Oleh: Sasih Karnita Arafatun
Dentuman beduk mengalun pecahkan kesunyian malam, membangunkan penghuni alam yang berakal. Suara itu disambut gembira penuh suka cita masyakarat Islam. Dengan mengucapkan Alhamdulillah, jiwa raga bersyukur kepada-Nya, pemberi kesempatan beriktikad pada-Nya, Allah, sang muridan.
Dentuman beduk tak mampu membangunkan kesadaranku yang terlena hangatnya selimut dan empuknya kasur. Namun, kesadaranku perlahan-lahan mulai kembali ketika aku mendengar suara merdu memanggilku berkali-kali.
“Cila..cila sayang, ayo bangun Nak,” panggil ibu.
Panggilan pertama kurasa bagaikan mimpi, kembali kutarik selimutku dan pejamkan mata seolah suara itu benar hanyalah mimpi.
“Cilaa…Ayo bangun, sudah pukul empat, nanti keburu imsak,” suara ibu disertai dengan ketukan pintu.
Dengan berat hati, aku menguletkan tubuhku sebagai perenggangan guna menyadarkan mata dan organ tubuh lainnya. Suara perabotan dapur terlalu dini berpesta pora yang dalangnya adalah ibuku. Perlahan aku berjalan menuju dapur.
“Sudah bangun! Ayo cuci muka lalu tolong bangunkan adikmu, sebentar lagi ibu selesai”, pinta Ibu.
“Iya, ibu”, jawabku.
Kami berkumpul di meja makan melahap semua hidangan yang disediakan ibu. Terlihat wajah ayah yang sejuk berwibawa dan wajah ibu yang anggun berseri, serta wajah adikku yang lucu menggemaskan ditambah lagi ia makan dengan mata sayu-sayu mengantuk.
***
Namaku Arsyila Safa Kirana, aku anak pertama. Ayah dan ibuku, seorang guru di sekolah swasta, yang gajinya sebesar 10 jut, tanggal 10, sudah terkejut..hehhhe. Begitulah guyonan yang selalu ku dengar dari ayah dan ibu ketika uang simpanan mulai menipis disaat aku dan adikku banyak permintaan.
Terik matahari membakar dahaga mengeringkan liur. Sederetan lalu lalang mobil tak putus ku pandang. Bosan. Setia bertahan dengan sedikit perileksan, menolehkan pelan ke kanan ke kiri seperti orang kebingungan. Ssssstttt tolehanku tertahan pada satu gerobak tua dan kumuh. Dari kejauhan lamunanku mulai bergentayangan layaknya fatamorgana.
Gerobak tua dan kumuh itu membawa toples-toples di atasnya. Kuhitung ada lima toples. Berdasarkan hasil terawangan lamunanku di dalam toples tersebut berisikan satu toples berisi air gula merah, satu toples berisi es batu yang perlahan mencair terlihat dari bulir embun di luar toples, satu toples berisi air santan seputih susu, satu toples berisi… hhhmm.. aku lupa namanya yang jelas berwarna hijau dan satu toples lagi berisikan cenil berwarna merah, yang kata ibuku namanya delima. Entah apakah ada hubungannya dengan buah delima, yang jelas sama-sama berwarna merah. Dari kelima toples, toples cenil delima paling menggodaku. Lamunanku tersentak ketika adik memanggilku dan klakson mobil ayah berteriak kepadaku.
“Yah, Cila mau beli sumsum itu”! sambil menunjuk ke arah gerobak sumsum. “Adik mau?” sambungku.
“Mau..mau…Kak”, sahut Adik.
“Hhhmmm… Besok ya, Kak. Kasian ibu sudah capai menyediakan takjil untuk nanti. Sekalian Kakak bilang sama ibu, kalau besok Kakak mau beli sumsum agar ibu tidak membuat takjil”, jawab Ayah menenangkan.
Sesampai di rumah aku berkisah kepada ibu mengenai ranumnya takjil merah si tukang sumsum. Hanya warna merah yang masih terngiang dalam pikiranku hingga panggilan adzan senja berkumandang pertanda rezeki penggugah selera yang ada boleh dilahap.
Keesokan harinya, sesuai janji Ayah dan Ibu, aku diberi uang untuk membeli takjil yang aku idam-idamkan. Tiba di lokasi bertenggernya gerobak tua nan lusuh, aku langsung memesan empat bungkus sumsum. Satu bungkus sumsum, tentunya ada persyaratan khusus yaitu banyakan cenil delimanya, yaitu cenil merah karena dialah yang menggugah selera.
“Berapa semuanya, Pak?” tanyaku.
“Semuanya gratis, Dik,” jawab tukang sumsum
“Loh..loh..kok gratis, Pak? Kenapa? Bapak tidak takut rugi? Empat bungkus ini banyak pak!”, tanyaku penuh heran.
“Iya tidak apa, Dik! Semua telah menjadi niat Bapak bahwa setiap hari Jumat, sumsum bapak, semuanya gratis. Bukan dengan Adik saja yang gratis, tapi dengan semua pembeli yang ingin sumsum juga gratis dan pastinya gratis untuk fakir miskin. Tidak rugi, apalagi di bulan yang penuh berkah ini, insyaallah berkahnya belipat-lipat ganda. Amin”, jelas Bapak.
“Masyaallah, terima kasih Bapak! Semoga rezeki terus bertambah ya.” Sambungku sambil berlalu dengan perasaan bercampur aduk, antara senang, terharu dan sedih .
***
Tegukan demi tegukan sumsum di gelasku menyisakan cenil delima kesukaanku yang kusebut takjil merah. Sengaja ku habiskan terakhir karena kebiasaanku jika makan, makanan yang paling enak, yang kusukai, ku habiskan terakhir. Entah menggambil teori apa dan darimana. Kelahapan itu, tak membuatku lupa dengan kejadian tadi sore. Sambil meneguk takjil merah aku berkisah kepada Ayah dan Ibu mengenai tukang sumsum takjil merah
“Iya, indahnya berbagi, Nak. Berbagi tidak hanya dengan uang tetapi bisa dengan apa saja seperti si tukang sumsum. Beliau berbagi melalui sumsumnya”, jelas Ayah
“Sudahkah kamu berbagi Cila?” tanya Ibu. “Berbagi atau memberi merupakan anjuran untuk kita agar orang lain dapat merasakan kebahagian seperti yang kita rasakan. Berbagi tidak harus dilakukan setiap waktu. Apabila kita mempunyai sesuatu yang lebih, sebaiknya kita berbagi. Hal yang paling penting adalah keikhlasan kita”, sambung Ibu.
Aku terdiam dengan pertanyaan Ibu dan mencoba memahami penjelasan Ayah dan Ibu. Aku berniat sepulang solat tarawih, celengan yang ku sayang akan ku bongkar. Hasil dari celengan tersebut sebagian akan tetap ku simpan dan sebagiannya lagi akan ku gunakan untuk berbagi. Berbagi dengan takjil merah si tukang sumsum, tentunya bukan dihari Jumat. Aku ingin membeli sumsum dan akan kubagikan ke orang yang membutuhkan.
“Aku akan melariskan jualan si tukang sumsum dan sumsum itu kubagikan dengan orang yang membutuhkan”, gumamku dalam hati sambil tersenyum penuh kemenangan.
Masih ada satu tanda tanya besar di benakku “jika mau kaya, berhemat atau bersedekah? Ahhh sudahlah. Akan kutanyakan kepada Ayah dan Ibuku nanti”, sambil berlalu mengambil wudhu.