh: Ivah Narianti
Teringat tiga bulan lalu sebelum mesjid ini dibangun, aku melihatnya masih berupa pondasi-pondasi. Gemetar hati ini, ya Allah..Engkau wujudkan impianku untuk melihat rumahMu ada dilingkungan perumahan ini. Sudah lama aku perhatikan sejak kepindahanku ditahun 1994, hampir dua belas tahun aku perhatikan warga disini memang sangat guyub, damai dan saling hormat-menghormati, namun tak satupun ketika hadirnya bulan Ramadhan, lebaran dan hari-hari besar lainnya kami saling bersilaturahim, bertegur sapa pun tidak. Warga masing-masing mencari tempat ibadahnya sendiri-sendiri. Prihatin dengan kondisi seperti ini, aku tidak sengaja mengutarakan pemikiranku pada waktu itu bersama Pak Jenny yang mana beliau adalah salah satu warga yang berpengaruh di Rt kami.
“Oom…aneh ya, selama ini warga muslim kita kalau lebaran atau kurban, beda-beda mesjidnya..” ujarku suatu sore saat berkumpul dengan anak-anak remaja komplek dirumah . beliau. Beliau tercenung sesaat, kemudian bertanya,
“Menurut kamu, apa ada tempat yang cocok buat membangun mesjid?”
“Sepertinys ada Om, yang didekat blok A itu bagaimana? Itu punya Kavling ini juga kan? Atau dibelakang blok G disana, Om!”
Beliau terdiam, sepertinya pendapatku mengenai belum adanya tempat ibadah di perumahan ini mulai beliau pikirkan.
Tak berapa lama berselang, beliau ternyata mendatangi sesepuh RT kala itu dan mulai mendiskusikan hal tersebut. Dan akhirnya menjadi viral dikalangan pejabat-pejabat RW dan RT. Dengan diskusi yang sangat panjang, entah berapa hari waktu itu, salah satunya pernah aku hadiri, maka tercananglah pembebasan tanah tersebut untuk mendirikan mesjid. MasyaAllah…warga pun mulai saling bahu-membahu membantu mendirikan mesjid dengan menyumbang hartanya. Tidak lama untuk memperoleh dana besar didaerah itu, karena warganya terbilang ekonomi elit.
Ah, suatu awal yang manis dan sampai akhirnya mesjid itu pun mulai setengah berdiri. Mesjid ini dinamakan Al Fatah. Tak lama kemudian mulailah para pengurus mesjid mengatur jadwal untuk menyambut bulan Ramadhan. Ya Allah, cepat sekali semua ini terlaksana..sampai aku juga ditunjuk menjadi sekretariat mesjid ‘sementara’,karena fasilitas mesjid belum ada sama sekali. Aih, senangnya….aku bisa bantu-bantu para bapak-bapak pendiri masjid tersebut.
Tak ayal, tiap malam aku rajin ikutan rapat, walo akhwat sendirian, aku pe-de saja, toh mereka adalah ‘keluarga’ku juga. Orang tua juga tak melarang aku untuk ikutan kegiatan nirlaba begini, karena mereka tahu, aku memang tidak bisa diam anaknya. Yang penting bagi mereka, mereka tahu keberadaan aku ada dimana, that’s it! Jaga nama keluarga ya, Vah! Bapak selalu mengingatkanku.
Terkadang aku ikutkan ibuku untuk ikut rapat dimesjid, dan alhamdulillah ibuku adalah salah satu pengurus RT kala itu, jadi tahu banget persoalan-persoalan yang ada dimesjid. Mungkin aku memang mirip dengan ibu untuk hal seperti ini, senang dengan berorganisasi. Beliau jugalah yang selalu mendorongku untuk aktif di masyarakat. Ya alhamdulillah banget!
Ramadhan tinggal tiga hari lagi. Aku pun mulai sibuk membagi-bagikan selebaran formulir kepada warga, siapa saja yang ingin memberikan sumbangan berupa ifhtor dan sahur bagi musafir dan marbot. Mulailah banyak yang menghubungiku, dan memesan tanggal berapa akan memberikan sumbangan ifhtornya.
Ramadhan datang! Bulan suci ini hadir dengan sambutan yang sangat meriah disambut oleh warga kami, berduyun-duyun warga mulai memadati mesjid setengah jadi itu. Malam pertama taraweh sungguh malam yang tidak kami lupakan, ramai dan penuh. Namun, setelah taraweh pertama malam itu, mulailah konflik itu mengemuka.
“Ada laporan, kenapa Ivah yang menjadi sekretaris mesjid? Bukankah sebelumnya tidak diperbolehkan wanita mengurus mesjid? Kenapa anak kecil kemaren disertakan di mesjid?” mulailah aduan-aduan seperti itu muncul ditelingaku. Lho, apa salahku?
