Oleh: Seftinia Rachmawati
Kicauan burung-burung dalam sangkar terdengar saling bergantian untuk menyambut sang mentari yang mulai tersenyum menampakkan sinarnya. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menuruni anak tangga.
“Bu, Fahmi berangkat yaa, udah mau telat nih.” Ucap Fahmi sambil tergesa-gesa memakai sepatunya.
“Kamu nih ya kebiasaan buru-buru, makanya abis shalat subuh jangan tidur lagi, kesiangan kan jadinya kalau ada kuliah pagi” Jawab ibu Fahmi sambil menaikkan jemuran pakaian.
“Iya iya Bu, namanya juga ngantuk, kekenyangan abis sahur, hehehe” Jawab Fahmi sambil tertawa kecil dan mencium tangan ibunya.
“Yaudah Fahmi berangkat ya Bu. Assalamu’alaikum” Ucap Fahmi sedikit teriak sambil menyalakan mesin motornya.
“Iya, hati-hati Nak ya. Wa’alaikumussalam” Jawab Ibu.
Di kampus saat mengikuti perkuliahan…
“Baik, mata kuliah hari ini sekian sampai disini. Jangan lupa tugasnya dikumpulkan pekan depan. Terima kasih” Ucap dosen menutup perkuliahannya.
“Iya Pak..” Jawab para mahasiswa bersama-sama.
“Bro, ngabuburit yok” Ajak Adi salah satu teman Fahmi.
“Ayo aja gua mah. Bentar lagi juga maghrib kan. Ajakin yang lain juga biar rame.” Jawab Fahmi semangat.
“Gampang..nanti gua kabarin di grup. Mereka pada mau dah.” Jawab Adi.
“Yaudah terserah Lu deh.” Ucap Fahmi.
Cahaya lampu menerangi meja dan kursi yang tertata rapi di ruangan itu. Nampak orang berdatangan memasuki pintu silih berganti. Keramaian orang yang sedang duduk saling bercengkrama sembari menunggu tenggelamnya matahari. Berbagai hidangan pun tersaji di meja-meja bundar, menunggu giliran untuk disantap. Waktu yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba.
“Allahuakbar Allahuakbar..” Adzan maghrib berkumandang.
Orang-orang yang berada di restoran itu pun segera berbuka puasa dan menyantap minuman dan makanan yang telah disajikan, termasuk Fahmi dan teman-temannya.
“Mi, kita ngga salah nih buka puasa disini?” Tanya Adi kepada Fahmi.
“Iya, disini kan harganya lebih mahal dari tempat lain, tapi rasanya sama aja tuh.” Ucap Roni tertawa kecil sambil menyuap makanannya.
“Bawel banget sih kalian. Tenaaang, semua ini gua yang traktir.” Ucap Fahmi dengan sikap yang cool.
“Wedeeeh…mantep lu Bro.” Jawab Adi seraya menepuk bahu Fahmi.
“Oiya, besok kan ada bakti sosial buat yang kena kebakaran itu. Kalian pada nyumbang apa?” Tanya Roni setelah meneguk segelas teh manisnya.
“Oiyaya, untung lu ngingetin Ron. Gua sih kemaren udah ngepakin pakaian yang udah ngga kepake, jadi tinggal dibawa sih besok. Kalo Lu apa Mi?” Ucap Adi.
“Mmm…kayanya ngga nyumbang deh, males gua. Lagian pakaian gua masih banyak yang gua pake, trus kalo uang..yah udah abis buat traktir kalian hari ini.” Jawab Fahmi santai.
“Yee..kok lu salahin kita ngabisin duit Lu sih, kan Lu sendiri yang mau traktir kita, ya kan.” Ucap Adi yang tengah menyedot minumannya.
“Iya..iya, gitu aja sewot ah Lu. Seloow..” Jawab Fahmi sambil menepuk pundak Adi.
Mereka pun melanjutkan obrolan. Segala topik mereka perbincangkan. Tawa terbahak-bahak pun menyelimuti pembicaraan mereka. Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB. Dengan santainya mereka meninggalkan sunnah yang seharusnya dikerjakan pada bulan yang penuh keberkahan ini. Mereka hanya sebatas menahan hawa lapar dan haus saja. Begitulah kebiasaan mereka.
Langkah kaki berjalan dengan santainya menyusuri sebuah gang sempit perumahan kumuh. Rupanya Fahmi yang tengah berjalan menuju rumahnya seusai pulang kuliah. Motornya yang sedang diperbaiki membuat Fahmi harus menaiki angkutan umum dan berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Tak biasanya Fahmi melewati gang sempit ini. Mungkin untuk menghemat tenaga karena jaraknya yang lebih dekat untuk sampai ke rumahnya daripada melewati jalan lain. Di tengah perjalanannya di bawah langit jingga yang mulai mewarnai, Fahmi melihat seorang anak yang masih memakai seragam merah putih sedang membagikan makanan ringan yang dibungkus plastik bening kepada para pemulung yang tengah mengais rezeki di atas gundukan sampah yang menggunung. Pandangannya bergeming beberapa saat tertuju pada apa yang dilakukan anak tersebut. Namun, suara dering telepon genggamnya seketika memecah lamunannya.
“Halo Bro, besok ngerjain tugas di rumahnya Roni ya, lusa udah deadline soalnya.” Ajak Adi.
“Oh oke.” Jawab Fahmi sedikit kaget.
Keesokan hari seusai mengerjakan tugas di rumah Roni…
“Mi, hati-hati di jalan ya, perasaan gua ngga enak, hehehe.” Ucap Adi seraya tertawa kecil.
“Apaan sih, ngga jelas Lu Di.” Jawab Fahmi menggerutu.
“Yaelah canda, Bro. Hahaha.” Ucap Adi.
Motor Fahmi yang belum selesai diperbaiki, membuat ia harus menaiki angkutan umum. Saat Fahmi tengah menunggu angkutan umum yang melintas, tiba-tiba tas Fahmi dirampas oleh seorang pencopet yang langsung berlari cepat menjauh darinya. Seketika itu pula Fahmi mengejar pencopet itu dengan sekuat tenaga. Namun nasib baik tak memihak kepada dirinya. Pencopet itu berhasil melarikan diri dan menaiki sebuah motor yang dikendarai oleh teman komplotannya. Fahmi pun menghentikan larinya dengan nafas yang tersengal-sengal. Semua benda penting termasuk uang dan telepon genggam yang berada di dalam tasnya telah raib dibawa pencopet. Akhirnya Fahmi pulang ke rumah dengan langkah kaki yang lemas, dengan jarak yang masih jauh dari rumahnya.
Di tengah perjalanan, Fahmi merasa sangat lelah dan merasa tidak kuat untuk berjalan lagi. Fahmi pun menghentikan langkah kakinya yang lemas dan duduk di atas trotoar di pinggir sebuah taman.
“Apes banget sih gua hari ini, semua uang, hp ada di dalem tas, mana rumah masih jauh lagi. Udah mau gelap lagi, mau buka puasa tapi gimana…hadeh apes apes.” Ucap Fahmi seorang diri dengan kesal.
Tak lama, adzan maghrib berkumandang. Fahmi hanya dapat memandangi orang-orang yang tengah berbuka puasa sambil menghela napas panjang. Tiba-tiba ada uluran tangan kecil dengan menggenggam sebuah bungkusan makanan dan segelas minuman yang terhenti di depan wajah Fahmi. Fahmi pun mengarahkan pandangannya kepada siapa orang yang mengulurkan tangan itu.
“Kak, ini ambil makanan dan minumannya Kak. Kakak keliatan lemas sekali kayanya.” Ucap anak kecil tersenyum.
Fahmi terdiam memandangi wajah anak kecil itu, seraya mengambil makanan dan minuman dari tangan anak kecil tadi.
“Sambil dimakan Kak. Kakak keliatan pucat, kakak kenapa?” Tanya anak kecil dengan polos seraya duduk di samping Fahmi.
“Eh..ngga apa-apa. Makasih yaa.” Jawab Fahmi terkejut setelah terdiam beberapa saat tadi.
“Kak, Kakak tau ngga, ternyata semua yang kita miliki belum tentu semua milik kita.” Ucap anak kecil seraya memandangi orang-orang yang berlalu-lalang di depan matanya.
“Loh kenapa?” Jawab Fahmi balik bertanya.
“Karena ada bagian hak orang lain di dalamnya.” Jawab singkat anak kecil.
“Loh kok bisa?” Tanya Fahmi kembali dengan nada sedikit penasaran.
“Kita dikasih hidup sama Allah, dikasih nikmat sama Allah, termasuk harta yang kita miliki dikasih juga sama Allah. Allah yang Maha Pencipta memberikan semua yang makhluknya butuhkan. Rasanya ngga pantes dan sombong, kalau kita tidak saling memberi. Allah aja Maha Pemberi masa kita yang cuma makhluk ciptaan Allah nggak mau saling memberi. Toh, kalau kita saling memberi dengan ikhlas, itu nggak akan mengurangi harta kita, justru Allah akan melipatgandakannya dengan kebaikan yang mungkin tidak kita kira.” Cerita anak kecil dengan polosnya.
“Trus juga nih Kak, kalau kita kehilangan sesuatu, berarti itu tandanya bukan hak untuk kita miliki Kak. Anggap aja sesuatu itu adalah punya orang lain yang Allah titip di tangan kita, tapi belum kita kasih ke orangnya, jadi diambil deh sama Allah, Kak.” Lanjut cerita si anak yang masih memandangi orang-orang yang berlalu-lalang.
Fahmi terdiam kembali. Ia merenungi perkataan anak kecil itu. Fahmi baru mengingat bahwa anak kecil itu adalah anak yang kemarin dilihatnya sedang membagikan makanan kepada para pemulung.
“Kakak jalan duluan ya. Makasih loh buat makanannya.” Ucap Fahmi sambil berdiri dan melanjutkan perjalanannya.
“Iya Kak sama-sama.” Jawab anak kecil dengan senyuman.
Akhirnya Fahmi sampai di rumahnya dan menceritakan semua kejadian hari itu kepada orang tuanya. Fahmi kembali merenungi perkataan anak kecil tadi. Fahmi merasa malu terhadap dirinya sendiri. Ia berpikir bahwa anak yang usianya jauh lebih kecil darinya dapat berpikir lebih matang dan dewasa, serta dapat memikirkan manfaat untuk orang lain. Berbeda dengan dirinya yang selalu mementingkan dirinya sendiri.
Seperti biasanya, Fahmi selalu tergesa-gesa saat akan berangkat kuliah. Namun ada yang berbeda hari ini pada diri Fahmi.
“Bu, berangkat dulu ya Bu. Assalamu’alaikum.” Ucap Fahmi terburu-buru menyalakan motornya.
“Iya iya, wa’alaikumussalam. Masih aja kebiasaan anak ini ya.” Jawab Ibu seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Kebetulan hari ini ada penggalangan bantuan di kampus Fahmi untuk korban bencana alam longsor. Terlihat seorang laki-laki membawa kardus besar di tangannya dan menaruhnya di posko bantuan yang terletak di halaman kampus.
“Kak, ini ada pakaian yang masih layak pakai dan sejumlah uang. Semoga bisa membantu korban disana ya Kak.” Ucap laki-laki pembawa kardus itu.
“Wah ini banyak banget. Alhamdulillah, makasih banyak ya.” Jawab seseorang penjaga posko.
“Woy, ngapain lu, Bro disini, tumben.” Ucap Adi mengagetkan Fahmi yang sedang berdiri di depan posko bantuan.
“Eh Di..ngga kok, ngga abis ngapa-ngapain.” Jawab Fahmi gugup.
“Kak, dia abis ngapain disini emang kak?” Tanya Adi penasaran kepada penjaga posko.
“Ini loh, barusan dia nyumbangin bantuan ini.” Jawab penjaga posko sambil menunjukkan tangannya ke arah kardus yang berisi pakaian.
“Wedeh mantap lu Bro, ngga nyangka gua. Biasanya kan lu paling ogah sama kaya beginian.” Ucap Adi sambil menepuk-nepuk bahu Fahmi.
“Hehehe…iya baru sadar gua.” Jawab Fahmi tertawa malu.
“Yaudah ke kelas yuk, matkulnya Pak Broto udah mau mulai nih.” Ajak Adi seraya merangkul Fahmi.
“Oke..” Jawab Fahmi.
Ternyata yang memberikan sumbangan berupa kardus besar berisi pakaian layak pakai dan sejumlah uang adalah Fahmi. Setelah kejadian yang tak mengenakkan dan pertemuan dengan anak kecil itu, membuat Fahmi berubah menjadi lebih baik. Fahmi menjadi lebih suka memberi kepada orang lain yang sedang membutuhkan. Ia juga belajar untuk tidak lagi egois dan tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, karena ia sadar bahwa sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain.