Oleh: Sartika
Menjadi mahasiswi rantau semester awal memang penuh tantangan. Berkurangnya konsentrasi saat mata kuliah jumat sore menjadi salah satu contohnya. Ketika lebih dari separuh penghuni ruangan petak yang sedikit sejuk akibat angin buatan sibuk membicarakan pulang kampung, Ames hanya terdiam dan memperhatikan separuh teman-temannya tersebut.
Ames: “Nggak bosen apa sen pulang kampung terus?”
Sendy: “Hehe, nggak lah mes. Pulang kampung itu pemulihan otak setelah satu minggu belajar terus.”
Ames: “Aku loh sen, udah hampir eman bulan gak pulang kampung.”
Sendy: “Haha, siapa suruh kuliah jauh-jauh.”
Ketika sudah dihadapkan dengan pernyataan semacam itu, Ames hanya mampu menutup bibirnya rapat-rapat sambil mencari-cari pembicaraan lain. Dengan harapan mampu mengalihkan topik pembicaraan.
Ames tidak menyesali keputusannya ketika Ames harus menempuh waktu kurang lebih 45 jam perjalanan darat dan laut untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi.
Bukan hanya soal bagaiamana Ames harus mengembangkan potensi dalam memanajemen keuangan yang minim dengan optimal. Menjalani kehidupan di tanah rantau seorang diri saja Ames merasa berat. “Lantas bagaimana, ketika menjalani kehidupan di tanah kubur seorang diri?” hal tersebutlah yang selalu merayu Ames untuk tetap setia pada pilihannya sebagai anak rantau.
Ames: “Alhamdulillah, ternyata kekuatan bukan hanya soal fisik, terbukti nih, meskipun nggak sahur puasanya tetap lancar sampe azan magrib.”
Sendy: “Iya Mes, bener banget. Setuju. Hehe.”
Ames dan Sendy memang begitu dekat. Karena memang keduanya memilih dosen yang sama untuk setiap mata kuliah yang dipilih.
Ames: “Kolakmu enak Sen, manis.”
Terdengar jelas pujian Ames terhadap kolak buatan Sendy seketika berubah menjadi suara air keran seolah-olah beradu dengan kerasnya lantai kamar mandi. Atau mungkin volume keran air yang besar sengaja digunakan Ames untuk meramaikan suasana hatinya yang nampak jelas pada raut wajahnya.
Sendy: “Katanya enak, tapi kok cuman dimakan sedikit kolaknya Mes?”
Ames: “Nanti dilanjut kok Sen, salat magrib dulu.”
Sedikit perubahan pada raut wajah Ames, terlihat lebih tenang. Mungkin Ames sudah meng-instal hatinya saat sujud terakhirnya, pada salat tiga rakaat yang baru saja Ames kerjakan.
Ames: “Aku rindu Sen, pertama kalinya aku menjalankan puasa tanpa keluargaku.”
Sendy: “Semangat ya Mes, inilah perjuangan. Selagi orang tua kita sehat. InsyaAllah semuanya baik-baik saja. Aku kan keluargamu juga Mes, sesama Muslim maksudnya. Hehe.”
Kerinduan Ames terhadap keluarganya, terlebih ibunya kian memuncak.
Ames: “Setiap buka puasa pertama ibuku pasti menyiapkan kolak Sen.”
Ibu Ames memang selalu menyiapkan kolak yang rasanya khas, mungkin karena resepnya ketulusan hati seorang ibu ketika membuatnya. Apa saja jenis kolaknya, jika sudah ibu yang membuatnya tidak akan mungkin ada yang tersisa dalam setiap mangkoknya.
Memang tidak akan ada yang mampu menggantikan posisi seorang ibu. Kolak yang secara resep seragam, yakni berbahan santan dan gula pun tak ada yang mampu menyamainya. Lantas bagaimana dengan kasih sayang dan ketulusan hati seorang ibu? Kita tidak akan mampu menjawabnya sebelum kita menjadi seorang ibu.
Untuk ibuku yang berjarak ratusan kilo meter dari pandanganku. Ketahuilah, anakmu rindu. Walau hanya semangkok kolak yang khas buatanmu. Tunggu anakmu kembali bersama lembaran-lembaran kertas berisi angkat-angka. Karena aku yakin ibu pun merindukanku, anakmu. Ames.