Esoknya, aduan itu kembali ada, semakin lama semakin aneh. Bak bola salju yang menggelinding semakin lama semakin membesar, aduan itu lama-lama menjadi fitnah. Sesak dada saya menerima fitnah-fitnah yang tidak pernah terpikirkan oleh benak saya sekalipun. Ya Allah, ya Rabb…berilah hamba kesabaran dan tunjukkanlah hamba jalan kebenaran. Saya tidak bermaksud apa-apa. Setiap sholat tak henti-hentinya saya memohon perlindungan Allah SWT.
“Sebaiknya kamu meminta maaf saja”,ujar salahsatu istri pengurus mesjid kala itu.
“Lho, bu? Salah saya apa ya? Saya ga ngerti,” ujar saya bertanya-tanya.
“Karena kamu perempuan…kamu dianggap mereka sebagai sekretaris mesjid, dan perempuan tidak boleh ada dimesjid, itu yang membuat mereka marah,” kata ibu muda itu. “Besok setelah dhuha, biasanya ibu-ibu selesai tadarusan, kamu langsung saja minta maaf. Tidak perlu menjelaskan apapun!”, sambungnya tegas.
Aku tercenung, otakku masih sedikit limbung dengan penjelasan beliau tadi. Aku ngga bisa menerima hal sepele ini, kemudian memfitnah dengan segala rupa. Ya…semua harus jelas, besok aku harus menjelaskan semua.
Terdengar alunan tadarusan ibu-ibu pengajian yang memecah cerahnya pagi. Tapi tak secerah hatiku saat itu, ada rasa kekhawatiran luar biasa memasuki masjid pagi ini. “Apa tanggapan mereka nanti dengan pernyataanku? Apa mereka puas? Kenapa juga harus meminta maaf? Ya Allah, aku ini siapa sih? Hanya membantu orang yang akan menyumbang, kok jadi kesulitan begini, ya Allah…bantu hamba,” lirihku didalam hati. Aku harus maju, apapun yang terjadi, masalah ini harus selesai.
Aku intip bolak balik jendela mesjid itu, ditemani istri pengurus mesjid, kami menunggu diberanda mesjid. Setelah doa-doa berakhir, istri pengurus itu memberi tanda padaku, aku mengangguk. Bismillahirahmannirahim.
Aku langsung duduk dihadapan ibu-ibu pengajian, bagaikan seorang terdakwa, aku menunduk dulu. Kemudian setelah nafas teratur, aku beranikan diri mengangkat kepala lalu menatap satu-satu para ibu-ibu jamaah ini. Ibuku ada diantara mereka juga, menatapku heran, apa yang terjadi, mungkin pikirnya.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, ibu-ibu….hmmm, saat ini saya ingin mengungkapkan dan menjelaskan kenapa saya yang mengurus ta’jil, ifhthor dan sahur dimesjid ini. Diawali tidak adanya telepon dimesjid kita yang baru, maka pengurus meminta saya untuk mengatur bagian ini. Saya menerimanya, dengan tidak ada maksud apa-apa. Jika saya bersalah saya mohon maaf, “ ya Allah, apa yang telah aku lakukan sih, apakah salah membantu mesjid ini?
“Demikian penjelasan saya, sekali lagi saya mohon maaf kurang lebihnya, wassalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh,” langsung aku berdiri dan beranjak keluar.
“Kan sudah saya bilang, katakan maaf saja, tidak perlu cerita-cerita dari awal,” ujar istri pengasuh mesjid itu keras.
“Lho….aku harus bilang apa lagi ,mbak? Biar mereka tahu dong, kenapa saya ujug-ujug dipilih,” aku jawab tidak kalah kerasnya.
“Lihat saja nanti, mereka pasti langsung komentar dan entah apa lagi kemarahan yang mereka ada-adakan,” ujarnya pelan.
“Iya, coba kita lihat saja nanti…..” ujarku juga.
Benar saja apa yang dikatakan istri pengurus itu. Ternyata ucapan yang aku katakan kemarin, bagi mereka adalah suatu pelecehan. Karena tidak memberitahu kepada mereka dahulu. Aku dianggap anak yang ngga tahu sopan santun. Innalillahi….
Tak habis pikir aku mendapat perlakuan seperti itu, ibuku mulai prihatin dengan kondisiku yang selalu menangis diam-diam ketika sholat, beliau mulai gusar, beliau tidak menyangka juga, warga disini memperlakukan buah hatinya bagaikan orang terpidana. Beliau menghubungi pak RT, pengurus mesjid, dan perwakilan majlis taklim ibu-ibunya. Beliau minta semua dipertemukan dimesjid setelah taraweh. Malam ini juga! Dan malam itu, aku baru melihat kemurkaan seorang ibu, bagaikan ibu singa yang mengaum melindungi anaknya dari ancaman musuh.
“Apa salah anak saya, mengharuskan dia harus memohon-mohon maaf didepan ibu-ibu sekalian, bagaikan seorang pencuri, coba dimana salahnya? Dia hanya membantu…membantu ibu-ibu…..apa salahnya membantu mesjid ini disaat mesjid ini masih belum ada apa-apa!” tegas ibuku.
Salah satu perwakilan ibu-ibu itu menjawab, “Mbak Ivah ini kan perempuan, bu. Kemarin kami dengar dari bapak-bapak pengurus yang terhormat, ibu-ibu tidak diperkenankan mengurus kegiatan mesjid. Kami juga ingin membantu mesjid ini, bu. Dan ternyata, kenapa mbak Ivah bisa ikutan? Dia masih anak-anak, anak baru kemaren malah, kenapa diikutsertakan? Kok mesjid tidak konsekwen, harusnya sesuai dengan perkataan dong!” tak kalah keras ibu itu berkata.
Bapak yang kebetulan salah satu pengurus mesjid ini menjelaskan,”Ibu-ibu, berkaitan dengan sekretariat dan sekretaris itu sebenarnya berbeda. Sekretariat adalah suatu unit dan tempat dimana kepala Tata Usaha yang mengepalai, bukan sekretaris. Sekretaris mesjid tetap bapak-bapak yang memangku jabatannya. Jadi, mbak Ivah ini hanya petugas tata usaha, tapi bersifat sementara kalau bisa dibilang,” ujar bapak menjelaskan dengan nada kebapakannya seperti biasa.
Akhirnya, permasalahan ini mulai ditengahi oleh ketua RT dan para pengurus mesjid. Diambillah jalan tengah dan disepakati bahwa aku tetap mengurus administrasi untuk ifthor dan sebagainya, selanjutnya ibu-ibu diperbolehkan membantu mempersiapkan hidangannya dimesjid. Alhamdulillah, akhirnya semua sudah jelas. Tidak ada lagi kesalahpahaman, masing-masing kubu sudah melebarkan bendera putihnya. Hufft, disini aku belajar, bahwa mengurus umat itu ternyata tidak semudah apa yang kita bayangkan. Semua harus dilihat dari berbagai sisi. Jamaah disini bukanlah jamaah yang bodoh, tidak sembarang menerima semua aturan dari pimpinan. Harus jelas!
Setelah itu, semua aktivitas mesjid berjalan dengan lancar, tidak ada lagi konflik yang mendera. Ramadhan pun semakin lama semakin menjauh, hingga akhirnya berada di penghujung perpisahan. Lima hari menjelang lebaran, kami para jamaah mesjid mulai sibuk mempersiapkan Zakat Fitrah, dan persiapan lainnya. Para ibu-ibu juga bahu membahu membantu bapak-bapak dalam penimbangan beras ketika zakat fitrah akan dibagikan sebelum fajar lebaran menyingsing. Sungguh, suasana itu tidak akan pernah terlupakan. Yah, ini karena Ramadhan. Bulan suci ini telah mengubah warga kami menjadi semakin erat dan solid.
Malam takbiran pertama pun hadir, para pengurus sepakat menggelar sholat Ied ditengah jalan komplek yang menjadi jalan utama namun tetap mengarah ke arah mesjid. Penjagaan tempat sholat Ied sangat ketat sekali, setelah benar-benar dibersihkan, pengurus mesjid meminta keamanan komplek untuk memastikan tidak ada hewan yang numpang buang air disana. Wow, sampai segitunya. Hebat!
Fajar lebaran pun menyingsing, satu persatu warga datang ke lokasi sholat Ied. Aku tak kuasa menahan tangis kala itu ketika sholat Ied berlangsung, selama sholat airmata ini mengalir terus, bersyukur,bersyukur akan kemudahan yang telah Allah berikan kepada kami semua. Keinginanku bisa sholat bersama dengan warga komplek, memiliki tempat ibadah di perumahan sendiri, langsung Allah kabulkan. Allahuakbar….indahnya bersedekah…membuat kebahagiaan seluruh umat.
Sampai sekarang ini, mesjid Al Fatah telah berkembang dengan pesat. Sekarang Al Fatah sudah berlantai dua, dan memiliki TPA dan rumah tahfidz, juga ada ambulance bagi warga yang membutuhkan. Semoga Allah selalu memberkahi mesjid dan warga perumahan ini khususnya, yang telah ikhlas menyumbangkan hartanya demi memakmurkan mesjid, memakmurkan Rumah Allah.