Sebutir Berlian Menjadi Limpahan Emas di Bulan Ramadhan

Oleh: Nurul Rahmawati

Namaku adalah Harsa, aku berusia 11 tahun.Sejak kecil, aku hanya hidup berdua dengan ibu. Ibuku berprofesi sebagai penjual nasi pecel keliling. Penghasilannya memang tak seberapa, namun aku salut dengan perjuangannya demi menghidupiku. Setiap pagi buta, aku selalu membantunya mempersiapkan dagangan yang akan dijajakan. Hidupku memang penuh dengan kekurangan, namun kata ibu “Nasib tidak akan berubah jika kita tidak berusaha.”, aku percaya akan hal itu, yang bisa kulakukan hanyalah belajar dengan giat supaya bisa menjadi orang yang hebat.

***

Aku merupakan salah satu siswa yang pandai dikelas. Aku tak memiliki teman dekat satupun, mereka tak suka berteman denganku karena aku hanyalah orang miskin. Banyak sekali dari mereka yang selalu mengejekku karena  ketidakmampuanku membeli barang-barang seperti yang mereka miliki. Aku hanya bisa memakluminya, namun aku tak pernah dendam pada mereka, aku tetap menyayangi mereka sebagai teman-temanku.

Sepulang sekolah, bu Fiolla memanggilku di ruangannya. Sesampainya  disana,beliau menyuruhku untuk mengikuti lomba pidato Bahasa Inggris tingkat nasional karena beliau menganggapku mampu dalam bidang tersebut. Aku sangat senang  mendengarnya, namun hatiku menciut ketika bu Fiolla menerangkan jumlah registrasi yang harus kubayar. Kata beliau,”Lomba  akan diadakan selama 3 hari di Surabaya,sekolah sudah menanggung biaya makan,penginapan, serta setengah dari harga registrasi perlombaan.”,harga registrasi yang harus kubayar adalah Rp.100.000,00. Bu Fiolla menyuruhku untuk memikirkannya terlebih dahulu, jika memang sudah siap, maka aku harus memberikan uang tersebut kepada beliau sesuai tanggal yang sudah ditentukan.

***

“Aaapaaa ??!!! ibu tak sanggup membayarnya nak, penghasilan ibu saja tidak seberapa !.”kata ibu, aku sudah menduga pasti ibu akan mengatakan hal itu, aku hanya bisa tertunduk pasrah dan pergi menuju kamarku.

Ketika aku di dalam kamar, terlintas di pikiranku untuk berjualan permen gulali,maka hasilnya akan ku bayarkan untuk registrasi lomba bulan depan. Aku langsung bergegas mencari celenganku yang ku letakkan di dalam lemari. Ku pecahkan celengan tersebut dan keluarlah uang-uang dari uang jajan yang kusisihkan selama ini. Kemudian,aku menyimpan uang tersebut untuk ku gunakan sebagai modal awal daganganku esok hari.

***

Sore ini, aku mampir ke pasar untuk membeli kebutuhanku membuat permen gulali. Aku membeli bahan-bahan seperti gula pasir, pewarna makanan, kantong plastik dll.

Setelah usai belanja dari pasar,aku bergegas pulang dan segera membuat gulali untuk ku jual esok hari di sekolah. Proses pembuatannya cukup mudah,namun cukup melelahkan jika kulakukannya sendiri.

***

Hari ini aku semangat berjualan permen gulali di sekolah. Aku menjualnya pada teman-temanku. Banyak dari mereka yang menyukai permen buatanku. Baru hari pertama saja, aku sudah dapat menjajakan 20 biji permen gulali. Alhamdulillah, aku senang sekali dengan hasil usahaku sendiri.

***

Hari demi hari ku lalui. Jualanku semakin hari, semakin laris saja. Uangku sudah lumayan banyak terkumpul. Ketika aku sedang menghitung hasil daganganku,tiba-tiba Sarpi dan teman-temannya pun datang, mereka mengerubungiku seolah-olah ingin menghajarku. Tiba-tiba ,Sarpi marah kepadaku, ia beranggapan bahwa aku laris berjualan karena aku sengaja mengancam teman-teman untuk membeli daganganku. Aku hendak melawan perkataannya, namun secepat kilat ia dan teman-temannya tiba-tiba merusak, membuang dan menginjak-injak daganganku, kemudian mereka pergi meninggalkanku begitu saja. Aku sangat sedih kala itu, namun aku hanya bisa sabar dan pasrah dengan perbuatan mereka karena aku hanya ingin memiliki teman bukan memiliki musuh.

