Sedekah Terdekat

Oleh: Retno Ayuni Hemastuti

Dug dug dug. Allahu Akbar Allahu Akbar. Bunyi adzan magrib berkumandang menandakan waktu puasa telah tiba. Terlihat sebuah keluarga kecil, Ayah, Ibu, dan kedua anaknya yang sedang duduk di meja makan untuk berbuka puasa. Tangan kecil dari seorang remaja lelaki tiba-tiba meluncur ke gorengan yang ada di meja makan. Tak kalah gesit tangan ibu tiba-tiba menepuk tangan anak remaja itu.

“Kakak, baca doa dulu atuh.”

“Aduh, ibu sakit.” Kata anak lelaki itu sambil mengusap bekas tepukan ibunya di tangannya.

Ayah menggeleng kepala melihat tingkah laku anak sulungnya itu, ia lalu memimpin doa berbuka puasa dan melanjutkannya dengan menyantap makanan buka puasa. Di tengah-tengah buka puasa, suasana ruang makan kembali ricuh karena perbuatan si sulung Ari. Ia memakan semua bakwan yang ada di meja tanpa menyisakan untuk adiknya.

“Ibu, kakak tuh, nggak mau bagi bakwannya.” Rengek adik.

“Kakak, bagi dong sama adiknya. Kan kakak udah makan lebih banyak. Yang terakhir itu dikasih adiknya dong.” Pinta ibu merayu.

“Nggak!!” jawab Ari cuek sambil menyantap bakwan terakhir itu.

Ibu dan ayah hanya bisa saling tatap dan menggeleng-geleng kepala. Ibu pun memberikan keripik tempe untuk menenangkan adik yang sedang merajuk. Setelah berbuka puasa, Ayah dan anak bungsunya Fahri, sedang sibuk bersiap-siap untuk tarawih, ibu juga sedang sibuk membereskan meja makan agar bisa pergi tarawih bersama. Sedangkan Ari, dia sedang sibuk melototi gadget yang ada di tangannya. Setelah Ayah, Ibu dan Adik sudah siap mereka pun bergegas menuju masjid, namun Ari masih saja di tempatnya sedang sibuk bermain gadget.

“Kakak nggak mau ikut pergi tarawih?” Tanya Ayah.

“Nggak Ah!”

“Yakin? Kakak nggak takut sendiri?” Tanya ayah lagi mencoba menakut-nakuti.

Namun Ari tidak menggubris ayahnya. Dia terlalu fokus bermain gadget hingga indra pendengarannya seolah tidak mampu lagi menangkap suara lain. Melihat kelakuan anaknya itu ayah dan ibu hanya menggeleng kepalanya.

“Ya udah, ibu sama ayah pergi dulu, kalo kakak mau ikut jangan lupa ganti baju yah. Kopiah sama sarungnya ibu taruh di meja. Assalamualaikum.”

Ari masih saja diam. Suara bacaan Al-qur’an di masjid, menemani langkah ibu, ayah dan adik. Tampak ramai masjid hari itu. Maklum saja minggu ini adalah minggu awal bulan Ramadhan. Tampak seorang bapak yang mecoba mengarahkan para Jama’ah agar merapikan sandal mereka. Saat sampai di Masjid tak lupa ayah dan ibu menyapa para tetangga mereka yang juga ikut tarawih di masjid. Sesaat setelah Ayah dan ibu duduk adzan pun berkumandang. Allahu Akbar Allahu Akbar La IlahiIllallah. Kalimat terakhir adzan membuat Ari sadar. Ia tiba-tiba merasa takut dan merasa sendirian. Ari tiba-tiba merinding. Ia pun segera mengambil sarung an kopiahnya dan segera berlari menuju masjid. Sesampainya di masjid dia segera mengambil wudhu dan masuk ke masjid secara terburu-buru. Sehingga membuat sandal para jamaah yang tadinya rapi menjadi berantakan tidak karuan. Ayah terkejut melihat anaknya yang tampak lari masuk ke masjid. Ayah menggeleng-geleng melihat anaknya dan Ari masih terlihat terengah-engah. Setelah sholat Isya, tiba waktunya Ustadz menyampaikan ceramah Ari mundur menyandar di dinding masjid. Akibat kekenyangan ditambah lagi kelelahan akibat lari, mebuat Ari merasakan ngantuk yang sangat berat. Ari akhirnya tertidur di dalam masjid. Beberapa waktu pun terlewat, tiba-tiba seseorang membangunkan Ari.

“Kamu nggak pulang? Malah tidur di sini. Nanti dicari loh, sama orang tua kamu.”

“Saya mau sholat tarawih, Kak.”

“Sholat tarawihnya sudah lewat dek. Orang-orang sudah pada pulang.”

Ari merasa sangat kesal karena ayahnya meninggalkannya. Selama keluar dari masjid dia terus mengoceh tidak henti-hentinya. Sesampainya di lauar masjid saat hendak mengambil sandalnya. Dia tidak melihat keberadaan sandalnya. Yang tersisa hanyalah sepasang sandal butut yang sangat kotor. Ari terlihat sangat geram dan jengkel dibuatnya. Ari pun pulang dengan wajah kesalnya. Sesampainya di rumah orangtuanya yang sedang menonton televisi segera menegur Ari.

“Ini nih anak teladan, bukannya sholat tarawih malah tidur di masjid.” Kata Ayah Ari Sarkatis.

“Kakak cuci kaki dulu baru tidur.” Kata ibu.

Ari hanya diam berjalan terus masuk ke kamarnya. Dia sudah lupa dengan kekesalannya terhadap Ayahnya akibat sandalnya yang hilang. Dia terlau emosi dengan si Pencuri sandal yang mengambil sandalnya. Keesokan harinya Ari tidak makan sebanyak biasanya. Dia juga tidak rebut seperti biasanya. Sehabis makan ia langsung bersiap-siap menuju ke masjid.

“Kakak mau kemana?” Tanya Ayah terheran-heran.

“Mau ke masjid.”

Ari pun pergi dengan langkah cepatnya dan hilang dari pandangan orangtuanya.

“Kenapa anakmu itu, bu? Lagi sakitkah dia?” Tanya ayah keheranan.

Di lain sisi, Ari yang berjalan ke masjid segera mempercepat langkahnya. Sesampainya di masjid ia melihat satu per satu sandal yang ada di masjid. Penjaga masjid yang melihat tingkah laku aneh Ari pun menegurnya.

“hei, lagi apa kamu?”

“Lagi nyari sandal saya yang hilang, Pak.”

“Sudah-sudah nggak usah dicari. Ikhlaskan saja. Sekalian sedekah, siapa tahu orang yang ngambil lebih butuh.”

“Ih jangan, Pencuri tidak boleh dibiarin, Pak.”

“Ya sudah, ya sudah kamu masuk dulu, nanti lagi di cari sudah mau Adzan ini. Nanti kalo rejeki pasti ketemu lagi ko.”

Bapak penjaga masjid merangkul Ari ke dalam masjid. Ari pun masih tidak tenang. Tidak lama kemudian Ayah datang dan menepuk belakang Ari. Ia pun bertanya-tanya mengenai keadaan Ari. Ari pun menjelaskan kepada Ayah mengenai Apa yang di alaminya. Ayah pun tertawa mendengar cerita Ari. Setelah sholat Tarawih Ari pun bergegas keluar paling cepat. Saat keluar dari masjid dia segera melihat ke arah sandal yang tersusun dengan rapi. Dia mengamati satu persatu. Tapi dia tidak melihat sandal miliknya. Tiba-tiba dari di ujung tangga dia melihat seorang anak seumur dengannya sedang duduk. Ari berjalan mendekatinya, dia melihat sebuah keranjang di samping anak itu. Di dalamnya tampak beberapa bungkus marning dan keripik pisang. Dan Ari juga melihat sandalnya.

“Oh jadi kamu yang ambil sandal aku, ha?” Ari sangat emosi dia melayangkan satu pukulan keras di wajah anak itu.

“Aduh, tunggu, tunggu ini salah paham.” Anak itu mencoba melindungi wajahnya dengan tangannya.

Mendengar kegaduhan, para Jemaah segera berlarian eluar ke arah masjid. Ayah yang melihat Ari sedang memukuli orang segera berlari menghentikan anaknya itu.

“Sudah, sudah. Nak Firman ini bukan pencuri sanal nak Ari. Saya yang suruh dia menunggu di sini. Soalnya katanya dia nggak sengaja salah bawah sandal. Jadi nak Firman mau mengembalikan sandal yang dia bawa kemarin.” Kata bapak penjaga masjid.

“Saya minta maaf, soalnya kemarin sandalnya tidak tersusun rapi seperti biasa. jadi saya sulit daptkan sandal saya. Waktu masjid sepi yang tersisa Cuma sandal itu jadi saya kira itu milik saya.” Kata Firman menjelaskan.

Ayah yang melihat anak itu berbicara merasa bingung karena anak itu melihat kea rah lain saat berbicara. Ayah melambaikan tangan di depan anak itu.

“Anak ini buta, Pak.” Kata penjaga Masjid

Seketika Ari dan Ayah merasa brsalah dengan Anak itu. Ari merasa tidak enak telah memukul orang yang tidak bersalah dan ayah lebih-lebih merasa gagal mendidik anak sulungnya itu.

“Om minta maaf yah nak. Anak om memang salah. Dia agak emosian orangnya.” Kata ayah menyesal.

“Aku minta maaf yah.” Ari menjulurkan tangganya memegang Firman.

Firman tersenyum dan mengangguk. Permasalahn yang selesai pun membuat orang kembali teang dan pulng ke rumahnya masing-masih Ari dan Firman tinggal bercerita beberapa saat. Ari banya bertanya dengan Firman yang ternyata seorang pedagang keliling.

“Besokkan hari minggu, Aku mau temani kamu jualan, boleh?” Tanya Ari.

“Boleh saja, asal kamu mintaijin sama orang tuamu dulu.” Jawab Firman diikuti dengan anggukan.

Keesokan harinya Ari pun meminta ijin kepada kedua orang tuanya utnuk membantu Firman berjualan. Mereka berdua bertemu di masjid. Firman berjalan di samping Ari dengan tongkat menemaninya dan Ari membawa keranjang jualan. Sepanjang berjualan, Ari terus memerhatikan Ari. Tidak raut sedih yang terpancar di wajahnya. Ia selalu terlihat tersenyum. Tidak raut kelelahan, panjangnya jalan Firman lewati. Di jalan Ari sempat bertanya, apakah Firman tidak taku rugi kalau saja ada orang yang tidak jujur dan memberikan uang yang kurang.

“Allah sudah mengatur rejeki setiap orang. Jikalau nantinya ada yang memberikan uang kurang, biarlah kekurangannya menjadi sedekahku untuk mereka.”

Mendengar perkataan Firman, Ari mengangguk paham. Tak lama kemudian Firman berhenti di bawah kolong jembatan. Di sana banyak anak-anak kecil yang menyambut kedatangannya. Ternyata Firman juga sering membagikan ilmunya dengan anak-anak jalanan. Ia biasa bercerita mengenai kisah-kisah para nabi dan orang-orang soleh yang sering disebutkan dalam Al-quran dan hadis. Kekaguman Ari semakin bertambah saat dia mengetahui bahwa temannya ini adalah seorang hafiz Al-quran. Hari itu Ari mendapatkan banyak pelajaran berharga dengan melihat kehidupan Firman.

“Berbagi itu bukan hanya sekedar memberikan uang. Tapi bagaimana kita membagikan hal paling berharga untuk kebahagiaan dan kebaikan orang lain. Jika berbagi materi mungkin saat ini aku belum punya, tapi aku bersyukur masih bisa berbagi ilmu dan berbagi kebahagiaan untuk mereka semua.” Kata Firman.”Aku ingin seperti kamu berbagi dengan orang lain, tapi aku tidak tahu dari mana.” Kata Ari.

“Tak perlu jauh, cobalah untuk berbagi dan lebih menghargai dengan orang di rumahmu.”

Kata-kata itu membuat Ari langsung mengingat Ayah, Ibu dan terutama Adiknya. Ia akhirnya sadar bahwa selama ini dirinya kurang mau berbagi dengan Adiknya.

“Bagaimana aku bisa berbagi dengan orang lain, sedangkan berbagi gorengan dengan adikku saja aku tidak bisa. Ya ampun betapa jahatnya aku.” Gerutunya dalam hati.

Hari ini membuat Ari sadar. Bahwa berbagi itu atau bersedekah itu tidak harus dengan materi, tetapi juga bisa dengan hal lain yang menurut kita berharga dan mampu meberikan kebaikan dan kebahagiaan orang lain. Dan sebelum kita berbagi dengan orang lain, marilah kita berbagi dengan orang-orang terdekat kita seperti Ayah, Ibu, ataupun saudara kita. Karena sedekah bukan sberepa  besar jumlahnya tapi seberapa ikhlas pemberinya.

Semenjak hari itu Ari berubah menjadi anak yang lebih sayang dengan Adiknya dan selalu berbagidengan Adiknya. Sebelum dia memakan gorangan, hal ia lakukan adalah memberikan Adiknya gorengan itu. Dan ia semakin sering mebantu Ari berjualan dan mengajar anak-anak jalanan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *