Tiada Hari Tanpa Sedekah

Oleh: Ananta Anugraha Dina Tsalatsa

Bulan ramadhan adalah bulan mulia dimana setiap pahala kebaikan akan dilipatgandakan bahkan tidurnya orang berpuasa pun berpahala. Dibulan ramadhan akan dibukakan pintu-pintu langit, dan ditutup pintu-pintu neraka, serta setan-setan nakal akan dibelenggu. Dan terdapat satu malam yang lebih baik daripada 1000 bulan. Mengingat begitu banyak kebaikan dalam bulan ramadhan membuat kami begitu bergembira menyambutnya, terbayang dalam benak kami berbagai rencana kegiatan selama bulan ramadhan. Kami yang berjumlah sepuluh orang mahasiswi dari berbagai fakutas di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang tinggal dalam sebuah rumah sewa yang kami beri nama wisma Mafaza. Selain wisma Mafaza berdiri juga wisma khusus putri dan wisma khusus putra yang lain. Kami menyebutnya wisma untuk membedakan penyebutan dari kos pada umumnya bahwa semua yang tinggal didalam wisma sudah pasti beragama Islam. Wisma bagi kami tak sekedar tempat untuk tinggal namun juga menjadi tempat untuk kami menciptakan surga didalam rumah (baiti jannati). Tak hanya dibiasakan dengan pekerjaan kerumahtanggaan, ruhiyah pun sangat diperhatikan. Berbagai sarana penunjang kegiatan ruhiyah difasilitasi seperti sholat berjamaah, kultum setelah sholat,dzikir bersama, tilawah bersama hingga kajian  rutin. Dengan hadirnya bulan ramadhan maka akan menambah semarak wisma kami.

Namaku Dina, aku adalah salah seorang penghuni wisma Mafaza sekaligus mahasiswi semester 3 fakultas hukum. Ini adalah pengalaman ramadhanku saat tinggal di wisma Mafaza. Beberapa hari menjelang ramadhan kami biasa melakukan acara tarhib ramadhan sebagai bentuk rasa gembira sekaligus ajang sosialisasi kepada masyarakat akan hadirnya bulan ramadhan. Saat itu penghuni wisma Mafaza sepakat untuk membuat 100 bingkisan kurma dengan diberi label ucapan mohon maaf  lahir batin dan selamat menjalankan ibadah puasa yang akan dibagikan kepada masyarakat. Dananya tentu dari uang kas wisma hasil iuran rutin per bulan para penghuninya, uang kas tersebut selain untuk kegiatan wisma juga terkadang kami jadikan modal berdagang sehingga keuntungannya bisa menambah kas. Dengan begitu secara tidak sadar kami telah membiasakan diri untuk mandiri, gotong royong dan bersedekah.

Hari pertama hingga keduapuluh di bulan ramadhan setiap hari kami sisihkan uang kas untuk memberi sajian acara buka puasa bersama (ifthor jama’i) ala kadarnya. Tak perlu mahal bahkan kami sering membuatnya bersama-sama di wisma Mafaza, seperti es buah, gorengan atau panganan lain. Kebiasaan ini terlebih karena alasan bahwa barangsiapa yang memberi makan orang yang berpuasa maka ia akan memperoleh pahala sama seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang berpuasa tersebut. Selain itu barangsiapa yang bersedekah karena Allah SWT maka Ia akan melipatgandakan rizkinya. Rizki itu tidak melulu tentang uang atau materi, kesehatan, kesempatan dan saudara yang baik juga rizki dariNya. Hari itu adalah hari ketujuh di bulan ramadhan dan aku kebagian jatah mengantar sajian (ta’jil) untuk acara ifthor jama’i.

“Din tolong antarkan ta’jil ke masjid kampus y? soalnya yang lain pada g bisa”, ‘g bisa’ yang dimaksud mbak Dias disini selain karena faktor waktu terlebih karena ketidak mampuan sebagian besar anggota wisma Mafaza dalam mengendarai motor. Padahal saat itu aku harus mempersiapkan ujian semester untuk esok hari dan aku juga masih dibilang amatir dalam mengendarai motor.

“Oke mbak. Tapi pakai motor siapa?” karena belum banyak yang bisa mengendarai motor maka ketersediaan motor pun masih menjadi hal yang langka di wisma Mafaza. Dan jarak dari wisma Mafaza ke masjid kampus itu lumayan jauh sekitar 3km, dengan waktu yang tinggal 30 menit menuju waktu berbuka maka motor menjadi andalan karena kalau naik angkot pasti ngetemnya akan lama.

“Pinjam motor mbak Uli aja tapi ambil sendiri ke wisma Hanifa. Tadi mbak Dias sudah sms mbak Uli koq. Nanti anter ta’jilnya sama Tyas” wisma Hanifa adalah wisma putri terdekat dari wisma Mafaza, jaraknya hanya 100 meter, dengan berjalan kaki aku pergi menuju wisma Hanifa untuk ambil motor. Aku dan Tyas pergi mengantar ta’jil dengan mengendarai motor mb Uli, saat di tikungan kami berpapasan dengan pengendara lain, karena kaget dan masih amatir maka keseimbanganku pun goyah dan kami jatuh. Alhamdulillah kami tidak mengalami luka berat, hanya sedikit lecet di bagian tangan tapi ta’jil berupa es buah yang kami bawa saat itu banyak yang pecah, dari 30 bungkus hanya tersisa 15 bungkus. Untungnya saat itu di dekat masjid kampus ada penjual es buah, jadilah aku membeli 15 bungkus sebagai bentuk tanggungjawab mengganti yang pecah. Tiga hari setelah kejadian mengantar ta’jil itu aku mendapat kabar bahwa cerpen yang aku kirim pada lomba menulis mendapat juara 1, mungkin ini adalah balasan sekaligus hikmah dari peristiwa itu. Jika mengingat kembali peristiwa mengantar ta’jil yang menurutku pengorbananya tak seberapa membuatku bertambah yakin bahwa sedekah karena Allah SWT pasti akan Allah SWT ganti dengan berbagai macam kebaikan-kebaikan serta kemudahan-kemudahan.

Masuk hari kedua puluh satu kami sepakat untuk menghentikan program ta’jil karena di sepuluh hari terakhir kami yang tinggal di wisma biasa melakukan i’tikaf (berdiam diri dan bermalam di masjid) berharap mendapat malam lailatul qadar dan persiapan mudik. Meski tak sepuluh hari penuh kami melakukan i’tikaf di Semarang karena biasanya tiga hari sebelum lebaran sudah banyak dari kami yang mudik namun ada beberapa yang kemudian melanjutkan i’tikaf di daerah masing-masing. Sebelum mudik uang hasil memenangkan lomba menulis cerpen aku gunakan untuk membuat sepuluh bingkisan berisi masing-masing sirup, kue lebaran dan minyak goreng. Bingkisan-bingkisan tersebut kemudian dibagikan kepada para janda sekitar wisma, macam-macam doa yang mereka panjatkan.

“Terima kasih banyak dan semoga tambah rejekinya ya mbak”

“Terima kasih dan semoga tambah sholihah”

“Terima kasih dan semoga segera mendapat jodoh”, padahal saat itu aku baru semester tiga, hehehehe. Apapun doanya yang pasti semua itu adalah doa-doa baik dan tulus dari mereka. Satu nasihat yang selalu aku ingat bahwa apa yang ada pada diri kita juga ada hak orang lain baik itu tentang harta, waktu, tenaga maupun ilmu. Perbanyak sedekah dan semoga apa yang kita berikan menjadi amal jariyah pemberat timbangan di akhirat kelak. Aamiin.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *