Oleh: Vreeasca
“Allahu akbar Allahu akbar.” Suara adzan menggema dengan lembut kala mentari telah pergi meninggalkan singgasananya di ufuk barat. Sebagai penanda waktu berbuka puasa telah tiba.
Kuperhatikan semburat warna jingga yang membentang cantik di langit sore ini lewat jendela kaca. Di sana burung-burung menggerakkan sayapnya, terbang bebas dengan formasi yang berbentuk seperti huruf ‘v’.
Setelah puas menikmati keindahan alam, tatapanku teralihkan dengan padatnya jalanan Kota Jakarta. Beberapa mobil mengkilap tampak berbaris rapi di sana sedangkan sang empunya terus menekan klakson tanpa henti. Menimbulkan bunyi nyaring yang memekakan telinga sampai tanpa sadar aku telah menutup kedua telingaku dengan telapak tanganku.
Tak hanya itu, di sepanjang tepi jalannya pun terdapat para pedagang yang menjajakan segala macam jajanan khas Jakarta. Laris terjual diborong oleh mahasiswa dan mahasiswi kampusku. Maklum, kelas pembelajaran mereka baru usai, sama sepertiku.
Sayangnya, aku masih harus terjebak di dalam ruang sempit ini. Berbeda dengan teman-temanku yang sudah melangkahkan kakinya keluar dari ruang penjara ilmu ini.
Yap, benar kawan-kawanku. Aku dan satu-satunya teman paling menyebalkanku ini masih berada di dalam perpustakaan kampus kami.
Alasannya? Ya tentu aja ngerjain tugas yang belum kelar emang butuh alasan apa lagi coba. Baca buku? Please deh guys percayalah anak jaman now gak bakal mau menghabiskan waktu luang mereka hanya dengan membaca buku ilmu pengetahuan yang tebalnya melebihi kamus KBBI.
“Woi Sal, udah belum tugasnya? Gue pingin pulang nih kasihan perut gue keroncongan,” ujar Alfadz sambil mengusap-usap perut datarnya.
Tanpa ku perintah tanganku bergerak dengan sendirinya. Mengambil penghapus di atas mejaku dan melemparkannya ke cowok cungkring yang berdiri di depan mejaku.
Yeay! seruku dalam hati ketika benda kecil persegi itu tepat mengenai kepalanya. Semoga benjol. Amiin.
“Asem lu! Sakit tau pala gue,” protes Alfadz dibumbuhi ringisan kesakitan.
“Sakit ya? Rasain tuh sakit! Loe pikir otak gue nggak sakit apa mikirin angka-angka ini melulu?!” teriakku kesal padanya.
“Sabar Sal, sabar, inget kalo loe sabar bakal disayang Tuhan,” kata Alfadz berusaha menenangkanku. “Atau loe mau gue sayang?” tambahnya tanpa melupakan kedipan mata andalannya.
Ya Allah sabarkan hamba-Mu ini agar tidak menampar mulut manis cowok ganteng nyebelin plus gemesin ini. Rangkaian doa-doa mulai terucap dalam hati kecilku.
Tanpa berniat membalas ucapannya, aku memberikan tatapan tajam legendarisku sebelum akhirnya kembali berkutat dengan tugas fisika yang diberikan Pak Botak…eh ralat, maksudku Pak Boni tiga hari yang lalu. Ini tugas kelompok dan hal luar biasanya aku harus berkelompok dengan salah satu cowok populer termalas di kelasku yang tidak lain dan tidak bukan ialah Alfadz Abdillah Muhammad.
Nyontek? Lah masalahnya tiap kelompok itu soalnya beda dan naasnya kami berdua kebagian buat ngerjain lima puluh soal sedangkan kelompok lainnya hanya empat puluh soal. Ya ampun ini mah namanya diskriminasi! Bodohnya lagi kenapa aku baru nyadar juga?!
Pena hitamku kembali menari-nari di atas kertas putih yang kini dipenuhi coretan angka mulai dari ratusan hingga jutaan. Kepalaku yang tadinya cuma pusing sekarang rasanya ingin meledak gara-gara ngitung angka-angka yang entah berapa jumlahnya.
Duh gusti….gimana ini? Aku laper banget buka puasa tadi cuma sempet minum air pasti enak makan ayam bakar pas cuaca dingin kayak gini atau minimal nasi goreng lah.
Tapi, semua itu percuma. Gimana aku bisa nikmatin makananku kalau di otakku mikirin tugas ini terus? Besok pagi dikumpulin lagi. Lengkap sudah penderitaanku hari ini.
Mendadak rintik-rintik air hujan berjatuhan di tengah kesibukanku. Alfadz? Huh jangan berharap deh. Wujudnya aja udah nggak keliatan ah paling juga cowok itu udah pulang. Masa bodoh deh pokoknya besok aku bakal ngaduin ke Pak Botak kalau Alfadz sama sekali gak ikut bantuin ngerjain. Biar aja dikasih nilai C atau kalau bisa D aja biar tuh cowok jadi mahasiswa rajin.
Embusan angin yang melewatiku membawa rasa dingin yang menusuk kulit hingga membekukan tulang. Sesekali aku meniup telapak tanganku juga mengusapnya agar tidak kedinginan. Masih ada sepuluh soal lagi yang harus ku kerjakan. Ayo semangat Salwa nasi ayam bakar menunggumu, batinku menyemangatiku.
Suara tik, tik, tik akibat rintikan air hujan yang beradu dengan jalan di luar sana menemaniku mengerjakan tugas pengabdian ini. Apaan sih Sal? Lebay deh!
Tiba-tiba di tengah alunan suara rintik hujan ponselku berbunyi nyaring. Cepat-cepat ku raih benda kotak itu di dalam sakuku. Tanpa melihat nomor si penelpon aku menggeser tombol hijau dan menerima telpon itu.
“Assalammu’alaikum,” kataku mengucapkan salam.
“Wa’alaikumsalam Salwa,” balas seseorang di pennghujung sana.
Mendengar suara bass yang tidak asing di telingaku itu membuatku menngernyit. “Alfadz?” tanyaku meyakinkan.
“He,em Salwa ini gue temen loe yang paling kece.”
Aku menarik napas. “Denger ya Alfadz yang super pemalas kalo loe Cuma pingin gangguin gue mending loe batalin niat loe itu sebelum gue matiin telpon loe,” sahutku ketus.
“Jangan berprasangka buruk dulu deh Sal. Gue Cuma pingin minta bantuan loe kok.”
“Pede banget loe bilang gitu. Loe pikir gue mau bantuin loe?!” kataku kesal.
“Tolong ambilin buku paket fisika gue dong. Kayaknya ketinggalan di rak buku pojok kiri paling atas.”
“Gue.Nggak.Mau,” tolakku penuh penekanan.
“Pleasee Sal. Sekali ini aja loe bantuin gue,” balasnya dengan nada memohon.
“Gue nggak—
“Gue mohon Salwa gue nggak mau kena hukum sama Pak Botak besok.”
Merasa kasihan aku pun berdiri dari dudukku dan berjalan menuju rak buku yang letaknya di pojok kiri. Seperti yang dikatakan Alfadz, netra hitamku menemukan buku paket fisikanya yang bersembunyi di antara buku-buku paket tebal lainnya di rak paling atas. Pun aku kembali menuju meja semulaku.
“Salwa?” panggil Alfadz. Anehnya kok aku ngerasa cowok itu di dekatku ya? Apa aku berhalusinasi? Wah pasti ini efek kelaparan.
“Iya iya gue udah ambilin–
Saat kembali ke mejaku betapa terkejutnya aku ketika aku melihat sebuah bingkisan kotak yang terletak di atas mejaku. Mengerutkan keningku aku membuka bingkisan kotak itu.
Seketika itu juga mataku melebar menatap sebatang coklat berukuran big size yang dihiasi pita. Di sampingnya ku temukan sebuah kertas berwarna biru muda yanng terlipat rapi. Dengan gerakan slow motion aku membuka lipatan kertas itu. Suaraku bergetar saat aku membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di kertas itu.
“Assalammu’alaikum Salwa! Makasih banget atas semua kesabaran dan kebaikan yang udah kamu berikan khusus buatku. Sebagai tanda terimakasih nih aku sedekahin cokelat limited edison favoritku buatmu. By the way happy birthday Salwa. Barakallah fii umrik. And the last, selamat berbuka puasa.”
Kini aku menatap horor pada ponselku yang ternyata masih tersambung dengan telpon Alfadz.
“Alfadz Abdillah Muhammad,” kataku pelan.
“Ya?”
“Jazaakallah khairan.”