Oleh: Adinda Fitri
[Ilham, pengemis cilik yang ikhlas menyisihkan uang untuk memberi makan seorang nenek tua. Buat yang mau bantu Ilham, bisa hub saya].
Kalimat itu terbaca di salah satu status kontak BBMku dengan foto seorang bocah disampingnya. Langsung aku chat dengan Vita, si pembuat status.
[Vit, itu Ilham? Kok gak keliatan kalo dia pengemis? Bersih. Gak dekil].
[Iya, dia sebenarnya memang bukan pengemis. Katanya dipaksa sama ibunya buat ngemis].
[Astaghfirullah, kamu ketemu dia dimana?].
[Tadi aku liat dia di depan ATM di Mall. Karena agak aneh liatnya, jadi aku perhatiin terus. Gak lama aku lihat dia pergi ke warung lalu keluar dengan membawa bungkusan nasi. Aku kira buat dimakan. Ternyata dia ngasih bungkusan nasi itu sama nenek-nenek pengemis yang duduk di trotoar depan Mall].
[Masyaa Allah …, trus gimana?]
[Trus aku samperin tuh anak, aku tanya-tanya. Kenapa dia ngasih makan ke nenek itu? Apa neneknya? Dia bilang bukan. Katanya dia kasihan aja lihat nenek itu. Trus aku ajak Ilham kerumah. Aku tawarin makan, dia gak mau, katanya lagi puasa. Aku paksa-paksa tetap gak mau. Anaknya sopan, baik. Masih sekolah, klas empat. Lalu aku antar dia pulang. Rumahnya jelek, udah gak layak huni. Ibunya jadi pengemis sudah lama. Dan dari kemarin dia dipaksa ikut ngemis juga. Kata ibunya, mumpung lagi bulan puasa, banyak orang suka sedekah].
Aku terdiam membaca penjelasan Vita. Ada rasa sedih, haru sekaligus geram. Tega sekali ibu Ilham memanfaatkan anaknya untuk mengemis.
[Aku mau ketemu sama Ilham dan ibunya. Kamu bisa antar aku kesana?]
[Bisa. Kapan?]
[Besok ya? Jam 10 pagi?]
[OK]
***
Besoknya, setelah membeli sembako ala kadarnya, aku dan Vita menuju rumah Ilham. Rumahnya terletak di pinggir kota dan aku melihat bahwa sebagian besar penghuni perkampungan itu adalah pengemis dan anak jalanan.
“Pantas saja kalo ibu Ilham lebih senang mengemis dan memaksa anaknya untuk mengemis juga, tenyata lingkungannya begini,” aku membatin seraya memandangi deretan rumah dan para penghuninya yang sedang beraktifitas.
“Ini rumahnya!” Kalimat Vita membuyarkan pikiranku.
Aku berhenti di depan sebuah rumah yang paling kecil diantara deretan rumah di gang itu. Sepi, seperti tak berpenghuni.
“Ilham …, Ilham!” Vita berseru memanggil.
Tak terdengar sahutan. Beberapa kali kami memanggil sambil celingak celinguk.
“Cari siapa Mbak?” Tiba-tiba salah satu tetangga menghampiri kami.
“Cari Ilham, Bu!”
“Ilhamnya lagi main. Bentar saya cari. Tadi main sama anak saya.”
“Ibunya Ilham ke mana ya Bu?”
“Kalo jam segini ibunya biasa ngemis. Pulangnya nanti siang atau agak sorean. Itu ada kakaknya Ilham juga kok,” si ibu berkata seraya menunjuk pada sesosok remaja putri berjilbab yang sedang berjalan ke arah kami.
“Tia, sini! Ini ada yang nyariin Ilham. Mana adekmu?”
“Adek tadi main sepeda. Gak tau kemana.”
“Tia, boleh kami masuk ke rumahmu? Mau ngobrol-ngobrol,” Vita bertanya yang dijawab Tia dengan anggukan.
Kami berdua masuk mengikuti langkah Tia ke dalam rumah. Kondisi rumah itu sangat memprihatinkan. Seluruh bagian rumah terbuat dari bambu yang sebagiannya sudah rusak dan miring. Bahkan atapnya tampak bolong separuh. Rumah atau lebih tepat jika disebut gubuk itu terdiri dari dua ruangan. Di ruangan depan hanya terdapat tempat tidur kecil yang penuh dengan tumpukan baju berantakan, sebuah lemari dan meja belajar kecil. Masuk ke dalam, ada tempat tidur berukuran sedikit lebih besar yang bersanding dengan kompor dan perkakas dapur. Saat aku perhatikan, tempat tidur itu hanya beralas triplek yang sudah sobek disana-sini. Kata Tia, tempat tidur itu digunakan untuk tidur bertiga. Ya Allah, aku langsung membayangkan tempat tidurku yang nyaman di rumah. Sangat kontras.
“Tia, ibumu kemana?” Aku bertanya sambil terus memperhatikan kondisi rumah Tia.
“Ibu kalo jam segini keluar. Mengemis.”
“Kamu dan adekmu gak ikut ngemis?”
“Enggak. Cuma kalau disuruh ibu aja.”
“Itu yang masak siapa?”
“Saya. Tadi buat sahur.”
“Kalian puasa?”
“Yang puasa saya sama adek saja. Ibu enggak, katanya gak kuat.”
“Untuk buka puasa nanti masak apa?”
“Nunggu ibu pulang dulu. Belum ada uang untuk belanja.”
“Owh, biasanya dikasih ibu berapa untuk makan sehari?”
“5 ribu.”
“Whaatt?? 5 ribu rupiah??” Aku membatin kaget. Uang jajan anakku sehari saja lebih dari itu.
“Cukup uang segitu buat masak? Beli apa?”
“Biasanya buat beli telur. Nanti dimakan berdua sama adik. Kadang sama mie instan.” Aku dan Vita manggut-manggut.
“Ya udah, Tia. Ini ada sekedar sembako buat kamu. Besok kami mau ke sini lagi. Bilangin sama Ilham jangan boleh main dulu. Kami mau ketemu. Kalau bisa bilang juga ke ibumu kami mau ke sini.”
***
Besoknya, aku membawa lebih banyak sembako dan kebutuhan dapur untuk Ilham dan Tia. Pagi itu, aku bertemu keluarga mereka secara lengkap. Ibu Tia berbadan besar, gemuk seperti Ilham.
“Ibu puasa?”
“Eh, enggak Mbak. Gak kuat.”
“Masa badan segede gitu gak kuat puasa?”
Si Ibu hanya tersenyum sambil menunduk.
“Ibu sholat?” Tanyaku yang dijawab dengan gelengan kepala.
“Saya gak tau caranya, Bu.”
“Astaghfirullah, tapi Tia sama Ilham sholat kan?”
“Iya Mbak, saya sama adek biasa sholat di musholla belakang,” Tia menyahut yang di ikuti oleh anggukan Ilham.
“Ibu beruntung punya anak-anak yang baik. Meski ibu gak puasa, gak sholat, tapi anak-anak Ibu tetap menjalankan perintah agama. Bahkan Ilham kemarin meski dipaksa, tetap gak mau makan karena sedang puasa. Ibu gak malu?” Aku berkata dengan sedikit penekanan. Terus terang geram juga aku melihat si ibu.
Dari percakapan selanjutnya aku tahu bahwa Tia sedang kesulitan biaya untuk melanjutkan ke SLTP sedang Ilham sudah beberapa bulan menunggak SPP. Maka dari itu si ibu memaksa Ilham untuk ikut mengemis meski Ilham menolak keras.
“Aku gak mau diajak ngemis. Kata Pak Ustad, ngemis itu gak boleh. Makanya kemarin waktu diajak ngemis, uangnya aku beliin nasi aja buat nenek-nenek di situ. Neneknya belum makan seharian. Ya sudah, sekalian uangku aku kasih aja ke nenek itu semuanya,” celoteh Ilham diantara percakapan kami.
“Kenapa dikasih semuanya? Kan Ilham jadi gak punya uang?”
“Gak apa-apa. Ilham mau sedekah, biar dapat pahala. Lagian Ilham gak mau dapat uang dari mengemis.”
Ya Allah, ada segumpal haru menyeruak di hatiku. Ilham dan Tia anak baik meski ibunya seperti itu. Sayang sekali jika mereka harus putus sekolah hanya karena biaya.
“Bu, Insya Allah saya dan teman-teman mau bantu sekolahnya Tia dan Ilham. Tapi dengan syarat, Ibu gak boleh ngajak Ilham untuk ngemis lagi! Dan kalo bisa, ibu juga berhenti jadi pengemis. Cari kerjaan lain. Ibu bisa kok jadi ART. Teman saya banyak yang butuh ART. Ibu mau?” Aku bertanya yang dijawab si Ibu dengan anggukan.
“Oke, sepakat ya, Bu? Nanti saya akan cari dana bantuan. Syukur-syukur kalo sekalian bisa buat nge-renov rumah ini. Tapi kalau saya lihat ibu melanggar kesepakatan, bantuan saya hentikan. Ibu paham, ya? Tia, Ilham, jangan mau kalau diajak Ibu mengemis lagi ya!”
Ilham dan Tia mengangguk. Aku berjanji besok akan datang lagi dan membawakan mukena untuk Tia dan ibunya.
***
Beberapa hari kemudian sudah terkumpul banyak dana untuk keluarga Ilham. Alhamdulillah, bulan Ramadhan memang penuh berkah. Tak begitu sulit mengumpulkan dana karena banyak orang yang berlomba untuk berderma.
Aku tersenyum melihat tawa ceria Ilham dan Tia saat melihat rumah mereka direnovasi. Ada sensasi bahagia saat kita bisa membahagiakan orang lain. Dan aku merasa harus banyak belajar lagi agar bisa memiliki hati yang bening dan tulus, sebening hati Ilham.