Oleh: Sammad Hasibuan
Pagi itu, hari tampak sangat cerah dan berwarna. Langit biru terlihat jelas menggantung jauh di atas sana dan tak terjamah. Gumpalan awan bergerak pelan mengikuti arah kemana angin berhembus. Sekitar pukul sepuluh, setelah memasukkan berkas yang diminta ke dalam tas, aku menaiki motor butut peninggalan ayah. Dengan mengenakan setelan hitam putih, hari ini menjadi waktu yang begitu kutunggu-tunggu kehadirannya. Bagaimana tidak, tepat pukul sebelas nanti pengumuman lolos sebagai volunter akan dipajang panitia di papan informasi kantor mereka. Sudah sangat pasti aku mengharapkan ini menjadi kesempatan baik bagiku. Namun, mengingat pendaftar yang begitu membludak membuatku sedikit pesimis. Dari total 393 pendaftar, kuota yang disediakan hanya untuk 50 orang saja.
Begitu tiba di tempat tujuan, aku memarkirkan motor dan menyaksikan kerumunan orang-orang sedang menunggu. Mereka tampak begitu gugup dan khawatir jika nanti nama mereka tidak tertulis pada kertas yang berisi nama-nama volunter yang dinyatakan mencukupi syarat dan pastinya lolos. Melihat kenyataan ini, sikap pesimisku menguak kembali ke permukaan. Apa aku bisa lolos, gumamku dalam hati.
Aku memilih untuk melihat pengumuman itu belakangan setelah kerumunan itu selesai dan pulang satu per satu. Lalu, dengan sedikit tidak percaya diri, aku mengeja satu persatu nama yang tertulis di sana. Dimulai dari urutan teratas, hingga paling bawah. Sebelum tanganku bergerak semakin cepat menuruni rentetan angka itu, aku melihat namaku pada urutan ketiga puluh sembilan. Aku senang, dan begitu bahagia hingga spontas saja aku melompat-lompat membuat panitia yang melihat kejadian itu tertawa cekikikan. Tak masalah, yang penting impianku kini sudah ada di depan mata.
“Nama anda, Gumi, bukan ?”. tanya seorang panitia padaku.
“Iya, Pak”. jawabku sedikit gugup.
“Essaimu bagus, makanya kami tidak berpikir ulang untuk meloloskanmu”. Jelas bapak lagi.
“Bapak bisa saja. Bahkan saya belum percaya atas kelulusan ini”. Jawabku tidak percaya diri.
Aku masih belum sepenuhnya percaya atas apa yang kusaksikan siang ini. Namun, sikap bapak tadi membuatku semakin yakin jika kelulusanku benar-benar diperhitungkan. Akan tetapi, bukan itu masalah utamanya. Aku mengucap syukur atas nikmat yang kucapai hari itu.
Dua hari setelah melewati masa pelatihan, aku bersama volunter lainnya diberangkatkan menuju lokasi. Kali ini, tempat yang akan kami tuju adalah Panti Jompo yang terletak di sebuah desa terpencil. Berhubung kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Ramadhan, maka akan menjadi moment yang tak terlupakan jika nanti kegiatan ini berakhir.
Kami tiba di lokasi setengah jam sebelum azan magrib, aku menyaksikan pemilik panti jompo berdiri menunggu kami turun dari dalam bus. Di belakangnya, kulihat para lansia tampak bingung melihat orang-orang keluar dari dua bus besar. Kebanyakan lansia itu adalah perempuan. Kami diantar menuju penginapan selama kami mengabdi di panti itu, lalu diperkenalkan kepada para lansia yang kebanyakan dari mereka sudah beruban. Aku senang, dan sangat senang begitu seorang lansia, berusia sekitar 76 tahun sangat akrab denganku.
“Asalmu dari mana, nak ?”. tanyanya padaku.
“Aku dari Binjai, nek. Sangat jauh dari sini”. Jawabku agak pelan, sebab aku merasa pendengarannya sudah berfungsi secara normal.
“Kau akan temani nenek di sini, nak ?”. tanyanya untuk kedua kalinya.
“Iya, nek. Selama Ramadhan ini, aku dan mereka akan membantu nenek”. Ujarku tampak membuat lansia ini begitu bahagia. Pada akhirnya, aku mengetahui nama nenek itu, Rohima. Ia berasal dari Balige.
Malam pertama di panti, bersama para lansia kami salat berjamaah di sebuah musalla di sebelah utara panti. Saat itu, Jamil yang mengimami kami. Setelah selesai salat, kami tidak langsung pulang ke kamar penginapan, tetapi mengajak para lansia itu berbincang-bincang, bercerita, dan tertawa ketika melihat beberapa di antara mereka tampak menggoda teman-teman volunter yang laki-laki. Sementara aku menemui nek Rohima yang saat itu sedang bersandar. Ia menyambutku heran, seperti belum mengenalku sama sekali.
“Aku Gumi, nek”. Ujarku berusaha mengingatkannya.
“Nenek tidak kenal Gumi”. Jawabnya.
“Masa nenak lupa ? Aku Gumi nek, yang tadi sore”. Tegasku. Namun, ini sama sekali bukan solusi. Ingatannya telah memudar. Tapi, tak masalah ia mengingatku atau tidak. Kami menikmati malam pertama puasa dengan suara tawa dari segala sudut.
Sekitar jam dua, kami bangun dan mulai menyiapkan makanan sahur. Masing-masing kami telah menguasai tugasnya, sehingga tidak terjadi terlihat ada perdebatan. Setelah semua terhidang, kami membangunkan para lansia dengan sikap sopan. Namun, ternyata mereka cukup cekatan dan sigap. Salah seorang mereka berkata bahwa mereka biasa bangun pukul dua dini hari. Dan, demikian itu memudahkan kami. Kami sahur bersama, baik yang puasa ataupun yang sedang halangan. Selesai sahur, kami membereskan piring dan menatanya kembali pada tempatnya.
Pagi harinya, kami mengisi waktu dengan tadarus Al-Qur’an. Sementara sebagian volunter lainnya melakukan kegiatan kecil-kecilan dengan membersihkan rumput liar di sekitar pagar yang mengelilingi panti.
“Kalau lelah, istirahatlah dulu”. Suruh Nek Rohima padaku.
“Iya, nek, nanti aku bakal istirahat”. Jawabku.
“Kau sudah menikah ?”. tanyanya membuatku terbatuk-batuk.
“Belum, nek. Tak ada perempuan yang suka sama aku”. jawabku malu.
“Jangan berlebihan, nak. Menikahlah, dan jangan lupa undang nenek, ya !”. ia cekikan. Sepertinya, ingatan masa mudanya masih berbekas jelas dalam kepalanya.
Setelah Asar, kami kembali sibuk di dapur menyiapkan makanan untuk berbuka. Di antara teman-teman volunter lainnya, bisa dibilang aku cukup cekatan mengolah manisan dan membuat kolak. Hal tersebut menjadikan mereka sedikit manja. Tapi aku menganggap itu biasa saja, aku ikhlas. Sebelum Azan Magrib berkumandang dari musalla panti, kami telah berkumpul mengelilingi makanan yang sebentar lagi akan kami santap habis.
“Wah, siapa yang masak kolak pisang ini ?”. tanya seorang nenek pada kami.
“Itu buatan pacar nek Rohima, nek”. Jawab Ike membuat ruangan itu dipenuhi suara tawa.
“Tapi, Gumi tidak mau menikah denganku. Ia bilang aku sudah tua”. Ucap nek Rohima kembali membuat tawa mereka semakin jelas saja. Aku hanya tersipu malu menanggapi lelucon mereka.
Begitulah kegiatan kami setiap hari selama Ramadhan di Panti Jompo itu. Menemani para lansia dan berbincang-bincang penuh. Kelihatannya, masing-masing kami telah begitu akrab dengan mereka. Tarawih bersama, sahur bersama, dan buka puasa juga bersama. Kami menghabiskan pengabdian kami begitu ikhlas untuk membantu mereka. Bahkan, tak jarang salah satu para lansia sempat menangis ketika menyadari kami akan pulang pada hari kedua puluh sembilan puasa nanti.
“Jangan tinggalkan kami, nak”. Cegahnya pada Ike, teman sesama volunter.
“Ike bakalan ada di sini, nek”. Jawabnya terlihat samar.
“Nenek senang kalian di sini”. Ucap nenek itu membuat Ike begitu iba mendengarnya.
“Ike janji, Ike akan sering-sering berkunjung ke sini, nek”. Jawabnya. Kemudian, ia memeluk erat tubuh yang mulai renta itu.
Aku yang tak begitu jauh dari pemandangan menyedihkan itu ikut menangis. Aku berpikir, bagaimana mungkin dapat meninggalkan mereka di saat-saat mereka membutuhkan kami untuk menemani mereka. Bagaimana bisa aku melakukan ini ? Batinku merengut sedih.
Pertengahan Ramadhan, kami mengadakan lomba tilawah. Pesertanya adalah para lansia itu. sedikit lucu memang, tapi inilah momen paling menyenangkan bagi kami yang beberapa hari lagi akan berpisah. Mereka tampak antusias sekali dengan ide kami. Lomba tilawah itu berjalan dengan rapi, masing-masing lansia yang mendaftarkan diri satu per satu menunjukkan kebolehan mereka. Kami yang menyaksikan itu amat terharu. Kami bertepuk tangan begitu nama mereka dipanggil untuk maju ke mimbar yang telah disediakan. Yang dipanggil membawakan ayat sesuka hatinya, yang penting ia hapal.
“Pemenang lomba tilawah kali ini adalah………….Nek ROHIMA……..”. Ucap Ike yang menjadi pembawa acara.
Aku bertepuk-tepuk penuh semangat. Ternyata, nek Rohima keluar sebagai pemenangnya. Aku sudah menduga sebelumnya. Panitia menyerahkan hadiah yang sengaja mereka siapkan. Bahkan, aku sendiri tidak tahu apa isi bingkisa itu. rahasia, jawab Ike ketika aku bertanya.
Tiba saatnya malam 27 Ramadhan, kami memperingati turunnya al-Qur’an dengan mengadakan pengajian. Penceramahnya sengaja didatangkan dari luar kota oleh pemiliki panti. Kami menikmati isi ceramahnya yang begitu bagus dan cara penyampaiannya yang cukup lucu seringkali membuat kami terpingkal-pingkal menahan tawa.
Hari ke-29 Ramadhan, panitia yang mengirim kami ke sini, pemilik panti, dan para lansia telah berkumpul di sebuah ruangan yang cukup luas. Aku menangkap ada kesedihan dari mata mereka. Tak terkecuali, semua volunter terisak menangis saat berpamitan dengan mereka. Kami tampak seperti keluarga yang telah lama tidak pernah berjumpa.
“Sering-seringlah ke sini, nak”. Ujar nek Rohima padaku sambil menangis.
“Iya, nek. Aku akan berkunjung untuk menemui nenek ke sini”. Jawabku mencoba meredakan tangisnya.
Hujan lebat datang mengiri perjalanan kami menuju kantor panitia. Semua tertidur di bangku masing-masing, memimpikan para lansia yang kini jauh dari kami.