***

Hari ini adalah hari pertama memasuki bulan puasa. Ketika bulan puasa berlangsung, sekolah kami dimulai sejak siang hingga sore hari.Walaupun Sarpi dan teman-temannya telah merusak daganganku, namun aku harus tetap semangat untuk berjualan, karena hanya ini yang bisa ku lakukan demi mengikuti lomba yang aku dambakan.

Kini, ketika di kelas aku sering sekali mengantuk, mungkin karena aku terlalu capek harus mengurus daganganku. Aku jadi malas untuk belajar. Namun, bagaimana aku bisa menang jika aku tak pernah belajar ? tapi bagaimana pula bisa menang bila aku tak memiliki uang untuk mendaftar ? ah sudahlah, yang terpenting bagiku kini hanya mengumpulkan uang untuk lomba saja, selanjutnya aku akan belajar semaksimal mungkin selama seminggu sebelum perlombaan.

***

Hari ini, tepat seminggu sebelum pendaftaran ditutup, uangku sudah terkumpul sebanyak jumlah yang harus kubayarkan. Aku hendak menyetorkannya pada bu Fiolla, namun kata beliau, uangnya harus kuberikan sehari sebelum hari H saja, yang terpenting aku harus mempersiapkan kemampuanku dengan baik. Bu Fiolla mengatakan jika beliau tidak meragukan lagi akan hal itu, aku tak pernah latihan dengan beliau di luar jam sekolah, karena setiap hari beliau selalu menyuruhku maju dan berpidato berbahasa Inggris didepan kelas. Namun, aku tak mau besar kepala,aku harus tetap belajar untuk mendapatkan hasil yang sempurna.

***

Hari ini adalah hari minggu. Karena sekarang adalah hari libur,sore ini aku menjajakan daganganku di taman kota. Disini banyak sekali orang-orang ngabuburit dan bersantai dengan keluarganya. Aku jadi teringat akan ibu. Aku tak pernah menghabiskan waktu berdua dengan ibu. Ibu hanya fokus bekerja terus setiap hari demi diriku. Walau begitu, aku tetap bisa merasakan kasih sayangnya yang tulus kepadaku.

Aku berusaha mendekati kerumunan anak kecil untuk menjajakan daganganku. Mereka semua menyukainya, dan baru setengah jam saja daganganku sudah hampir ludes dibeli oleh mereka. Ketika aku sedang  melayani seorang pelanggan, tiba-tiba…bbbbrrraakkkk  brakk brrraakkk, mataku langsung menatap ke sumber suara yang berasal dari sebrang jalan. Aku langsung bergegas menolong seorang anak yang menjadi korban tabrak lari sepeda motor tersebut. Ketika aku menghampirinya, rupanya anak tersebut adalah Sarpi.  Dia masih dalam kondisi sadar, namun kakinya terluka parah. Aku segera membopong dia menuju rumah sakit yang jaraknya sekitar 100 meter dari lokasiku saat itu. Saat aku hendak membawanya ke rumah sakit, ia menolak lantaran ia tak membawa uang sepeser pun. Ia juga tak hafal nomor telepon rumahnya sehingga tak dapat meminta bantuan kepada keluarganya. Aku tetap bersikeras membawanya ke rumah sakit, aku meyakinkannya jika aku akan menolongnya untuk membayar biaya pengobatannya. Uang yang sudah ku tabung untuk lomba, terpaksa aku gunakan untuk membayar biaya pengobatan Sarpi. Walaupun ia sering menyakitiku, aku tetap menganggap dia adalah temanku.

Sesampainya di salah satu ruangan di rumah sakit, aku meninggalkannya bersama dokter yang menanganinya. Rupanya Sarpi mengalami luka yang cukup dalam, sehingga mengharuskannya untuk mendapat jahitan dari dokter.

Setelah proses penanganan dari dokter selesai, aku segera menghampiri Sarpi untuk menemaninya. Aku ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja. Dia tertunduk ketika aku berada di dekatnya. Dia bertanya,”Mengapa aku mau menolongnya?”, aku langsung menjawab “Karena kau adalah temanku.” Dia bertanya lagi, “Apakah kau tidak membenciku?”, aku menjawab,”Aku tak pernah membencimu, aku hanya ingin memiliki teman bukan memiliki musuh.”, mendengar jawabanku ia langsung  meneteskan air mata sembari meminta maaf kepadaku. Dia mengatakan bahwa ia berhutang budi padaku, namun aku menyuruhnya untuk melupakannya saja, karena bagiku yang terpenting Sarpi baik-baik saja. Sejenak setelah itu adzan maghrib pun berkumandang, aku memberikan sebuah permen gulali sisa jualanku tadi sore, aku mengatakan bahwa permen tersebut dapat menghilangkan rasa sakit yang ia rasakan. Ia mengambil permen itu, kemudian memakannya dan berterima kasih kepadaku.

***

Hari ini, Sarpi sudah dapat masuk sekolah.  Ketika bertemu denganku, ia sontak menyapa dan tersenyum kepadaku. Ia menghampiriku dan memberikan sebuah amplop padaku. Ketika aku membuka amplop tersebut,kulihat ada uang senilai Rp.100.000,00 di dalamnya. Aku terkejut, “Untuk apa uang ini ? ”, ia menjawab ”Hanya itu yang bisa ku lakukan untuk membalas budi kepadamu,karena ku tahu kau sungguh ingin mengikuti perlombaan itu.”Mendengar ucapannya, aku sungguh terharu, aku langsung memeluknya an berterima kasih kepadanya. Tanpa buang waktu aku langsung  meninggalkan Sarpi dan menemui bu Fiolla, setelah bertemu beliau, segera kuberikan uang itu kepadanya. Beliau menerimanya, kemudian aku tersenyum lega. Aku sangat senang sekali karena aku dapat mengikuti lomba tersebut.

***

Sekarang adalah waktuku untuk menunjukkan kemampuanku di hadapan para dewan juri. Aku menghilangkan rasa grogi ku. Aku pun tampil dengan sempurna tanpa harus memikirkan sesuatu yang menganggu di pikiranku.

***

Hari ini adalah hari terakhir aku di Surabaya. Aku dapat lolos maju ke babak grand final, namun aku masih belum tahu siapa yang akan menjadi pemenangnya. Pengumumman tersebut akan diumumkan beberapa menit lagi. Aku dan bu Fiolla sangat berdebar-debar menantikan siapa yang akan menjadi sang pemenang. Juara ketiga diraih oleh….Riiizzky Purnama….Juara kedua diraih oleh Adriiiiaann Wiiijaaya….dan juara pertama diraihh oleh ….dag dig dug….jantungku sungguh berdegub kencang, juara pertama adalah Harsaaa Suryadi. Mataku terbelalak kaget tak percaya bila aku menjadi sang pemenang. Aku dan bu Fiolla segera naik ke atas panggung untuk menerima hadiah dari panitia.

***

Hasil dari perlombaan kemarin, aku dapat mengantongi uang sebesar Rp.2.000.000,00, sebenarnya aku ingin membantu ibu untuk merenovasi rumah kami karena banyak sekali atap yang bocor ketika hujan menghadang. Namun, ku urungkan niatku tersebut, karena kata ibu,”Berbagi kebahagiaan dengan sesama itu lebih berkah daripada menikmati kebahagiaan itu sendiri.”, akhirnya aku mantap untuk mengadakan syukuran atas kemenanganku esok hari.

***

Hari ini, aku berniat menggunakan uang hasil kemenanganku untuk mengadakan buka bersama dengan teman-teman sekelasku di rumah. Aku juga mengundang anak-anak jalanan pinggir kota yang biasanya kutemui saat aku berjualan. Bu Fiolla juga datang ke rumahku. Ketika adzan berkumandang, aku tak lupa memimpin do’a berbuka puasa, setelah itu aku membagikan permen gulali kepada mereka. Kami pun tertawa bersama, ibu juga ikut tersenyum bangga kepadaku, untuk pertama kalinya ibu meluangkan waktunya untuk memelukku, aku sangat bahagia sekali kala itu. Semua teman-temanku pun mengucapkan selamat kepadaku, sejak saat itu tidak ada lagi yang namanya musuh, yang ada hanyalah teman.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *